Halaman

Cahaya Pengetahuan Muslim

Jumat, 27 Desember 2013

Istri Durhaka Dalam Islam (Perempuan / Wanita Durhaka)

 Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokatuh,

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صلى الله عليه وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين

'Innalhamdalillaah, nahmaduhu wanasta’inuhu, wanastaghfiruh. Wana’udzubillaahiminsyururi anfusina waminsyay yiati a’malina, may yahdihillahu fala mudzillalah, wamay yut’lil fala hadziyalah. Asyhadu alailahaillallahu wah dahula syarikalah wa assyhadu anna muhammadan ‘abduhu warosuluh.Salallahu'alaihi wa 'ala alihi wa sahbihi wa man tabi'ahum bi ihsanin illa yaumiddiin'.

Fainna ashdaqal hadits kitabaLLAH wa khairal hadyi hadyu Muhammad Salallahu'alaihiwassalam, wa syarral ‘umuri muhdatsatuha, Wa kullu muhdatsatin bid’ah wa kullu bid’atin dhalalah wa kullu dhalalatin fin nar… Ammaba’du
 

 

 

 

Hukum Istri yang Berani dan Durhaka kepada Suaminya

Permasalahan:Wandu - wanita durhaka / istri durhaka - Sesungguhnya Allah -Subhanahu wa Ta’la- menciptakan istri bagi kita, agar kita merasa tentram dan tenang kepadanya.

Sebagaimana firman Allah -Subhanahu wa Ta’la-

"Dan diantara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir."
(QS. Ar-Ruum :21)

Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata menafsirkan ayat ini,

"Kemudian diantara kesempurnaan rahmat-Nya kepada anak cucu Adam, Allah menciptakan pasangan mereka dari jenis mereka, dan Allah ciptakan diantara mereka mawaddah (yakni, cinta), dan rahmat (yakni, kasih sayang).
Sebab seorang suami akan mempertahankan istrinya karena cinta kepadanya atau sayang kepadanya dengan jalan wanita mendapatkan anak dari suami, atau ia butuh kepada suaminya dalam hal nafkah, atau karena kerukunan antara keduanya, dan sebagainya". [Lihat Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim (3/568)]

Istri Durhaka Dalam Islam (Perempuan / Wanita Durhaka) - jadi, maksud adanya pernikahan adalah untuk menciptakan kecenderungan (ketenangan), kasih sayang, dan cinta. Sebab seorang istri akan menjadi penyejuk mata, dan penenang di kala timbul problema.
Namun, jika istri itu durhaka lagi membangkang kepada suaminya, maka alamat kehancuran ada didepan mata.Dia tidak lagi menjadi penyejuk hati, tapi menjadi musibah dan neraka bagi suaminya.

Kedurhakaan seorang istri kepada suaminya amat banyak ragam dan bentuknya, seperti mencaci-maki suami, mengangkat suara depan suami, membuat suami jengkel, berwajah cemberut depan suami, menolak ajakan suami untuk jimak, membenci keluarga suami, tidak mensyukuri (mengingkari) kebaikan, dan pemberian suami, tidak mau mengurusi rumah tangga suami, selingkuh, berpacaran di belakang suami, keluar rumah tanpa izin suami, dan sebagainya.

Allah -Subhanahu wa Ta’la- telah mengancam istri yang durhaka kepada suaminya melalui lisan Rasul-Nya ketika Beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لاَ تَسْتَغْنِيْ عَنْهُ


"Allah tidak akan melihat seorang istri yang tidak mau berterima kasih atas kebaikan suaminya padahal ia selalu butuh kepada suaminya" .

[HR. An-Nasa'iy dalam Al-Kubro (9135 & 9136), Al-Bazzar dalam Al-Musnad (2349), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (2771), dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (289)]

Tipe wanita seperti ini banyak disekitar kita.

Suami yang lelah banting tulang setiap hari untuk menghidupi anak-anaknya, dan memenuhi kebutuhannya, namun masih saja tetap berkeluh kesah dan tidak puas dengan penghasilan suaminya.

Ia selalu membanding-bandingkan suaminya dengan orang lain, sehingga hal itu menjadi beban yang berat bagi suaminya. Maka tidak heran jika neraka dipenuhi dengan wanita-wanita seperti ini, sebagaimana sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-,


أُرِيْتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ . قِيْلَ: أَيَكْفُرْنَ بِاللهِ ؟ , قال: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ , لَوْ أَحْسَنْتَ إَلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ , ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا, قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْراً قَطُّ


"Telah diperlihatkan neraka kepadaku, kulihat mayoritas penghuninya adalah wanita, mereka telah kufur (ingkar)!" Ada yang bertanya, "apakah mereka kufur (ingkar) kepada Allah?" Rasullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- menjawab, "Tidak, mereka mengingkari (kebaikan) suami.
Sekiranya kalian senantiasa berbuat baik kepada salah seorang dari mereka sepanjang hidupnya, lalu ia melihat sesuatu yang tidak berkenan, ia (istri durhaka itu) pasti berkata, "Saya sama sekali tidak pernah melihat kebaikan pada dirimu"
.

[HR. Bukhariy dalam Shohih-nya (29), dan Muslim dalam Shohih-nya (907)]

Pembaca yang budiman, jika para wandu mengetahui betapa besar kedudukan seorang suami di sisinya, maka mereka tidak akan berani durhaka dan membangkang kepada suaminya.

Cobalah tengok hadits Hushain bin Mihshon ketika ia berkata, "Bibiku telah menceritakan kepadaku seraya berkata,


أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ بَعْضِ الْحَاجَةِ, قَالَ: (أَيْ هَذِهِ أَذَاتُ بَعْلٍ أَنْتِ), قُلْتُ : (نَعَمْ), قَالَ: (فَكَيْفَ أَنْتِ لَهُ), قَالَتْ: (مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ), قال: (فَأَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ, فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ)


"Saya mendatangi Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- untuk suatu keperluan. Beliau bertanya:"siapakah ini? Apakah sudah bersuami?."sudah!", jawabku. "Bagaimana hubungan engkau dengannya?", tanya Rasulullah. "Saya selalu mentaatinya sebatas kemampuanku". Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, "Perhatikanlah selalu bagaimana hubunganmu denganya, sebab suamimu adalah surgamu, dan nerakamu".

[HR. An-Nasa'iy dalam Al-Kubro (8963), Ahmad dalam Al-Musnad (4/341/no. 19025), dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (2612), dan Adab Az-Zifaf (hal. 213)]

Dari hadits ini, kita telah mengetahui betapa besar dan agungnya hak-hak suami yang wajib dipenuhi seorang istri sampai Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pernah bersabda,


لَوْ كُنْتُ آمُرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا


"Sekiranya aku memerintahkan seseorang untuk sujud kepada lainnya, niscaya akan kuperintahkan seorang istri sujud kepada suaminya" .

[HR. At-Tirmidziy dalam As-Sunan (1159), dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa' (1998)]

Jika seorang istri tidak memenuhi hak-hak tersebut atau durhaka kepada suami, maka ia mendapatkan ancaman dari Allah -Ta’ala- lewat lisan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-,


اِثْنَانِ لاَ تُجَاوِزُ صَلاَتُهُمَا رُؤُوْسَهُمَا : عَبْدٌ أَبَقَ مِنْ مَوَالِيْهِ حَتَّى يَرْجِعَ , وَامْرَأَةٌ عَصَتْ زَوْجَهَا حَتَّى تَرْجِعَ


"Ada dua orang yang sholatnya tidak melampaui kepalanya: budak yang lari dari majikannya sampai ia kembali, dan wanita yang durhaka kepada suaminya sampai ia mau rujuk (taubat)".

[HR. Ath-Thobroniy dalam Ash-Shoghir (478), dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (7330)]

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,


ثَلاَثَةٌ لاَ تُجَاوِزُ صَلاَتُهُمْ آذَانَهُمْ : الْعَبْدُ اْلآبِقُ حَتَّى يَرْجِعَ , وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ , وَإِمَامُ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُوْنَ


"Ada tiga orang yang sholatnya tidak melampaui telinganya: Hamba yang lari sampai ia mau kembali, wanita yang bermalam, sedang suaminya marah kepadanya, dan seorang pemimpin kaum, sedang mereka benci kepadanya".

[HR. At-Tirmidziy (360). Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (1122)]

Ini merupakan ancaman yang amat keras bagi para wandu (wanita durhaka), karena kedurhakaannya menjadi sebab tertolaknya amal sholatnya di sisi Allah. Dia sholat hanya sekedar melaksanakan kewajiban di hadapan Allah.
Adapun pahalanya, maka ia tak akan mendapatkannya, selain lelah dan capek saja. Wal’iyadzu billahmin dzalik.

Al-Imam As-Suyuthiy-rahimahullah- berkata dalam Quuth Al-Mughtadziy saat menjelaskan kandungan dua hadits di atas,
"Maksudnya, sholatnya tak terangkat ke langit sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas di sisi Ibnu Majah, "Sholat mereka tak akan terangkat sejengkal di atas kepala mereka".

Ini merupakan perumpamaan tentang tidak diterimanya amal sholatnya sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas di sisi Ath-Thobroniy, "Allah tak akan menerima sholat mereka" sampai ia rujuk (kembali)…"
[Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (2/291)]

Diantara bentuk kedurhakaan seorang istri kepada suaminya, enggannya seorang istri untuk memenuhi hajat biologis suaminya.
Keengganan seorang istri dalam melayani suaminya, lalu suami murka dan jengkel merupakan sebab para malaikat melaknat istri yang durhaka seperti ini. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

>
إِذَا دَعَا الَّرُجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ


"Jika seorang suami mengajak istrinya (berjimak) ke tempat tidur, lalu sang istri enggan, dan suami bermalam dalam keadaan marah kepadanya, maka para malaikat akan melaknat sang istri sampai pagi".

