Halaman

Cahaya Pengetahuan Muslim

Jumat, 27 Maret 2015

Panduan Berhias Bagi Kaum Wanita





Oleh: Abu Mujahidah Al-Ghifari, Lc, M.E.I.

Tampil cantik, anggun, indah dan mempesona adalah dambaan para wanita. Berbagai macam cara ditempuh banyak wanita demi meraih predikat tersebut. Sebenarnya berhias sendiri merupakan perkara yang dibolehkan selama tidak melanggar aturan syar’i. Namun sayangnya banyak wanita muslimah yang tidak memperhatikan etika islami ketika berhias. Bahkan dengan bangga berhias dengan cara jahiliah. Na’udzu billahi min dzalik.

Oleh karena itu, agar berhias tidak melanggar syariat, perhatikan betul-betul cara berhias yang dilarang dalam syariat berikut ini.

Perhiasan kepala
Cara berhias yang dilarang pada kepala meliputi: Perhiasan Rambut. Adapun larangan berkaitan dengan hal ini seperti:
  1. Membuka rambut dan leher tanpa jilbab.
Banyak wanita yang mengaku muslimah masih menanggalkan jilbab. Bahkan ada yang sudah menutup kepalanya namun sebatas dengan kerudung kecil, tipis dan transparan. Tentu hal tersebut bertentangan dengan firman Alloh Ta’ala berikut ini:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا 

“Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Alloh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Ahzab [33]: 59)
  1. Mencukur gundul atau pendek menyerupai laki-laki. (dikecualikan karena sakit atau untuk operasi)
Nabi sholallohu alaihi wasallam bersabda: “Aku berlepas diri dari wanita yang menggundul rambut kepalanya, berteriak dengan suara keras dan merobek-robek pakaiannya (ketika mendapat musibah).” (HR. Muslim)
  1. Mencabut uban.
Seringkali wanita yang sudah mulai tumbuh uban tidak PD dengan penampilannya. Akhirnya mereka mencabuti uban tersebut. Padahal Nabi sholallohu alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian mencabut uban, tidaklah seorang Muslim beruban dalam Islam walaupun sehelai melainkan kelak akan menjadi cahaya baginya di hari kiamat.” (HR. Abu Dawud)
  1. Mewarnai rambut yang telah beruban dengan warna hitam.
Nabi sholallohu alaihi wasallam bersabda: “Rubahlah (warnailah) ia dan jauhilah warna hitam.”  (HR. Muslim, Nasai, dan Abu Dawud)
  1. Menyambung rambut.
Menyambung rambut juga dilarang di dalam Islam. Nabi sholallohu alaihi wasallam bersabda:“Bahwasanya Nabi sholallohu alaihi wasallam  melaknat wanita yang menyambung rambut) dan wanita yang minta disambungkan rambutnya.” (HR. Bukhori)

Mencukur alis, mengikir gigi, dan memasang behel gigi
Mencukur alis kerap kali dilakukan wanita demi tampil menawan. Padahal Nabi sholallohu alaihi wasallam bersabda: “Alloh Ta’ala melaknat perempuan-perempuan yang mentato dan yang minta ditato, dan yang mencabut atau mencukur rambut (alis) dan yang mengikir gigi untuk memperindah penampilan, Perempuan-perempuan yang mengubah ciptaan Alloh Ta’ala….” (HR. Bukhori dan Muslim)

Perhiasan tangan
  • Memakai kuteks kuku yang menghalangi air wudhu meresap ke dalam kulit. Hal ini terlarang karena menghalangi kesempurnaan ibadah
  • Memanjangkan kuku dan menyambungnya.
Perkara ini terlarang karena bertentangan dengan sunnah fitroh. Nabi sholallohu alaihi wasallam bersabda: “Lima perkara termasuk fitrah: khitan, membersi­hkan bulu rambut di sekitar kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan mencukur kumis.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Bagi seorang muslim atau muslimah tidak boleh membiarkan lima perkara tersebut melebihi 40 hari. Anas rodhiallohu anhu ber­kata, “Rosululloh memberi waktu kepada kami dalam mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur bulu kem­aluan, tidak boleh dibiarkan melebihi 40 hari.” (HR. Muslim)

