Halaman

Cahaya Pengetahuan Muslim

Rabu, 03 Juni 2015

Adab Pergaulan Islami




Oleh: Arifin, S.H.I

Islam sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh telah mengatur bagaimana adab-adab serta batasan-batasan dalam pergaulan. Aturan-aturan Islam dalam bergaul bertujuan untuk menjaga kehormatan dan kesucian para muslim dan muslimah. Karena Islam sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat jiwa manusia. Tidak ada agama yang memperhatikan terjaganya kehormatan manusia kecuali Islam. Ada beberapa adab yang harus diperhatikan seorang muslim dalam bergaul:

    Memilih teman yang baik.

Banyak orang yang terjerumus ke dalam lembah kemaksiatan dan kesesatan karena pengaruh teman bergaul yang jelek. Namun juga tidak sedikit orang yang mendapatkan hidayah dan banyak kebaikan disebabkan bergaul dengan teman-teman yang sholih.

Rosululloh sholallohu alaihi wasallam bersabda:

“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhori dan Muslim)

    Memelihara pandangan mata dan memelihara kesucian.

Orang-orang zaman dahulu mangatakan, “Bermula dari pandangan, lalu senyuman, kemudian perbincangan, mengikat janji lalu pertemuan.”

Pandangan adalah asal muasal musibah yang menimpa manusia. Sebab pandangan itu akan melahirkan lintasan dalam benak, kemudian lintasan itu akan melahirkan dalam pikiran, dan pikiran itu yang melahirkan syahwat, dan dari syahwat itu timbul keinginan. Kemudian keinginan tersebut berubah menjadi kuat dan berubah menjadi niat yang bulat. Akhirnya, apa yang tadinya hanya terlintas oleh pikiran menjadi kenyataan.

Rosululloh sholallohu alaihi wasallam bersabda:

“Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim)

    Menjauhi ikhtilath.

Ikhtilat itu adalah campur baurnya seorang wanita dengan laki-laki di satu tempat tanpa ada hijab. Ketika tidak ada hijab atau pembatas, masing-masing wanita atau lelaki tersebut bisa melihat lawan jenis dengan sangat mudah dan sesuka hatinya. Tentu sebagai wanita muslimah tidak mau dijadikan obyek pandangan oleh banyak laki-laki bukan? Oleh karena itu kaum muslimah harus menundukkan pandangan, demikian pun yang laki-laki mempunyai kewajiban yang sama untuk menundukkan pandangannya terhadap wanita yang bukan mahramnya, karena ini adalah perintah Alloh ta’ala dalam al-Qur’an dan akan menjadi berdosa bila kita tidak mentaatinya.

Dari Hamzah bin Abi Usaid Al-Anshori, dari bapaknya rodhiallohu anhu:

“Bahwa dia mendengar Nabi sholallohu alaihi wasallam bersabda di saat beliau keluar dari masjid, sedangkan orang-orang laki-laki ikhthilath (bercampur-baur) dengan para wanita di jalan, maka Nabi sholallohu alaihi wasallam bersabda kepada para wanita: “Minggirlah kamu, karena sesungguhnya kamu tidak berhak berjalan di tengah jalan, kamu wajib berjalan di pinggir jalan.” Maka para wanita merapat di tembok/dinding sampai bajunya terkait di tembok/dinding karena rapatnya. (HR. Abu Dawud)

    Wanita dilarang berduaan dengan lelaki lain yang bukan mahrom.