[HR. Al-Bukhoriy Kitab Bad'il Kholq (3237), dan Muslim dalam Kitab An-Nikah (1436)]

Seorang suami saat ia butuh pelayanan biologis (jimak) dari istrinya, maka seorang istri tak boleh menolak hajat suaminya, bahkan ia harus berusaha sebisa mungkin memenuhi hajatnya, walaupun ia capek atau sibuk dengan suatu urusan.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,


وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا, وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ


"Demi (Allah) Yang jiwa Muhammad ada di Tangan-Nya, seorang istri tak akan memenuhi hak Robb-nya sampai ia mau memenuhi hak suaminya. Walaupun suaminya meminta dirinya (untuk berjimak), sedang ia berada dalam sekedup, maka ia (istri) tak boleh menghalanginya".

[HR. Ibnu Majah dalam Kitab An-Nikah (1853). Hadits ini dikuatkan oleh Al-Albaniy dalam Adab Az-Zifaf (hal. 211)]

Istri / wanita /perempuan yang durhaka kepada suaminya -perhatikan hadits ini, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- memberikan bimbingan kepada para wanita yang bersuami agar memperhatikan suaminya saat-saat ia dibutuhkan oleh suaminya.
Sebab kebanyakan problema rumah tangga timbul dan berawal dari masalah kurangnya perhatian istri atau suami kepada kebutuhan biologis pasangannya, sehingga "solusinya" (baca: akibatnya) munculllah kemarahan, dan ketidakharmonisan rumah tangga.

Syaikh Al-Albaniy-rahimahullah- berkata dalam Adab Az-Zifaf (hal. 210),
"Jika wajib bagi seorang istri untuk mentaati suaminya dalam hal pemenuhan biologis (jimak), maka tentunya lebih wajib lagi baginya untuk mentaati suami dalam perkara yang lebih penting dari itu, seperti mendidik anak, memperbaiki (mengurusi) rumah tangga, dan sejenisnya diantara hak dan kewajibannya".

Seorang wanita yang durhaka kepada suaminya, akan selalu dibenci oleh suaminya, bahkan ia akan dibenci oleh istri suaminya dari kalangan bidadari di surga. Istri bidadari ini akan marah. Saking marahnya, ia mendoakan kejelekan bagi wanita yang durhaka kepada suaminya..

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,


لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ : لاَ تُؤْذِيْهِ , قَاتَلَكِ اللهُ , فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكَ دَخِيْلٌ يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا


"Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia, melainkan istrinya dari kalangan bidadari akan berkata, "Janganlah engkau menyakitinya. Semoga Allah memusuhimu. Dia (sang suami) hanyalah tamu di sisimu; hampir saja ia akan meninggalkanmu menuju kepada kami".

[HR. At-Tirmidziy Kitab Ar-Rodho' (1174), dan Ibnu Majah dalam Kitab An-Nikah (2014). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Adab Az-Zifaf (hal. 212)]

Cukuplah beberapa hadits yang kami bacakan dan nukilkan kepada Anda tentang bahayanya seorang wanita melakukan kedurhakaan kepada suaminya, yakni tak mau taat kepada suami dalam perkara-perkara yang ma’ruf (boleh) menurut syari’at.

Semoga wanita-wanita yang durhaka kepada suaminya mau kembali berbakti, dan bertaubat sebelum ajal menjemput. Pada hari itulah penyesalan tak lagi bermanfaat baginya.

Sumber :

Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 84 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)



Wallahu a’lam
(artinya: “Dan Allah lebih tahu atau Yang Maha tahu atau Maha Mengetahui)
“Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla ilaha illa Anta astaghfiruka wa atubu ilaik (Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji untuk-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Engkau, saya meminta ampunan dan bertaubat kepada-Mu).”
"Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokatuh,.

Jumat, 29 November 2013

Hadits Sahih Hukum Memelihara Jenggot / Janggut

Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokatuh,



إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صلى الله عليه وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين

'Innalhamdalillaah, nahmaduhu wanasta’inuhu, wanastaghfiruh. Wana’udzubillaahiminsyururi anfusina waminsyay yiati a’malina, may yahdihillahu fala mudzillalah, wamay yut’lil fala hadziyalah. Asyhadu alailahaillallahu wah dahula syarikalah wa assyhadu anna muhammadan ‘abduhu warosuluh.Salallahu'alaihi wa 'ala alihi wa sahbihi wa man tabi'ahum bi ihsanin illa yaumiddiin'.

Fainna ashdaqal hadits kitabaLLAH wa khairal hadyi hadyu Muhammad Salallahu'alaihiwassalam, wa syarral ‘umuri muhdatsatuha, Wa kullu muhdatsatin bid’ah wa kullu bid’atin dhalalah wa kullu dhalalatin fin nar… Ammaba’du






Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman:


وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS An Nisâ’: 115)


DALIL DARI ALQUR’AN

1. Allah ta’ala berfirman:


وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا، وَاتَّقُوا اللَّهَ، إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Ambillah apa yang datang dari Rosul, dan tinggalkanlah apa yang dilarangnya! Dan takutlah kalian kepada Allah, karena sesungguhnya Allah itu Maha Keras siksa-Nya (al-Hasyr: 7)

Ayat ini menyuruh kita untuk menjalankan semua tuntunan Rosul -shollallohu alaihi wasallam-, sekaligus memerintah kita untuk meninggalkan semua larangan beliau. Dan sebagaimana kita tahu dalam kaidah ushul fikih, bahwa “setiap perintah dalam Alqur’an dan Sunnah, itu menunjukkan suatu kewajiban, kecuali ada dalil khusus yang merubahnya”.
Sehingga ayat ini secara tidak langsung, mewajibkan kita untuk memelihara jenggot… Mengapa? Karena banyaknya perintah dari Rosul ­-shollallohu alaihi wasallam-, untuk memelihara jenggot, dan setiap perintah beliau itu menunjukkan kewajiban, kecuali ada dalil khusus yang merubahnya.

2. Allah ta’ala berfirman:


فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Maka hendaklah mereka yang menyalahi perintah Rosul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa adzab yang pedih (an-Nur: 63)

Dalam ayat ini, Allah memperingatkan hamba-Nya; jika mereka melanggar perintah Rosul -shollallohu alaihi wasallam-, maka Dia akan menimpakan cobaan dan adzab yang pedih kepada mereka. Dan diantara perintah beliau adalah perintah memanjangkan jenggot. Itu berarti ayat ini secara tidak langsung memperingatkan kita untuk tidak memangkas jenggot.

3. Allah ta’ala berfirman:


قَالَ يَبْنَؤُمَّ لَا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي وَلَا بِرَأْسِي

Dia (Nabi Harun) menjawab: “Wahai putra ibuku! Janganlah engkau pegang jenggotku, jangan pula kepalaku!”

Ayat ini mengabarkan pada kita, bahwa Nabi Harun pada masa hidupnya memelihara jenggotnya… Jika ayat ini kita padukan dengan ayat lain yang berbunyi:


أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ
 
Mereka (para Nabi) itulah yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka (al-An’am: 90)

Maka kita akan tahu bahwa kita -Umat Muhammad- diperintah untuk memelihara jenggot. Itu karena diantara petunjuk para Nabi terdahulu adalah mereka memelihara jenggotnya, dan kita diperintah untuk melakukan petunjuk mereka yang sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad -shollallohu alaihi wasallam-.

DALIL DARI HADITS

Banyak sekali hadits yang menunjukkan wajibnya memelihara jenggot, diantaranya:

1. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ، وَفِّرُوا اللِّحَى، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ! (رواه البخاري: 5892

Dari Ibnu Umar r.a., Rosul -shollallohu alaihi wasallam- pernah bersabda: Selisihilah kaum musyrikin, biarkanlah jenggot kalian panjang, dan potong tipislah kumis kalian! (HR. Bukhori: 5892)

2. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda:

انْهَكُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى! (رواه البخاري: 5893)ـ
 
Dari Ibnu Umar r.a., Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: Potong tipislah kumis kalian, dan biarkanlah jenggot kalian! (HR. Bukhori: 5893)

3. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda:
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ، أَحْفُوا الشَّوَارِبَ، وَأَوْفُوا اللِّحَى! (رواه مسلم: 259)ـ

Dari Ibnu Umar, Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Selisilah Kaum Musyrikin, potong pendeklah kumis kalian, dan sempurnakanlah jenggot kalian!”. (HR. Muslim: 259)

4. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda:
جُزُّوا الشَّوَارِبَ، وَأَرْخُوا اللِّحَى، خَالِفُوا الْمَجُوسَ! (رواه مسلم: 260)ـ

Dari Abu Huroiroh r.a., Nabi -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: Potonglah kumis kalian, biarkanlah jenggot kalian, dan selisihilah Kaum Majusi. (HR. Muslim: 260)

5. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda:
جُزُّوا الشَّوَارِبَ، وَأَرْجوا (أو وأرجئوا) اللِّحَى، خَالِفُوا الْمَجُوسَ. (رواه مسلم: 260, مع الرجوع إلى شرح صحيح مسلم للنووي, وفتح الباري شرح حديث رقم: 5892)ـ

Dari Abu Huroiroh r.a., Nabi -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: Potonglah kumis kalian, panjangkanlah jenggot kalian, dan selisihilah Kaum Majusi. (HR. Muslim: 260, lihat juga Syarah Shohih Muslim karya Imam Nawawi, dan Fathul Bari Syarah Shohih Bukhori karya Ibnu Hajar hadits no: 5892)

6. Hadits Nabi -shollallohu alaihi wasallam-:

عن أبي أمامة قَالَ: …فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ يَقُصُّونَ عَثَانِينَهُمْ وَيُوَفِّرُونَ سِبَالَهُمْ قَالَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُصُّوا سِبَالَكُمْ وَوَفِّرُوا عَثَانِينَكُمْ وَخَالِفُوا أَهْلَ الْكِتَابِ (رواه أحمد: 21780)ـ


Dari Abu Umamah: …lalu kami (para sahabat) pun menanyakan: “Wahai Rosululoh, sungguh kaum ahli kitab itu (biasa) memangkas jenggot mereka dan memanjangkan kumis mereka?”. Maka Nabi -shollallohu alaihi wasallam- menjawab: “Potonglah kumis kalian, dan biarkanlah jenggot kalian panjang, serta selisilah Kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani)!”. (HR. Ahmad: 21780, dihasankan oleh Albani, dan dishohihkan oleh Muhaqqiq Musnad Ahmad, lihat Musnad Ahmad 36/613)

7. Hadits dari Abdulloh bin Umar r.a.:

عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما: أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر بإحفاء الشوارب, وإعفاء اللحى (رواه مسلم: 259)ـ


Ibnu Umar r.a. mengatakan: “Sesungguhnya Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- memerintahkan untuk memangkas tipis kumis dan membiarkan jenggot panjang. (HR. Muslim: 259).