Perhiasan badan dan pakaian
Tato di badan juga mulai marak dilakukan oleh para wanita. Padahal tato merupakan cara berhias jahiiyah yang dilaknat Alloh Ta’ala. (baca hadits sebelumnya)
  1. Pakaian ketat
Nabi sholallohu alaihi wasallam bersabda: “Dua kelompok penghuni neraka yang belum pernah aku lihat: (pertama) sekelompok kaum yang mereka mempunyai pecut seperti buntut sapi yang dengannya mereka memukul manusia dan (kedua) para wanita yang berpakaian tetapi telanjang, berjalan dengan berlenggak-lenggok, kepala mereka bagaikan punuk unta yang miring, mereka tidak masuk surga dan tidak pula mendapati baunya padahal bau surga dapat dicium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim)
  1. Keluar dengan aroma parfum.
Nabi sholallohu alaihi wasallam bersabda: “Seorang perempuan yang mengenakan wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium bau harum yang dia pakai maka perempuan tersebut adalah seorang pelacur.”  (HR. Nasa’i, Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jami’ no. 323 mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Perhiasan kaki
Adapun perhiasan kaki yang dilarang seperti: memakai sepatu tumit tinggi, memakai gelang kaki yang ditampakkan, rok pendek, celana ketat, transparan meskipun lebar.
Saudariku kaum muslimah yang dirahmati Alloh Ta’ala, Apa artinya tampil “cantik” jika harus menanggung siksa di akhirat? Mudah-mudahan Alloh Ta’ala menyelamatkan para muslimah dari berbagai tipu daya setan dalam berhias diri.

Wallohu ‘alam.

Hukum Jual Beli Kredit



Dari Ummu Rizieq di Mega Sentul. Assalamu’alaikum pa ustadz, apakah termasuk Riba, apabila kita mengambil kendaraan dari deller dengan memakai angsuran/cicilan...?
 
Jawab:
Wa’alaikumsalam warohmatullohi wabarokaatuh.
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu perlu disampaikan definisi jual-beli secara kredit. Jual beli secara kredit atau yang dikenal dengan sebutan bai’ut taqsîth yaitu jual-beli barang dengan sistem pembayaran dicicil dalam jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan dua belah pihak.

Mengenai hukum jual-beli dengan cara seperti ini, para Ulama berbeda pendapat, ada yang menghukuminya haram, ada yang mengatakan sah, dan ada pula kelompok ketiga yang pertengahan antara boleh dan tidak tetapi lebih cenderung memakruhkan.

Akan tetapi pendapat yang rajih adalah bolehnya sistem jual beli dengan cara kredit. Ini merupakan pendapat jumhur Ulama, diantaranya fuqaha’ mazdhab, Imam asy-Syirazi rohimahulloh dalam al-Majmu’ Syarh Muhazzab (13/16), Imam asy-Syâthibi  dalam al-Muwâfaqot (4/41), Imam az-Zarqoni, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qoyyim rohimahumulloh, dan lainnya. Mereka berhujjah dengan keumuman firman Alloh subhanahu wa ta’ala dalam al-Baqoroh ayat ke-275 :

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا 

Dan Alloh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba“.

Ayat ini menjelaskan bahwa hukum asal dari jual beli adalah halal. Dan juga firman-Nya:

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (An-Nisa’ [4]: 29)

Sedangkan hadits yang mendasari pendapat tersebut yaitu hadits hadis Abdulloh bin Amr bin Ash rodhiallohu anhu, beliau menceritakan bahwa “Rosululloh sholallohu alaihi wasallam memerintahkanku untuk mempersiapkan pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan. Nabi sholallohu alaihi wasallam memerintahkan Abdulloh bin Amr bin ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran tertunda, hingga datang saatnya penarikan zakat. Kemudian Abdulloh bin Amer bin Ash membeli setiap ekor unta dengan harga dua ekor unta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan dihasankan oleh Al-Albani).

Kisah dalam hadits tersebut menunjukkan, bolehnya menaikkan harga barang yang dibayar secara kredit, bahkan meskipun dua kali lipat dari harga normal.

Adapun hadits yang menyatakan, “Barangsiapa yang melakukan jual beli dua kali dalam satu transaksi maka dia hanya boleh mengambil harga yang paling rendah, kalau tidak, maka dia  terjatuh ke dalam riba.” (Hadits shohih Riwayat, Ahmad, Abu Daud)

Hadis ini shahih, namun tafsir yang tepat adalah sebagaimana yang dijelaskan Ibnul Qayyim dan lainnya, bahwa hadis ini merupakan larangan jual beli dengan cara ‘inah. Contoh Jual beli ‘Inah adalah si A menjual HP kepada si B seharga Rp 1,2 juta kredit.  Kemudian si B menjual kembali HP itu kepada A seharga 1 juta tunai. Kemudian si A menyerahkan uang 1 juta kepada si B dan membawa HP tersebut. Sementara si B wajib membayar cicilan utang 1,2 juta kepada si A. Sedangkan bila si B jual beli secara kredit disertai dengan cara ribai, maka hukumnya riba. 
wallohu a’lam.

Selasa, 24 Maret 2015

Bersikap Wajar dan Tuluslah





Coba kita perhatikan lingkungan sekitar, rasanya minim sekali orang yang bekerja dengan ikhlas karena Alloh subhanahu wa ta’ala. Rata-rata di antara mereka, bahkan sebagian besarnya justru menginginkan agar pekerjaan dan ibadah-ibadahnya diketahui manusia. Sehingga dengan begitu, citra mereka di hadapan manusia menjadi tinggi dan ternama.