Nabi sholallohu alaihi wasallam bersabda:

“Janganlah salah seorang dari kalian berkholwat (berduaan) dengan seorang wanita karena sesungguhnya setan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, ath-Thobroni, dan Baihaqi)

Al-Munawi berkata rohimahulloh: ”Yaitu setan menjadi penengah (orang ketiga) di antara keduanya dengan membisikan mereka (untuk melakukan kemaksiatan) dan menjadikan syahwat mereka berdua bergejolak dan menghilangkan rasa malu dan sungkan dari keduanya serta menghiasi kemaksiatan hingga nampak indah di hadapan mereka berdua, sampai akhirnya setan pun menyatukan mereka berdua dalam kenistaan (yaitu berzina) atau (minimal) menjatuhkan mereka pada perkara-perkara yang lebih ringan dari zina yaitu perkara-perkara pembukaan dari zina yang hampir-hampir menjatuhkan mereka kepada perzinaan.”

    Menutup aurat.

Menutup aurat merupakan perintah Alloh subhanahu wa ta’ala dan Rosul-Nya sholallohu alaihi wasallam. Ia mampu melindungi dan menjaga kehormatan diri kaum lelaki, terlebih kaum wanita. Wanita yang berbusana muslimah, tak ada seorang pun yang berusaha mencoba menodai kehormatan dirinya. Laki-laki jahat pun akan segan dan tidak berani untuk mengganggunya. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan wanita yang mengumbar kehormatannya. Orang akan menilai kepada wanita itu sebagai wanita yang tidak baik. Para lelaki sangat berani menggoda dan merusak kehormatannya.

Alloh ta’ala berfirman:

 يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Hai Nabi, Katakanlah kepada istiri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” (QS. al-Ahzab [33]: 59)

    Hendaklah kaum wanita tidak lemah gemulai dan dibuat-buat dalam berbicara.

Wahai saudariku, janganlah engkau melembutkan suaramu disaat menjawab telepon lelaki. Janganlah engkau lemah gemulai di saat menerima tamu lelaki. Janganlah engkau mendayu-dayukan suaramu di saat membeli sesuatu. Ingat! Bicaralah dengan wajar di hadapan lelaki yang bukan mahrom Anda.

Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:
 يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ ۚ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا

“Hai istri-istri Nabi, kalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kalian bertakwa. Maka janganlah kalian tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. al-Ahzab [33] : 32)

Demikianlah sebagian dari aturan Islam dalam masalah pergaulan. Semoga kita mampu mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kita akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Mengatasi Rasa Galau




Bagian dari karakter manusia, mereka memiliki obsesi dan harapan. Dan karena karakternya yang tamak, obsesi itu selalu berkembang. Dari Ibnu Abbas rodhiallohu anhu, Rosululloh sholallohu alaihi wasallam bersabda,

“Jika manusia memiliki dua lembah penuh dengan harta, pasti dia akan mencari lembah harta ketiga. Tidak ada yang bisa memenuhi perut anak Adam, selain tanah.” (HR. Bukhori  & Muslim)

Tidak ada yang bisa menghentikan manusia untuk selalu mengejar obsesinya, selain kematian. Sahabat Ibnu Mas’ud pernah menceritakan penjelasan Nabi sholallohu alaihi wasallam tentang karakter manusia,

Nabi sholallohu alaihi wasallam pernah membuat garis segi empat, lalu beliau membuat garis lurus di tengahnya yang menembus bangun segi empat itu. Kemudian beliau membuat garis kecil-kecil menyamping diantara garis tengah itu. Lalu beliau bersabda,

“Ini manusia. Dan ini ajalnya, mengelilinginya. Dan garis yang menembus bangun ini adalah obsesinya. Sementara garis kecil-kecil ini adalah rintangan hidup. Jika dia berhasil mengatasi rintangan pertama, dia akan tersangkut rintangan kedua. Jika dia berhasil lolos rintangan kedua, dia tersangkut rintangan berikutnya.” (HR. Bukhori)

Nah pelajaran dari hadis ini, Bahwa sejatinya semua manusia mengalami galau, karena tidak ada satupun manusia yang tahu masa depannya. Sementara mereka semua berharap bisa mendapatkan cita-citanya. Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا       

“Tidak ada satupun jiwa yang mengetahui apa yang akan dia kerjakan besok.” (QS. Luqman [31]: 34)

Pelajaran lain, bahwa kita selalu memikirkan obsesi yang belum pasti, namun kita sering melupakan sesuatu yang pasti, yaitu kematian.