8. Pernyataan Sahabat Jabir bin Abdulloh r.a.:

كنا نؤمر أن نوفي السبال ونأخذ من الشوارب (مصنف ابن أبي شيبة 5/25504). وفي لفظ: كنا نعفي السبال, ونأخذ من الشوارب (أخرجه أبو داود: 4201). وحسنه الحافظ ابن حجر في فتح الباري 13/410, وصححه الشيخ عبد الوهاب الزيد في كتابه إقامة الحجة في تارك المحجة ص 36 و 79)ـ


Jabir r.a. mengatakan: “Sungguh kami (para sahabat), diperintah untuk memanjangkan jenggot dan mencukur kumis”. (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah: 26016). Dalam riwayat lain dengan redaksi: “Kami (para sahabat) membiarkan jenggot kami panjang, dan mencukur kumis” (HR. Abu Dawud: 4201). Atsar ini dihasankan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 13/410, dan di shohihkan oleh Syeikh Abdul Wahhab alu Zaid dalam kitabnya Iqomatul Hujjah fi Tarikil Mahajjah, hal: 36 dan 79)

Dari sabda-sabda di atas, kita dapat mengambil kesimpulan berikut:

1. Sabda-sabda diatas, semuanya menunjukkan perintah untuk memanjangkan jenggot, dan sebagaimana kita tahu kaidah ushul fikih, “setiap perintah dalam nash-nash syariat itu menunjukkan suatu kewajiban, dan haram bagi kita menyelisihinya, kecuali ada dalil khusus yang merubahnya menjadi tidak wajib”. Itu berarti wajib bagi kita memanjangkan jenggot, dan haram bagi kita memangkasnya.

2. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- menghubungkan perintah memanjangkan jenggot, dengan perintah menyelisihi Kaum Ahli Kitab (Yahudi Nasrani), Kaum Musyrikin, dan Kaum Majusi. Itu menambah kuatnya hukum wajibnya memanjangkan jenggot ini, mengapa?… Karena dua perintah, jika berkumpul dalam satu perbuatan yang sama, itu lebih kuat dari hanya satu perintah saja.

3. Pada sabda-sabda di atas, terkumpul 5 redaksi perintah yang berbeda (perhatikan kalimat arab yang kami cetak merah, dari hadits 1-5), yang semuanya menunjukkan perintah memanjangkan jenggot… Ini juga meneguhkan petunjuk wajibnya memanjangkan jenggot… Karena perintah dengan lima redaksi yang berbeda-beda lebih meyakinkan, dari pada hanya menggunakan satu redaksi saja.

4. Para Sahabat Nabi, semuanya memanjangkan jenggotnya, karena mereka diperintah oleh Rosul -shollallohu alaihi wasallam- untuk melakukan itu. Jika perintah itu tidak wajib dilakukan, mengapa tidak ada satu pun sahabat yang menggundul jenggotnya?!. (lihat hadits no: 8)

5. Memanjangkan jenggot adalah ibadah yang diperintahkan oleh Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, oleh karena itulah para sahabat bersemangat menerapkannya dalam kehidupan mereka, bahkan tidak satupun dari mereka menyelisihi perintah ini… Coba perhatikan masyarakat sekitar kita di era ini, kenyataannya sangat bertolak belakang, para sahabat dahulu semuanya memelihara jenggot, tapi di lingkungan kita tidak ada yang memelihara jenggot kecuali hanya sedikit saja… Semoga Alloh merubah keadaan umat ini, pada keadaan yang lebih baik, dan lebih dekat kepada ajaran islam yang mulia dan suci, sehingga umat ini dapat menggapai kejayaan yang mereka impikan… amin.

Para pembaca yang dirahmati Allah…

Sebenarnya sudah cukup, bagi insan muslim yang inshof, untuk menerima kesimpulan wajibnya memanjangkan jenggot ini, dengan berdasar pada dalil Al-Quran, Hadits, dan Ijma’ yang kami sebutkan.

Namun, bila ada yang masih ragu dengan kesimpulan ini, mari kita lihat:

Perkataan Ulama Terdahulu Dalam Masalah Ini


MADZHAB HANAFI

يحرم على الرجل قطع لحيته (الدر المختار 6/407)ـ


Diharamkan bagi pria memotong jenggotnya. (ad-Durruh Mukhtar 6/407)

ولا يأخذ من لحيته شيئا لأنه مُثْلة (البحر الرائق 2/372)ـ


Tidak boleh baginya memangkas jenggotnya, karena itu termasuk mutslah. (al-Bahrur Ro’iq 2/372)

وأما الأخذ منها وهي دون ذلك كما يفعله بعض المغاربة ومخنثه الرجال فلم يبحه أحد (فتح القدير 4/370) (حاشية ابن عابدين 2/418)ـ


Adapun memangkas jenggot yang panjangnya kurang dari genggaman tangan, sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang Maroko dan para banci, maka tidak ada seorang pun yang membolehkannya. (Fathul Qodir 4/370, Hasyiah Ibnu Abidin 2/417).


MADZHAB MALIKI

فلا يجوز حلقُها، ولا نتفُها، ولا قص الكثير منها (المفهم للقرطبي 1/512)ـ


Maka tidak boleh mencukur jenggot, tidak boleh mencabutinya, dan tidak boleh pula memangkas sebagian besarnya. (al-Mufhim, karya Imam al-Qurthubi 1/512)

ويحرم على الرجل حلق اللحية (منح الجليل 1/82)ـ


Diharamkan bagi pria mencukur jenggotnya. (Minahul Jalil 1/82)

وحلق اللحية لا يجوز (مواهب الجليل 1/313)ـ


Menggundul jenggot itu tidak diperbolehkan (Mawahibul Jalil 1/313)

تنبيه: يحرم على الرجل حلق لحيته (حاشية الدسوقي 1/90)ـ


Catatan penting: Diharamkan bagi pria menggundul jenggotnya. (Hasyiah Dasuqi 1/90)

واتفقوا على أن حلق اللحية مثلة لا تجوز (الإقناع في مسائل الإجماع 2/3953)ـ


Para ulama sepakat bahwa sesungguhnya menggundul jenggot, termasuk tindakan mutslah yang tidak diperbolehkan. (al-Iqna’ fi Masailil Ijma’, karya Abul Hasan al-Qoththon al-Maliki 2/3953)


MADZHAB SYAFI’I

قال الشافعي: ولا يأخذ من شعر رأسه ولا لحيته شيئا لان ذلك إنما يؤخذ زينة أو نسكا (الأم 2/640)ـ


Imam Syafi’i -rohimahulloh- mengatakan: “Ia (orang yang memandikan mayat) tidak boleh memangkas rambut kepala maupun jenggotnya si mayat, karena kedua rambut itu hanya boleh diambil untuk menghias diri dan ketika ibadah manasik saja”. (al-Umm 2/640)
وقال أيضا: والحِلاق ليس بجناية لان فيه نسكا في الرأس وليس فيه كثير ألم، وهو -وإن كان في اللحية لا يجوز- فليس كثير ألم ولا ذهاب شعر، لانه يستخلف، ولو استخلف الشعر ناقصا أو لم يستخلف كانت فيه حكومة (الأم 7/203)ـ

Imam Syafi’i -rohimahulloh- juga mengatakan: “Menggundul rambut bukanlah kejahatan, karena adanya ibadah dengan menggundul kepala, juga karena tidak adanya rasa sakit yang berlebihan padanya. Tindakan menggundul itu, meski tidak diperbolehkan pada jenggot, namun tidak ada rasa sakit yang berlebihan padanya, juga tidak menyebabkan hilangnya rambut, karena ia tetap akan tumbuh lagi. Seandainya setelah digundul, ternyata rambut yang tumbuh kurang, atau tidak tumbuh lagi, maka hukumannya adalah hukumah. (al-Umm 7/203)
قال ابن رفعة: إن الشافعي قد نص في الأم على تحريم حلق اللحية (حاشية العبادي على تحفة المحتاج 9/376)ـ

Ibnu Rif’ah -rohimahulloh- mengatakan: Sungguh Imam Syafi’i telah menegaskan dalam kitabnya Al-Umm, tentang haramnya menggundul jenggot. (Hasyiatul Abbadi ala Tuhfatil Muhtaj 9/376)
قال الماوردي: نتف اللحية من السفه الذي ترد به الشهادة (الحاوي الكبير 17/151)ـ