Hal tersebut di atas sangat kontras dengan pola kehidupan para shalafus sholeh, setidaknya ini bisa kita lihat dari perkataan Sufyan ats-Tsauri rohimahulloh.

Beliau berkata, “Apa yang aku lakukan dengan terang-terangan tak pernah aku anggap sebagai amalanku, karena kebanyakan orang soleh sebelumku selalu menyembunyikan amal-amalnya.”

Ya… begitulah para shalafus sholeh. Mereka beramal dengan amalan terbaik. Tidak perlu banyak orang tahu, cukup Alloh subhanahu wa ta’ala yang Maha Mengetahui.

Mereka hanya mengharap ridho Alloh. Adapun urusan dunia, mereka hanya mengambil apa yang telah Alloh subhanahu wa ta’ala sediakan saja. Tidak berlebihan terhadap dunia, tidak juga meninggalkan secara total. Semuanya mereka hadapi dengan sikap wajar dan tulus.

Tapi justru yang terjadi saat ini adalah kebalikannya. Kekayaan menjadi hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap orang. Jika harta telah menjadi hajat manusia yang utama, hatinya akan lalai, gemar pamer kepada sesama, dan lupa akan yang benar. Saat hati manusia telah hampa, saat itulah roh kekuasaan akan menjadi darah dagingnya.

Dewasa ini, semua kebaikan menjadi terasa asing dipandang. Seorang pejalan kaki mengucapkan salam kepada yang sedang duduk di jalan atau di halaman rumah mereka ditanggapi dengan aneh, seorang laki-laki hendak menunaikan kewajibannya berupa sholat berjama’ah di masjid, dianggap aneh. Bahkan ketika pakaian syar’i yang dikenakan oleh mereka yang mengerti akan batasan-batasan syariat dalam berpakaian-pun tak ketinggalan dibilang aneh. Terorislah, fanatiklah, radikallah, dan lah..lah.. lainnya.

Kita tidak bisa menutup mata akan fenomena ini. Mayoritas orang menggunakan aturan manusia menjadi sarana untuk mengokohkan kekuasaan dan jabatan. Mereka terlalu cinta dunia dan lupa akan akhirat. Hidup mereka tidak wajar, banting tulang siang dan malam hanya untuk mengejar pundi-pundi harta dunia. Aktifitas mereka penuh dengan kepura-puraan, tidak tulus dan hanya topeng belaka.

Saudaraku…
Ketahuilah bahwa sebaik-baik perkara adalah yang di tengah-tengah. Ketika kita melihat para hamba dunia telah terkuasai angan-angannya dan rusak pula amal-amalnya, kita harus menyuruh mereka untuk mengingat mati, menziarahi kuburan, dan membayangkan alam akhirat.

Dikala hati dan mata ini telah terbuka, dikala jiwa ini telah mengungkapkan penyesalannya, timbullah semangat untuk memperbaiki diri.

Hawa nafsu harus senantiasa ditundukkan. Hawa nafsu yang sejatinya menjadi bagian hidup dalam diri manusia, harus pandai-pandai diarahkan kepada hal-hal yang dihalalkan oleh Alloh. Karena itu adalah bagian dari jihad. Mereka malah menutup pintu bagi syahwat untuk bisa menikmati hak-haknya. Akan tetapi banyak juga diantara manusia yang justru salah dalam menyikapi hawa nafsu. Semuanya harus disikapi dengan wajar dan tulus.

Sesungguhnya, apa yang disebut berjuang melawan hawa nafsu adalah laksana berjuangnya orang sakit yang cerdik. Ia bersabar untuk meminum obat meskipun enggan, karena berharap dirinya sehat. Ia mau berpahit-pahit dan memakan makanan yang sesuai dengan anjuran dokter dan tidak menuruti hawa nafsunya untuk mengkonsumsi apapun yang akan membuatnya menyesal, karena tidak diperbolehkan makan selamanya.

Demikianlah, orang-orang mukmin yang cerdas tidak akan lepas kendali. Ia akan berlaku bijak, mampu mengulur dan menarik sesuatu pada saat yang tepat. Tatkala ia melihat nafsunya berada pada jalur yang tepat, ia tidak mengekangnya. Akan tetapi, ketika nafsu itu terasa menyimpang, ia segera berusaha untuk meluruskannya dengan cara yang halus. Jika nafsu tetap melawan, tindakan yang lebih tegaslah yang ia lakukan terhadapnya.

Saudaraku…
Perbaikilah niat anda. Tinggalkanlah cara berpura-pura di hadapan manusia. Bersikaplah istiqomah pada kebenaran. Dengan cara itulah kaum salaf naik pamornya di hadapan Alloh subhanahu wa ta’ala dan bahagia hidupnya.

Semoga Alloh ta’ala memberikan kita kemampuan untuk tetap ikhlas dalam setiap aktivitas ibadah kita kepada Alloh. Sehingga pola hidup kita akan laksana air yang mengalir penuh kesejukan. Murni, tidak penuh dengan kepalsuan.
Wallohu a’lam.