Karena itu,  mengalami galau, pikiran kacau, bingung dalam menentukan arah hidup, bukanlah kesalahan. Hampir semua manusia mengalaminya. Yang lebih penting adalah mengatasi kondisi galau, sehingga tidak sampai menyeret kita kepada jurang maksiat.

Ada beberapa saran yang bisa dilakukan, untuk mengurangi rasa galau,

Pertama, Sibukkan Diri dengan Semua yang Bermanfaat

Secara garis besar, Rosululloh sholallohu alaihi wasallam telah memberikan panduan, agar manusia selalu maju menuju lebih baik dalam menghadapi hidup. Dari Abu Hurairoh rodhiallohu anhu, Rosullulloh sholallohu alaihi wasallam bersabda,

“Bersemangatlah untuk mendapatkan apa yang manfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Alloh, dan jangan lemah. Jika kalian mengalami kegagalan, jangan ucapkan, ‘Andai tadi saya melakukan cara ini, harusnya akan terjadi ini dan itu.’ Namun ucapkanlah, ‘Ini taqdir Alloh, dan apa saja yang dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena berandai-andai membuka peluang setan.” (HR. Ahmad, Muslim, Ibn Hibban, dan yang lainnya).

Kedua, Hindari Panjang Angan-angan

Terlalu ambisius menjadi orang sukses, memperparah kondisi galau yang dialami manusia. Dia berangan-angan panjang, hingga terbuai dalam bayangan kosong tanpa makna. Karena itulah, Rosululloh sholallohu alaihi wasallam dan para sahabat mencela panjang angan-angan.

Ali bin Abi Tholib rodhiallohu anhu mengatakan,

 “Yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah menikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Mengikuti hawa nafsu bisa menjadi penghalang untuk memihak kebenaran. Panjang angan-angan bisa melupakan akhirat. Ketahuilah bahwa dunia akan berlalu.”

Ketiga, Jangan Merasa Didzalimi Taqdir

Ketika anda merasa lebih gagal dibandingkan teman anda, ketika anda  merasa lebih miskin dibandingkan rekan anda, Ketika anda terkatung-katung di dunia kuliah, sementara teman anda telah sukses di dunia kerja dan keluarga, Anda tidak perlu berduka, karena duka anda tidak akan mengubah nasib anda. Yang lebih penting kendalikan hati agar tidak hasad dan dengki. Anda perlu mengingat hadis ini,

Dari Abu Hurairah rodhiallohu anhu, Rosullulloh sholallohu alaihi wasallam bersabda,

“Perhatikanlah orang yang lebih rendah keadaannya dari pada kalian, dan jangan perhatikan orang yang lebih sukses dibandingkan kalian. Karena ini cara paling efektif, agar kalian tidak meremehkan nikmat Alloh bagi kalian.” (HR. Ahmad, Turmudzi, dan Ibn Majah)

Keempat, Jangan Lupakan Doa Memohon Kebaikan Dunia dan Akhirat. 
Wallohu a’lam.

Tanya Jawab Tentang Bertaubat Dari Harta Riba



Dari Hamba Alloh di Ciampea.. Bagaimana caranya bertaubat dari harta riba? Dulu saya sebelum hijrah tidak tahu bahwa meminjam uang di bank ribawi itu haram.