Imam al-Mawardi -rohimahulloh- mengatakan: Mencabuti jenggot merupakan perbuatan safah yang menyebabkan persaksian seseorang ditolak.(al-Hawil Kabir 17/151)
قال الغزالي: وأما نتفها في أول النبات تشبها بالمرد فمن المنكرات الكبار فإن اللحية زينة الرجال. (إحياء علوم الدين 2/257)ـ

al-Ghozali mengatakan: Adapun mencabuti jenggot di awal munculnya, agar menyerupai orang yang tidak punya jenggot, maka ini termasuk kemungkaran yang besar, karena jenggot adalah penghias bagi laki-laki. (Ihya’ Ulumiddin 2/257)
قال النووي: والصحيح كراهة الاخذ منها مطلقا بل يتركها على حالها كيف كانت، للحديث الصحيح واعفوا اللحي. وأما الحديث عمرو بن شعيب عن ابيه عن جده “ان النبي صلي الله عليه وسلم كان يأخذ من لحيته من عرضها وطولها” فرواه الترمذي باسناد ضعيف لا يحتج به (المجموع 1/343)ـ

Imam Nawawi -rohimahulloh- mengatakan: Yang benar adalah dibencinya perbuatan memangkas jenggot secara mutlak, tapi harusnya ia membiarkan apa adanya, karena adanya hadits shohih “biarkanlah jenggot panjang“. Adapun haditsnya Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya: “bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- dahulu mengambil jenggotnya dari sisi samping dan dari sisi panjangnya”, maka hadits ini telah diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan sanad yang lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah. (al-Majmu’ 1/343)

قال النووي: والمختار ترك اللحية على حالها وألا يتعرض لها بتقصير شيء أصلا (شرح صحيح مسلم للنووي, حديث رقم 260)ـ


Imam Nawawi juga mengatakan: Pendapat yang kami pilih adalah membiarkan jenggot apa adanya, dan tidak memendekkannya sama sekali (Syarah Shohih Muslim, hadits no: 260)
قال أبو شامه: وقد حدث قوم يحلقون لحاهم, وهو أشد مما نقل عن المجوس أنهم كانوا يقصونها. (فتح الباري 13/411)ـ

Abu Syamah -rohimahulloh- mengatakan: Telah datang sekelompok kaum yang menggunduli jenggotnya, perbuatan mereka itu lebih parah dari apa yang dinukil dari kaum Majusi, bahwa mereka dulu memendekkannya. (Fathul Bari 13/411)
قال الحليمي الشافعي: لا يحل لأحد أن يحلق لحيته ولا حاجبيه, وإن كان له أن يحلق سباله, لأن لحلقه فا ئدة, وهي أن لا يعلق به من دسم الطعام ورائحته ما يكره, بخلاف حلق اللحية, فإنه هجنة وشهرة وتشبه بالنساء, فهو كجب الذكر. (الإعلام لابن الملقن 1/711)ـ

Al-Hulaimi asy-Syafi’i -rohimahulloh- mengatakan: Tidak seorang pun dibolehkan memangkas habis jenggotnya, juga alisnya, meski ia boleh memangkas habis kumisnya. Karena memangkas habis kumis ada faedahnya, yakni agar lemak makanan dan bau tidak enaknya tidak tertinggal padanya. Berbeda dengan memangkas habis jenggot, karena itu termasuk tindakan hujnah, syuhroh, dan menyerupai wanita, maka ia seperti menghilangkan kemaluan. (al-I’lam, karya Ibnul Mulaqqin)

MADZHAB HAMBALI

 



(وَيُحَرَّمُ) التَّعْزِيرُ (بِحَلْقِ لِحْيَتِهِ) لِمَا فِيهِ مِنْ الْمُثْلَةِ (كشاف القناع 1/126)

Diharamkan memberikan ta’ziran (hukuman) dengan menggundul jenggot, karena adanya unsur mutslah di dalamnya. (Kasysyaful qona’ 1/126)

وَيَحْرُمُ حَلْقُهَا ذَكَرَهُ شَيْخُنَا (الفروع 1/130)ـ


Diharamkan menggundul jenggot, itu disebutkan oleh Syeikh kami. (al-Furu’ 1/130)

وَيُعْفِيَ لِحْيَتَهُ… وَيَحْرُمُ حَلْقُهَا. (الإنصاف 1/121)ـ


(Termasuk Sunnah Nabi dalam rambut) adalah dengan membiarkan jenggot panjang… dan haram baginya menggundul jenggotnya. (al-Inshof 1/121)

َيُعْفِي لِحْيَتَهُ وَيَحْرُمُ حَلْقُهَا , ذَكَرَهُ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ. (دقائق أولي النهى لشرح المنتهى 1/43)ـ


(Termasuk Sunnah Nabi dalam rambut) adalah dengan membiarkan jenggot panjang dan haram baginya menggundul jenggotnya. Hal ini disebutkan oleh Syeikh Taqiyuddin. (Daqo’iqu Ulin Nuha li Syarhil Muntaha 1/43)

قال السفَّاريني: المعتمد في المذهب حرمة حلق اللحية. (غذاء الألباب 1/334)ـ


Pendapat yang mu’tamad dalam madzhab (Hambali) adalah haramnya menggundul jenggot. (Ghidza’ul Albab 1/334)

Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam sahih keduanya dan juga selain mereka :

ﻋَﻦْ ﻧَﺎﻓِﻊٍ ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﻗَﺎﻝَ : ﺧَﺎﻟِﻔُﻮﺍ ﺍﻟْﻤُﺸْﺮِﻛِﻴْﻦَ ﻭَﻓِّﺮُﻭﺍ ﺍﻟﻠِّﺤَﻰ ﻭَﺃَﺣْﻔُﻮﺍ ﺍﻟﺸَّﻮَﺍﺭِﺏَ. ﴿ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﴾
.
Dari Nafi’ dan Ibnu Umar radliyallahu 'anhuma berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Bedakanlah kalian dengan orang-orang musyrik, yaitu banyakkanlah jenggotmu dan pangkaslah kumismu.”

ﻭَﻟَﻬُﻤَﺎ ﻋَﻨْﻪُ ﺃَﻳْﻀًﺎ : ﺃَﺣْﻔُﻮﺍ ﺍﻟﺸَّﻮَﺍﺭِﺏَ ﻭَﺃَﻭْﻓُﻮْﺍ ﺍﻟﻠِّﺤَﻰ. ﻭَﻓِﻲْ ﺭِﻭَﺍﻳَﺔٍ : ﺍﻧْﻬَﻜُﻮﺍ ﺍﻟﺸَّﻮَﺍﺭِﺏَ ﻭَﺃَﻋْﻔُﻮﺍ ﺍﻟﻠِّﺤَﻰ

Diriwayatkan juga oleh keduanya dari Abdullah bin Umar radliyallahu 'anhuma : “Pangkaslah kumis kalian dan biarkan jenggot kalian tumbuh.” Dalam suatu riwayat lain : “Cukurlah kumis kalian dan biarkan tumbuh jenggot kalian.”
﴿ ﺍﻟﻠِّﺤَﻰ ﴾ adalah nama rambut yang tumbuh pada kedua pipi dan dagu.

Berkata Ibnu Hajar :
﴿ ﻭﻓﺮﻭﺍ ﴾ dengan tasydid di fak-nya : ﴿ ﻭَﻓِّﺮُﻭْﺍ ﴾
Berasal dari ﴿ ﺍﻟﺘّﻮْﻓِﻴْﺮُ ﴾ : Yaitu membiarkan, maksudnya biarkanlah banyak.
Dan ﴿ ﺇِﻋْﻔَﺎﺀُ ﺍﻟﻠِّﺤَﻰ ﴾ : Yaitu biarkanlah sebagaimana adanya.

Adapun perintah untuk menyelisihi orang-orang musyrik sebagaimana dijelaskan oleh hadits dari Abi Hurairah radliyallahu 'anhu :

“Sesungguhnya orang musyrik itu, mereka membiarkan kumis mereka tumbuh dan mencukur jenggot mereka. Maka bedakanlah dengan mereka yaitu biarkanlah jenggot kalian tumbuh dan cukurlah kumis kalian.” (Diriwayatkan oleh Al Bazzar dengan sanad yang hasan)

Dari Abu Hurairah juga diriwayatkan oleh Muslim :

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Bedakanlah kalian dengan orang-orang Majusi, karena sesungguhnya mereka (orang-orang Majusi) memendekkan jenggot dan memanjangkan kumisnya.”

Ibnu Hibban meriwayatkan dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhu, dia berkata :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah menyebutkan tentang orang-orang Majusi. Beliau bersabda : “Sesungguhnya mereka memanjangkan kumis dan mencukur jenggot maka bedakanlah kalian dengan mereka.” Lalu beliau (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) menampakkan pemotongan kumisnya kepadaku (Ibnu Umar).

Dari Abi Hurairah radliyallahu 'anhu berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Termasuk fitrah Islam, memotong kumis dan membiarkan jenggot tumbuh. Sesungguhnya orang-orang Majusi membiarkan kumisnya dan mencukur jenggotnya. Maka bedakanlah dengan mereka, yaitu pangkaslah kumis kalian dan biarkanlah tumbuh jenggot kalian.”

Di dalam Sahih Muslim dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhuma dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sesungguhnya beliau bersabda :

ﺃُﻣِﺮْﻧَﺎ ﺑِﺈِﺣْﻔَﺎﺀِ ﺍﻟﺸّﻮَﺍﺭِﺏِ ﻭَﺇِﻋْﻔَﺎﺀِ ﺍﻟﻠِّﺤْـﻴَﺔِ.

“Kami diperintah untuk memangkas kumis dan membiarkan tumbuh jenggot.”

Diriwayatkan pula oleh Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

ﺟَﺰُّﻭْﺍ ﺍﻟﺸَّﻮَﺍﺭِﺏَ ﻭَﺃَﺭْﺧُﻮﺍ ﺍﻟﻠِّﺤَﻰ.

“Potonglah kumis kalian dan panjangkanlah/biarkanlah jenggot kalian.”
Makna ﴿ ﺟَﺰُّﻭْﺍ ﴾ dan ﴿ ﻗَﺼُّﻮْﺍ ﴾ adalah potonglah.
Dan makna ﴿ ﺃَﺭْﺧُﻮﺍ ﴾ dan ﴿ ﻃَـﻴّﻠُﻮْﺍ ﴾ adalah panjangkanlah atau diartikan juga, biarkanlah.
Hadits-hadits yang diriwayatkan dengan lafadh ﴿ pangkaslah = ﻗَﺼُّﻮْﺍ ﴾, maka :
Tidak meniadakan ﴿ mencukur = ﺍْﻹِﺣْﻔَﺎﺀُ ﴾.

Karena sesungguhnya riwayat ﴿ ﺍْﻹِﺣْﻔَﺎﺀُ ﴾ ada di dalam Bukhari-Muslim dan sama maksudnya.
Dalam suatu riwayat :
ﺃَﻭْﻓُﻮْﺍ ﺍﻟﻠِّﺤَﻰ
“Biarkanlah/banyakkanlah jenggot kalian.”
Maksudnya : “Biarkanlah jenggot kalian penuh.”

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Diharamkan mencukur jenggot.”
Berkata Al Qurthubi rahimahullah : “Tidak boleh memotong, mencabut, dan mencukurnya.”

Abu Muhammad Ibnu Hazm menceritakan bahwa menurut ijma’, menggunting kumis dan membiarkan jenggot tumbuh adalah fardlu dengan dalil hadits Ibnu Umar radliyallahu 'anhu :
“Bedakanlah kalian dengan orang-orang musyrik, cukurlah kumis dan biarkanlah jenggot kalian tumbuh.”
Dan dengan hadits Zaid bin Arqam secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) :
“Barangsiapa yang tidak memotong kumisnya maka bukan termasuk golongan kami.” (Dishahihkan oleh At Tirmidzi)

Dengan dalil yang lain, Tirmidzi berkata di dalam Al Furu’ : “Bentuk kalimat ini menurut shahabat kami (yang sepakat dengan Tirmidzi) menunjukkan keharaman.” Dan berkata pula dalam Al Iqna’ : “Haram mencukur jenggot.”

Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Abi Hurairah radliyallahu 'anhu, dia berkata :

Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Biarkanlah jenggot kalian tumbuh dan cukurlah kumis kalian dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yahudi dan nashara.”

Al Bazzar telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma secara marfu' :
“Janganlah kalian menyerupai orang-orang Ajam, biarkanlah tumbuh jenggot kalian.”

Abu Daud meriwayatkan dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhu dia berkata :

Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Barangsiapa menyerupai dengan suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.”

Dan riwayat Abu Daud dari Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Bukanlah termasuk golongan kami barangsiapa yang menyerupai selain kami, janganlah kalian menyerupai orang-orang yahudi dan nashara.”

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Maka bedakanlah diri dengan mereka (yahudi dan nashara)! Adalah perintah yang dikehendaki oleh pembuat syariat (Allah).”

Penyerupaan pada dhahir akan berpengaruh/menimbulkan kasih, cinta, dan kesetiaan dalam batin sebagaimana kecintaan dalam batin akan berpengaruh/menimbulkan penyerupaan dalam dhahir dan ini adalah masalah yang nyata, baik secara perasaan atau dalam praktik nyata.
Penyerupaan dengan mereka pada perkara yang tidak disyariatkan bisa jadi sampai pada pengharaman atau termasuk dosa dari dosa-dosa besar (Al Kabair) dan terjadinya kekafiran sesuai dengan dalil syar'iyyah.

Sungguh Al Qur'an dan As Sunnah serta ijma' telah menunjukkan perintah untuk menyelisihi orang-orang kafir dan melarang menyerupai mereka secara keseluruhan.
Suatu perkara yang diduga sebagai tempat terjadinya kerusakan yang terselubung (dimana hal tersebut) tidak ditegaskan (oleh syar'i) berarti ketetapan hukumnya dikaitkan pada perkara di atas dan dalil tentang pengharamannya telah mengena (tidak terlepas) dari masalah tersebut.

Maka menyerupai mereka dalam bentuk dhahir merupakan penyebab penyerupaan dalam akhlak, perbuatan-perbuatan yang tercela, bahkan sampai pada i'tiqad (keyakinan). Sedang pengaruh dari yang demikian itu tidak ditegaskan (oleh syar'i).
Dan kerusakan itu sendiri --yang dihasilkan dari sikap penyerupaan-- terkadang hal tersebut tidak nampak dan terkadang sulit (untuk dihindari) atau tidak mudah untuk dihilangkan. Maka segala sesuatu yang menyebabkan pada kerusakan (fasaad), pembuat syariat (Allah ‘Azza wa Jalla) mengharamkannya.

Dan diriwayatkan oleh Ibnu Umar radliyallahu 'anhu :

“Barangsiapa yang menyerupai mereka sampai meninggal (mati) dia akan dibangkitkan bersama mereka.”

Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencegah untuk mengikuti hawa nafsu mereka. Maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia) dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al Maidah : 77)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang dhalim.” (QS. Al Baqarah : 145)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :

“Mengikuti mereka pada perkara yang mereka khususkan dari agama mereka. Dan mengikuti agama mereka berarti mengikuti hawa nasfu mereka.”

Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan bahwasanya salah seorang dari majusi datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dia sungguh telah mencukur jenggotnya dan memanjangkan kumisnya.
Maka bertanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pada orang tersebut, apa yang menyebabkan berbuat demikian, dia menjawab : “Ini agama kami.” Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam (adalah jenggot beliau penuh dari sini sampai sini dan menunjuk tangannya pada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) : “Akan tetapi pada agama kami, yaitu memangkas kumis dan membiarkan jenggot tumbuh.”

Harits bin Abi Usamah telah mengeluarkan dari Yahya bin Katsir, dia berkata : Telah datang seorang laki-laki 'ajam ke masjid dan sungguh dia telah memanjangkan kumisnya dan menggunting jenggotnya. Maka bersabda (bertanya) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pada orang tersebut : “Apa yang membawa kamu (menyuruh kamu) atas ini?” Maka orang tersebut menjawab : “Sesungguhnya rab (raja) saya yang memerintah saya dengan ini.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan agar memanjangkan jenggot dan memangkas kumis saya.”

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Zaid bin Habib kisahnya dua utusan kisra (kaisar), berkata Zaid bin Habib :

Telah masuk dua utusan tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan sungguh keduanya telah mencukur jenggot dan memelihara kumisnya, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memandang dengan benci kepada keduanya dan bersabda : “Celakalah kalian berdua. Siapakah yang menyuruh kalian dengan ini.” Kedua orang tersebut menjawab : “Yang memerintahkan kami adalah rab kami (yaitu kaisar).”

Maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Akan tetapi Rabbku memerintahkan untuk memelihara jenggotku dan memotong kumisku.”

Muslim meriwayatkan dari Jarir radliyallahu 'anhu, ia berkata :

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam banyak rambut jenggotnya.”

Diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Umar radliyallahu 'anhu :

“(Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) itu tebal jenggotnya.”
Dan dalam suatu riwayat : “Banyak jenggotnya.” Dan dalam riwayat lain : “Lebat jenggotnya.”
Dari Anas radliyallahu 'anhu : “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, jenggotnya penuh dari sini sampai sini --menunjuk dengan tangannya pada lebarnya--.”

Sebagian ahli ilmu membolehkan (memberikan keringanan) dalam masalah mengambil (memotong) jenggot yang lebih dari genggaman dengan dasar yang dilakukan oleh Ibnu Umar radliyallahu 'anhu . Namun kebanyakan ulama membencinya (mengambil yang lebih dari genggaman). Dan ini sudah jelas dengan (keterangan) yang terdahulu.
Berkata Imam Nawawi rahimahullah : “Yang terpilih yaitu membiarkan atas keadaannya, yakni tidak memendekkan sesuatu dari jenggot secara asal.”

Al Khatib telah mengeluarkan dari Abi Said radliyallahu 'anhu bahwa : Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Janganlah salah satu di antara kalian memotong dari panjang jenggotnya.”

Dalam kitab Ad Darul Mukhtar disebutkan :

“Adapun memotong dari jenggot itu bukan menggenggam sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Maghrib dan para banci dari kaum laki-laki, maka tidak seorang pun yang membolehkannya.”

Pada Diri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Ada Suri Tauladan Yang Baik
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab : 21)

Dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :

“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr : 7)

Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya). Dan janganlah kamu menjadi orang-orang (munafik) yang berkata : “Kami mendengarkan.” Padahal mereka tidak mendengarkan.” (QS. Al Anfal : 20-21)

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS. An Nur : 63)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan dia ke dalam jahanam dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa' : 115)

Allah ‘Azza wa Jalla memperindah para laki-laki dengan jenggot. Dan diriwayatkan termasuk tasbihnya para Malaikat :

“Maha Suci (Allah) yang telah menghiasi orang laki-laki dengan jenggot.”

Dikatakan di dalam At Tamhid :

“Haram mencukur jenggot, tidaklah ada yang berbuat demikian (mencukur jenggot) kecuali banci dari (kalangan) laki-laki.”

Imam Nawawi rahimahullah dan yang lain berkata :

• Jenggot adalah perhiasan laki-laki dan merupakan kesempurnaan ciptaan.
• Dengan jenggot, Allah membedakan antara laki-laki dan perempuan dan termasuk tanda-tanda kesempurnaan, maka mencabut pada awal tumbuhnya adalah menyerupai anak laki-laki yang belum tumbuh jenggotnya dan merupakan kemungkaran yang besar.
• Demikian juga mencukur, menggunting, atau menghilangkan dengan obat penghilang rambut termasuk kemungkaran yang paling jelas dan kemaksiatan yang tampak nyata, menyelisihi perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam serta terjerumus kepada perkara yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melarangnya.