Jawaban:

Alloh Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Alloh dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At Tahrim []: 8)

Dijelaskan oleh Ibnu Katsir rohimahulloh bahwa makna taubat yang tulus (taubatan nashuhah) sebagaimana kata para ulama adalah, “Menghindari dosa untuk saat ini. Menyesali dosa yang telah lalu. Bertekad tidak melakukannya lagi di masa akan datang. Lalu jika dosa tersebut berkaitan dengan hak sesama manusia, maka ia harus menyelesaikannya atau mengembalikannya.” (Tafsir Qur’an Al-Azhim Inu Katsir)

Adapun cara taubat bagi orang yang mendapatkan barang atau uang hasil muamalat atas dasar saling ridho, tetapi bentuk muamalatnya diharamkan Alloh subhanahu wa ta’ala, seperti pemberi dan penerima harta riba karena ia tidak tahu bahwa muamalat yang dia lakukan hukumnya haram, maka ada beberapa rincian.

Pertama, Untuk orang yang tidak tahu bahwa muamalat yang dia lakukan hukumnya adalah haram, maka cara bertaubatnya saat ia mengetahui muamalat ini diharamkan adalah ia wajib berhenti dan tidak mengambil barang atau uang yang belum diserahkan rekan transaksi kepadanya.

Adapun barang atau uang yang telah diterima dan telah digunakannya selama ini adalah miliknya dan ia tidak berdosa karena tidak mengetahui hukumnya dan semoga Alloh mengampuni kelalainnya.

Ini berdasarkan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala:
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ, مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلىَ اللهِ

“Alloh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu ia berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Alloh.” (QS. Al-Baqarah [2]: 275)

Ayat ini menjelaskan bahwa harta hasil riba yang telah diterima dan telah digunakan sebelum riba diharamkan tetap menjadi milik yang menerima. Dan hukum orang yang tidak tahu bahwa riba adalah haram sama dengan orang yang belum diturunkan kepadanya ayat yang melarang riba.

Ayat ini berarti bahwa harta riba yang belum diterimanya tidak halal lagi semenjak larangan turun atau semenjak ia mengetahui hukumnya adalah haram.

Kedua, untuk orang yang tahu bahwa Muamalat yang Ia lakukan Hukumnya Haram, namun sengaja ia langgar, maka cara bertaubat dari barang atau uang hasil muamalat jenis ini adalah dengan cara tidak mengambil barang atau uang yang belum diserahkan lawan transaksi kepadanya.

Adapun barang atau uang yang telah diterima atau yang telah habis digunakan maka ia wajib memperkirakan nilainya dan menggantinya, lalu disedekahkan untuk fakir miskin atau kepentingan fasilitas umum, atau untuk Baitul Mal dalam rangka membersihkan dirinya dari harta haram dan bukan disedekahkan atas nama orang yang memberikannya. Karena status harta tersebut bukan lagi milik si pemberinya.

Ini berdasarkan atsar dari Umar bin Khattab RadhiyAllohu anhu bahwa ia pernah menyita harta para gubernurnya yang dianggap haram lalu ia masukkan ke Baitul Mal.

Ibnu Maudud rohimahulloh berkata, ”Harta haram haruslah disedekahkan, jika ia gunakan untuk keperluan pribadinya dan dia adalah orang kaya ia mesti bersedekah dengan sejumlah harta tersebut, dan jika dia adalah orang miskin maka ia tidak perlu bersedekah.”

Di dalam al-Fatawa al-Kubra disebutkan, ”Barangsiapa mendapatkan harta melalui usaha yang haram dan diserahkan dengan hati rela oleh orang yang memberinya, seperti uang hasil menjual arak, uang hasil perzinahan dan upah meramal nasib, maka pendapat Ibnu Taimiyah rohimahulloh adalah jika dia tidak mengetahui hukum transaksi tersebut haram saat melakukannya, kemudian ia tahu hukumnya haram dan bertaubat, maka harta itu halal dimakannya. Tetapi, jika ia tahu bahwa hukumnya haram sejak awal transaksi, kemudian dia bertaubat, maka hendaklah ia menyedekahkan harta tersebut, dan harta itu halal bagi orang miskin yang menerima sedekahnya. Dan jika dia sendiri berstatus fakir miskin maka ia boleh mengambilnya sekadar menutupi kebutuhan pokoknya.”

Wallohu a’lam