Telah berkata dan bersaksi bahwa seorang laki-laki yang mencabut rambut di bawah bibirnya di sisi Umar bin Abdul Aziz maka beliau menolak persaksiannya. Umar bin Khaththab radliyallahu 'anhu dan Ibnu Abi Layla (seorang qadli di Madinah) menolak persaksian semua orang yang mencabut jenggotnya. Berkata Abu Syamah :

“Sungguh telah terjadi pada suatu kaum yang mereka itu mencukur jenggotnya dan kejadian ini lebih parah dari apa-apa yang terdapat pada Majusi (yang mereka itu memendekkan jenggot dan memanjangkan kumisnya) disebabkan mereka mencukur jenggotnya.”

Ini pada jaman Abu Syamah rahimahullah, bagaimana seandainya jika beliau melihat masa sekarang (dimana) lebih banyak orang yang melakukannya.
Apa yang menimpa mereka? Dilaknati Allah-lah mereka. Maka bagaimana mereka berpaling?

Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan mereka mencontoh Rasul-Nya sementara mereka menyelisihinya dan mereka bermaksiat kepadanya. Mereka mencontoh orang-orang Majusi dan orang-orang kafir.
Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan mereka agar taat kepada Rasul-Nya dan sungguh telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

ﺃﻋْﻔُﻮ ﺍﻟﻠِّﺤَﻰ
“Peliharalah jenggot.”

Sementara mereka bermaksiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan mereka bermaksud dengan sengaja mencukur jenggotnya.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan untuk mencukur kumis, mereka memanjangkannya, mereka melakukan yang sebaliknya. Mereka bermaksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla secara terang-terangan dengan melakukan apa yang tidak tepat pada tempatnya.

Dan yang Allah ‘Azza wa Jalla memperindah dengannya adalah paling mulia dan indahnya sesuatu dari manusia.

“Maka apakah orang yang dijadikan (syaithan) menganggap pekerjaannya yang buruk itu baik (sama dengan orang yang tidak ditipu syaithan)? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Faathir : 8)

Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada Engkau dari butanya hati, kotornya dosa-dosa, kehinaan dunia, dan siksa akhirat.

“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun. Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar niscaya mereka pasti berpaling juga sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu).” (QS. Al Anfal : 22-23)

Dan dalam hal ini cukuplah bagi orang yang mempunyai hati dan mendengarkan serta dia dalam keadaan menyaksikan.

Firman Allah ‘Azza wa Jalla :

“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka dialah yang mendapat petunjuk dan barangsiapa yang disesatkan-Nya maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (QS. Al Kahfi : 17)

ﻭَﺍﷲﹸ ﺃَﻋْﻠَﻢُ ﺑِﺎﻟﺼَّﻮَّﺍﺏ
ﻭَﺻَﻠَّﻰ ﺍﷲﹸ ﻋَﻠَﻰ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻭَﺁﻟِﻪِ ﻭَﺻَﺤْﺒِﻪِ

(Dikutip dari terjemah tulisan Abdurrahman Ibn Muhammad ibn Qoshim Al 'Ashimi, edisi Indonesia Biarkan Jenggot Anda Tumbuh, penerbit Cahaya Tauhid Press, Malang)

Dari Zakariya bin Abi Zaidah dari Mush’ab bin Syaibah dari Thalq bin Habib dari Abdullah bin Az-Zubair dari Aisyah -radhiallahu anha- dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

عَشْرٌ مِنْ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الْأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ
قَالَ زَكَرِيَّاءُ: قَالَ مُصْعَبٌ: وَنَسِيتُ الْعَاشِرَةَ إِلَّا أَنْ تَكُونَ الْمَضْمَضَةَ


“Ada sepuluh perkara dari fitrah: Mencukur kumis, memanjangkan janggut, bersiwak, beristinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung), memotong kuku, bersuci dengan air, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan dan beristinja’ dengan air (istinja`).”
Zakariya berkata: Mush’ab berkata, “Dan aku lupa yang kesepuluh, kecuali dia adalah berkumur-kumur.” (HR. Muslim no. 261)

Dari Ibnu Umar  dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى


“Potonglah kumis dan biarkanlah janggut.” (HR. Al-Bukhari no. 5892 dan Muslim no. 259)
Dari Abu Hurairah  dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَعْفُوا اللِّحَى وَخُذُوا الشَّوَارِبَ وَغَيِّرُوا شَيْبَكُمْ وَلَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَالنَّصَارَى


“Panjangkanlah janggut, cukurlah kumis, dan warnailah uban kalian, serta janganlah kalian menyerupai orang Yahudi dan Nasrani.” (HR. Ahmad no. 8318 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 1067)

Penjelasan ringkas:

Janggut adalah rambut yang tumbuh di pipi (dari bawah tulang pipi) dan yang tumbuh di dagu. Maka termasuk janggut adalah cambang yang tumbuh di bawah tulang pipi.

Membiarkan janggut dan tidak mencabut atau memangkasnya termasuk dari sunnah fitrah yang diperintahkan oleh Ar-Rasul -alaihishshalatu wassalam-. Karenanya para ulama telah bersepakat akan wajibnya membiarkan janggut dan haramnya mencabut atau memangkasnya. Ijma’ ini dinukil oleh Imam Ibnu Hazm dalam Maratib Al-Ijma’ hal. 157 dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiah sebagaimana dalam Al-Ikhtiyarat hal. 19.

Dalil akan ijma’ ini adalah hadits-hadits di atas dan yang semisalnya, dan juga karena mencukur janggut merupakan perbuatan menyerupai orang-orang kafir dan juga menyerupai wanita, sementara kedua perkara ini telah dilarang oleh syariat dalam beberapa ayat dan hadits.

Sumber:
http://al-atsariyyah.com/quote-of-the-day/kewajiban-memelihara-janggut.html
http://addariny.wordpress.com/2010/01/12/jenggot-haruskah-2/
http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=71



Wallahu a’lam


(artinya: “Dan Allah lebih tahu atau Yang Maha tahu atau Maha Mengetahui)


“Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla ilaha illa Anta astaghfiruka wa atubu ilaik (Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji untuk-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Engkau, saya meminta ampunan dan bertaubat kepada-Mu).”

Kamis, 24 Oktober 2013

Hadist Tentang 73 (Tujuh Puluh Tiga) Golongan Dan Hanya 1 (Satu) Golongan Yang Benar

 
 
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokatuh,

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صلى الله عليه وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين

'Innalhamdalillaah, nahmaduhu wanasta’inuhu, wanastaghfiruh. Wana’udzubillaahiminsyururi anfusina waminsyay yiati a’malina, may yahdihillahu fala mudzillalah, wamay yut’lil fala hadziyalah. Asyhadu alailahaillallahu wah dahula syarikalah wa assyhadu anna muhammadan ‘abduhu warosuluh.Salallahu'alaihi wa 'ala alihi wa sahbihi wa man tabi'ahum bi ihsanin illa yaumiddiin'.

Fainna ashdaqal hadits kitabaLLAH wa khairal hadyi hadyu Muhammad Salallahu'alaihiwassalam, wa syarral ‘umuri muhdatsatuha, Wa kullu muhdatsatin bid’ah wa kullu bid’atin dhalalah wa kullu dhalalatin fin nar… Ammaba’du
 

Kedudukan Hadits Tujuh Puluh Tiga Golongan Umat Islam

KEDUDUKAN HADITS “TUJUH PULUH TIGA GOLONGAN UMMAT ISLAM”

MUQADDIMAH

Akhir-akhir ini kita sering dengar ada beberapa khatib dan penulis yang membawakan hadits tentang tujuh puluh dua golongan ummat Islam masuk Neraka dan hanya satu golongan ummat Islam yang masuk Surga adalah hadits yang lemah, dan mereka berkata bahwa yang benar adalah hadits yang berbunyi bahwa tujuh puluh golongan masuk Surga dan satu golongan yang masuk Neraka, yaitu kaum zindiq. Mereka melemahkan atau mendha’ifkan ‘hadits perpecahan ummat Islam menjadi tujuh puluh golongan, semua masuk Neraka dan hanya satu yang masuk Surga’ disebabkan tiga hal:

1. Karena pada sanad-sanad hadits tersebut terdapat kelemahan.
2. Karena jumlah bilangan golongan yang celaka itu berbeda-beda, misalnya; satu hadits menyebutkan tujuh puluh dua golongan yang masuk Neraka, dalam hadits yang lainnya disebutkan tujuh puluh satu golongan dan dalam hadits yang lainnya lagi disebutkan tujuh puluh golongan saja, tanpa menentukan batas.
3. Karena makna/isi hadits tersebut tidak cocok dengan akal, mereka mengatakan bahwa semestinya mayoritas ummat Islam ini menempati Surga atau minimal menjadi separuh penghuni Surga.

Dalam tulisan ini, insya Allah, saya akan menjelaskan kedudukan sebenarnya dari hadits tersebut, serta penjelasannya dari para ulama Ahli Hadits, sehingga dengan demikian akan hilang ke-musykil-an yang ada, baik dari segi sanadnya maupun maknanya.

JUMLAH HADITS TENTANG TERPECAHNYA UMMAT ISLAM

Apabila kita kumpulkan hadits-hadits tentang terpecahnya ummat menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan dan satu golongan yang masuk Surga, lebih kurang ada lima belas hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari sepuluh Imam Ahli Hadits dari 14 (empat belas) orang Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu:

1. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
2. Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu.
3. ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma.
4. ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
5. Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu ‘anhu.
6. ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.
7. Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma.
8. Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu.
9. Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu.
10 Watsilah bin Asqa’ radhiyallahu ‘anhu.
11. ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani radhiyallahu ‘anhu.
12. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
13. Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu.
14. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.

Sebagian dari hadits-hadits tersebut adalah sebagai berikut:

HADITS PERTAMA:

Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِفْتَرَقَ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Kaum Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) golongan atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga (73) golongan.

Keterangan:
Hadits ini diriwayatkan oleh:
1. Abu Dawud, Kitab as-Sunnah, I-Bab Syarhus Sunnah no. 4596, dan lafazh hadits di atas adalah lafazh Abu Dawud.
2. At-Tirmidzi, Kitabul Iman, 18-Bab Maa Jaa-a fiftiraaqi Haadzihil Ummah, no. 2778 dan ia berkata: “Hadits ini hasan shahih.” (Lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi VII/397-398.)
3. Ibnu Majah, 36-Kitabul Fitan, 17-Bab Iftiraaqil Umam, no. 3991.
4. Imam Ahmad, dalam kitab Musnad II/332, tanpa me-nyebutkan kata “Nashara.”
5. Al-Hakim, dalam kitabnya al-Mustadrak, Kitabul Iman I/6, dan ia berkata: “Hadits ini banyak sanadnya, dan berbicara tentang masalah pokok agama.”
6. Ibnu Hibban, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Mawaariduzh Zhamaan, 31-Kitabul Fitan, 4-Bab Iftiraqil Ummah, hal. 454, no. 1834.
7. Abu Ya’la al-Maushiliy, dalam kitabnya al-Musnad: Musnad Abu Hurairah, no. 5884 (cet. Daarul Kutub Ilmiyyah, Beirut).
8. Ibnu Abi ‘Ashim, dalam kitabnya as-Sunnah, 19-Bab Fii ma Akhbara bihin Nabiyyu -Shallallaahu ‘alaihi wa sallam- anna Ummatahu Sataftariqu, I/33, no. 66.
9. Ibnu Baththah, dalam kitab Ibanatul Kubra: Bab Dzikri Iftiraaqil Umam fii Diiniha, wa ‘ala kam Taftariqul Ummah? I/374-375 no. 273 tahqiq Ridha Na’san Mu’thi.
10. Al-Ajurri, dalam kitab asy-Syari’ah: Bab Dzikri Iftiraqil Umam fii Diinihi, I/306 no. 22, tahqiq Dr. ‘Abdullah bin ‘Umar bin Sulaiman ad-Damiiji.

Perawi Hadits:
a. Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah bin Waqqash al-Allaitsiy.
• Imam Abu Hatim berkata: “Ia baik haditsnya, ditulis haditsnya dan dia adalah seorang Syaikh (guru).”
• Imam an-Nasa-i berkata: “Ia tidak apa-apa (yakni boleh dipakai), dan ia pernah berkata bahwa Muhammad bin ‘Amir adalah seorang perawi yang tsiqah.”
• Imam adz-Dzahabi berkata: “Ia adalah seorang Syaikh yang terkenal dan hasan haditsnya.”
• Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata: “Ia se-orang perawi yang benar, hanya padanya ada beberapa kesalahan.”
(Lihat al-Jarhu wat Ta’dilu VIII/30-31, Mizaanul I’tidal III/ 673 no. 8015, Tahdzibut Tahdzib IX/333-334, Taqribut Tahdzib II/119 no. 6208.)
b. Abu Salamah, yakni ‘Abdurrahman bin ‘Auf: Beliau adalah seorang perawi yang tsiqah, Abu Zur’ah ber-kata: “Ia seorang perawi yang tsiqah.”
(Lihat Tahdzibut Tahdzib XII/115, Taqribut Tahdzib II/409 no. 8177.)

Derajat Hadits
Hadits di atas derajatnya hasan, karena terdapat Muhammad bin ‘Amr, akan tetapi hadits ini menjadi shahih karena banyak syawahidnya.

Imam at-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih.”

Imam al-Hakim berkata: “Hadits ini shahih menurut syarat Muslim dan keduanya (yakni al-Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya.” Dan al-Hafizh adz-Dzahabi pun menyetujuinya. (Lihat al-Mustadrak Imam al-Hakim: Kitaabul ‘Ilmi I/128.)

Ibnu Hibban dan Imam asy-Syathibi telah menshahihkan hadits di atas dalam kitab al-I’tisham (II/189).

Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany juga telah menshahihkan hadits di atas dalam kitab Silsilah Ahaadits ash-Shahiihah no. 203 dan kitab Shahih at-Tirmidzi no. 2128.

HADITS KEDUA:

Hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan :

عَنْ أَبِيْ عَامِرٍ الْهَوْزَنِيِّ عَبْدِ اللهِ بْنِ لُحَيِّ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِيْ سُفْيَانَ أَنَّهُ قَامَ فِيْنَا فَقَالَ: أَلاَ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِيْنَا فَقَالَ: أََلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ. ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ .

Dari Abu ‘Amir al-Hauzaniy ‘Abdillah bin Luhai, dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan, bahwasanya ia (Mu’awiyah) pernah berdiri di hadapan kami, lalu ia berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di hadapan kami, kemudian beliau bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan dan sesungguhnya ummat ini akan berpecah belah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, (adapun) yang tujuh puluh dua akan masuk Neraka dan yang satu golongan akan masuk Surga, yaitu “al-Jama’ah.”

Keterangan:
Hadits ini diriwayatkan oleh:
1. Abu Dawud, Kitabus Sunnah Bab Syarhus Sunnah no. 4597, dan lafazh hadits di atas adalah dari lafazh-nya.
2. Ad-Darimi, dalam kitab Sunan-nya (II/241) Bab fii Iftiraqi Hadzihil Ummah.
3. Imam Ahmad, dalam Musnad-nya (IV/102).
4. Al-Hakim, dalam kitab al-Mustadrak (I/128).
5. Al-Ajurri, dalam kitab asy-Syari’ah (I/314-315 no. 29).
6. Ibnu Abi ‘Ashim, dalam Kitabus Sunnah, (I/7) no. 1-2.
7. Ibnu Baththah, dalam kitab al-Ibaanah ‘an Syari’atil Firqah an-Najiyah (I/371) no. 268, tahqiq Ridha Na’san Mu’thi, cet.II Darur Rayah 1415 H.
8. Al-Lalikaa-iy, dalam kitab Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunah wal Jama’ah (I/113-114) no. 150, tahqiq Dr. Ahmad bin Sa’id bin Hamdan al-Ghaamidi, cet. Daar Thay-yibah th. 1418 H.
9. Al-Ashbahani, dalam kitab al-Hujjah fii Bayanil Mahajjah pasal Fii Dzikril Ahwa’ al-Madzmumah al-Qismul Awwal I/107 no. 16.

Semua Ahli Hadits di atas telah meriwayatkan dari jalan:
Shafwan bin ‘Amr, ia berkata: “Telah menceritakan kepadaku Azhar bin ‘Abdillah al-Hauzani dari Abu ‘Amr ‘Abdullah bin Luhai dari Mu’awiyah.”

Perawi Hadits
a. Shafwan bin ‘Amr bin Haram as-Saksaki, ia telah di-katakan tsiqah oleh Imam al-‘Ijliy, Abu Hatim, an-Nasa-i, Ibnu Sa’ad, Ibnul Mubarak dan lain-lain.
b. Azhar bin ‘Abdillah al-Harazi, ia telah dikatakan tsiqah oleh al-‘Ijliy dan Ibnu Hibban. Al-Hafizh adz-Dzahabi berkata: “Ia adalah seorang Tabi’in dan haditsnya hasan.” Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Ia shaduq (orang yang benar) dan ia dibicarakan tentang Nashb.” (Lihat Mizaanul I’tidal I/173, Taqribut Tahdzib I/75 no. 308, ats-Tsiqat hal. 59 karya Imam al-‘Ijly dan kitab ats-Tsiqat IV/38 karya Ibnu Hibban.)
c. Abu Amir al-Hauzani ialah Abu ‘Amir ‘Abdullah bin Luhai.
• Imam Abu Zur’ah dan ad-Daruquthni berkata: “Ia tidak apa-apa (yakni boleh dipakai).”
• Imam al-‘Ijliy dan Ibnu Hibban berkata: “Dia orang yang tsiqah.”
• Al-Hafizh adz-Dzahabi dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata: “Ia adalah seorang perawi yang tsiqah.” (Lihat al-Jarhu wat Ta’dilu V/145, Tahdzibut Tahdzib V/327, Taqribut Tahdzib I/444 dan kitab al-Kasyif II/109.)

Derajat Hadits
Derajat hadits di atas adalah hasan, karena ada seorang perawi yang bernama Azhar bin ‘Abdillah, akan tetapi hadits ini naik menjadi shahih dengan syawahidnya.

Al-Hakim berkata: “Sanad-sanad hadits (yang banyak) ini, harus dijadikan hujjah untuk menshahihkan hadits ini. dan al-Hafizh adz-Dzahabi pun menyetujuinya.” (Lihat al-Mustadrak I/128.)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Hadits ini shahih masyhur.”
(Lihat kitab Silsilatul Ahaadits ash-Shahiihah I/405 karya Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany, cet. Maktabah al-Ma’arif.)

HADITS KETIGA:

Hadits ‘Auf bin Malik Radhiyallahu 'anhu.

عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِفْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِيْ الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِيْ النَّارِ، قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَنْ هُمْ؟ قَالَ: الْجَمَاعَةُ.

Dari ‘Auf bin Malik, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Yahudi terpecah menjadi 71 (tujuh puluh satu) golongan, satu (golongan) masuk Surga dan yang 70 (tujuh puluh) di Neraka. Dan Nasrani terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan, yang 71 (tujuh puluh satu) golongan di Neraka dan yang satu di Surga. Dan demi Yang jiwa Muhammad berada di Tangan-Nya, ummatku benar-benar akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, yang satu di Surga, dan yang 72 (tujuh puluh dua) golongan di Neraka,’ Ditanyakan kepada beliau, ‘Siapakah mereka (satu golongan yang masuk Surga itu) wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Al-Jama’ah.

Keterangan
Hadits ini telah diriwayatkan oleh:
1. Ibnu Majah, dalam kitab Sunan-nya Kitabul Fitan bab Iftiraaqil Umam no. 3992.
2. Ibnu Abi ‘Ashim, dalam kitab as-Sunnah I/32 no. 63.
3. Al-Lalikaa-i, dalam kitab Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunah wal Jama’ah I/113 no. 149.

Semuanya telah meriwayatkan dari jalan ‘Amr, telah menceritakan kepada kami ‘Abbad bin Yusuf, telah menceritakan kepadaku Shafwan bin ‘Amr dari Rasyid bin Sa’ad dari ‘Auf bin Malik.

Perawi Hadits:
a. ‘Amr bin ‘Utsman bin Sa’ad bin Katsir bin Dinar al-Himshi.
An-Nasa-i dan Ibnu Hibban berkata: “Ia merupakan seorang perawi yang tsiqah.”
b. ‘Abbad bin Yusuf al-Kindi al-Himsi.
Ia dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban. Ibnu ‘Adiy berkata: “Ia meriwayatkan dari Shafwan dan lainnya hadits-hadits yang ia menyendiri dalam meriwayatkannya.”
Ibnu Hajar berkata: “Ia maqbul (yakni bisa diterima haditsnya bila ada mutabi’nya).”
(Lihat Mizaanul I’tidal II/380, Tahdzibut Tahdzib V/96-97, Taqribut Tahdzib I/470 no. 3165.)
c. Shafwan bin ‘Amr: “Tsiqah.” (Taqribut Tahdzib I/439 no. 2949.)
d. Raasyid bin Sa’ad: “Tsiqah.” (Tahdzibut Tahdzib III/195, Taqribut Tahdzib I/289 no. 1859.)

Derajat Hadits
Derajat hadits ini hasan, karena ada ‘Abbad bin Yusuf, tetapi hadits ini menjadi shahih dengan beberapa syawahidnya.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani mengatakan hadits ini shahih dalam Shahih Ibnu Majah II/364 no. 3226 cetakan Maktabut Tarbiyatul ‘Arabiy li Duwalil Khalij cet. III thn. 1408 H, dan Silisilah al-Ahaadits ash-Shahihah no. 1492.

HADITS KEEMPAT:

Hadits tentang terpecahnya ummat menjadi 73 golongan diriwayatkan juga oleh Anas bin Malik dengan mempunyai 8 (delapan) jalan (sanad) di antaranya dari jalan Qatadah diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 3993:

Lafazh-nya adalah sebagai berikut:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ اِفْتَرَقَتْ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً؛ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

Dari Anas bin Malik, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 71 (tujuh puluh satu) golongan, dan sesungguhnya ummatku akan terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan, yang semuanya berada di Neraka, kecuali satu golongan, yakni “al-Jama’ah.”

Imam al-Bushiriy berkata, “Sanadnya shahih dan para perawinya tsiqah.[1]

Hadits ini dishahih-kan oleh Imam al-Albany dalam shahih Ibnu Majah no. 3227.
(Lihat tujuh sanad lainnya yang terdapat dalam Silsilatul Ahaadits ash-Shahiihah I/360-361)

HADITS KELIMA:

Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dalam Kitabul Iman, bab Maa Jaa-a Fiftiraaqi Haadzihil Ummah no. 2641 dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash dan Imam al-Laalika-i juga meriwayatkan dalam kitabnya Syarah Ushuli I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (I/111-112 no. 147) dari Shahabat dan dari jalan yang sama, dengan ada tambahan pertanyaan, yaitu: “Siapakah golongan yang selamat itu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

مَاأَنَا عَلَيْهِ وَ أَصْحَابِيْ

“Ialah golongan yang mengikuti jejakku dan jejak para Shahabatku.”

Lafazh-nya secara lengkap adalah sebagai berikut:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِيْ مَا أَتَى عَلَى بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلاَنِيَةً لَكَانَ فِيْ أُمَّتِيْ مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ وَإِنَّ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوْا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sungguh akan terjadi pada ummatku, apa yang telah terjadi pada ummat bani Israil sedikit demi sedikit, sehingga jika ada di antara mereka (Bani Israil) yang menyetubuhi ibunya secara terang-terangan, maka niscaya akan ada pada ummatku yang mengerjakan itu. Dan sesungguhnya bani Israil berpecah menjadi tujuh puluh dua millah, semuanya di Neraka kecuali satu millah saja dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga millah, yang semuanya di Neraka kecuali satu millah.’ (para Shahabat) bertanya, ‘Siapa mereka wahai Rasulullah?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Apa yang aku dan para Shahabatku berada di atasnya.’”
(Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 2641, dan ia berkata: “Ini merupakan hadits penjelas yang gharib, kami tidak mengetahuinya seperti ini, kecuali dari jalan ini.”)

Perawi Hadits
Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yang lemah, yaitu ‘Abdur Rahman bin Ziyad bin An’um al-Ifriqiy. Ia dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in, Imam Ahmad, an-Nasa-i dan selain mereka. Ibnu Hajar al-Asqalani berkata: “Ia lemah hafalannya.”
(Tahdzibut Tahdzib VI/157-160, Taqribut Tahdzib I/569 no. 3876.)

Derajat Hadits
Imam at-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan, karena banyak syawahid-nya. Bukan beliau menguatkan perawi di atas, karena dalam bab Adzan beliau melemahkan perawi ini.
(Lihat Silsilatul Ahaadits ash-Shahiihah no. 1348 dan kitab Shahih Tirmidzi no. 2129.)

KESIMPULAN

Kedudukan hadits-hadits di atas setelah diadakan penelitian oleh para Ahli Hadits, maka mereka berkesimpulan bahwa hadits-hadits tentang terpecahnya ummat ini menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, 72 (tujuh puluh dua) golongan masuk Neraka dan satu golongan masuk Surga adalah hadits yang shahih, yang memang sah datangnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak boleh seorang pun meragukan tentang keshahihan hadits-hadits tersebut, kecuali kalau ia dapat membuktikan berdasarkan ilmu hadits tentang kelemahannya.

Hadits-hadits tentang terpecahnya ummat Islam menjadi tujuh puluh tiga golongan adalah hadits yang shahih sanad dan matannya. Dan yang menyatakan hadits ini shahih adalah pakar-pakar hadits yang memang sudah ahli di bidangnya. Kemudian menurut kenyataan yang ada bahwa ummat Islam ini berpecah belah, berfirqah-firqah (bergolongan-golongan), dan setiap golongan bang-ga dengan golongannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang ummat Islam berpecah belah seperti kaum musyrikin:

“Artinya : Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama me-reka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” [Ar-Rum: 31-32]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jalan keluar, jalan selamat dunia dan akhirat. Yaitu berpegang kepada Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya.

ALASAN MEREKA YANG MELEMAHKAN HADITS INI SERTA BANTAHANNYA

Ada sebagian orang melemahkan hadits-hadits tersebut karena melihat jumlah yang berbeda-beda dalam penyebutan jumlah bilangan firqah (kelompok) yang binasa tersebut, yakni di satu hadits disebutkan sebanyak 70 (tujuh puluh) firqah, di hadits yang lainnya disebutkan sebanyak 71 (tujuh puluh satu) firqah, di hadits yang lainnya lagi disebutkan sebanyak 72 (tujuh puluh dua) firqah, dan hanya satu firqah yang masuk Surga.

Oleh karena itu saya akan terangkan tahqiqnya, berapa jumlah firqah yang binasa itu?

Pertama, di dalam hadits ‘Auf bin Malik dari jalan Nu’aim bin Hammad yang diriwayatkan oleh al-Bazzar dalam kitab Musnad-nya (I/98) no. 172, dan Hakim (IV/ 430) disebut tujuh puluh (70) firqah lebih, dengan tidak menentukan jumlahnya yang pasti.

Akan tetapi, sanad hadits ini dha’if (lemah), karena di dalam sanadnya ada seorang perawi yang bernama Nu’aim bin Hammad al-Khuzaa’i.

Ibnu Hajar berkata, “Ia banyak salahnya.”

An-Nasa-i berkata, “Ia orang yang lemah.”

(Lihat Mizaanul I’tidal IV/267-270, Taqribut Tahdzib II/250 no. 7192 dan Silsilatul Ahaadits adh-Dha’ifah wal Maudhuu’ah I/148, 402 oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.)

Kedua, di hadits Sa’ad bin Abi Waqqash dari jalan Musa bin ‘Ubaidah ar-Rabazi yang diriwayatkan oleh al-Ajurri dalam kitab asy-Sya’riah, al-Bazzar dalam kitab Musnad-nya sebagaimana yang telah disebutkan oleh al-Hafizh al-Haitsami dalam kitab Kasyful Atsaar ‘an Zawaa-idil Bazzar no. 284. Dan Ibnu Baththah dalam kitab Ibanatil Kubra nomor 263, 267. Disebutkan dengan bilangan tujuh puluh satu (71) firqah, sebagaimana Bani Israil.

Akan tetapi sanad hadits ini juga dha’if, karena di dalamnya ada seorang perawi yang bernama Musa bin ‘Ubaidah, ia adalah seorang perawi yang dha’if.
(Lihat Taqribut Tahdzib II/226 no. 7015.)

Ketiga, di hadits ‘Amr bin ‘Auf dari jalan Katsir bin ‘Abdillah, dan dari Anas dari jalan Walid bin Muslim yang diriwayatkan oleh Hakim (I/129) dan Imam Ahmad di dalam Musnad-nya, disebutkan bilangan tujuh puluh dua (72) firqah.

Akan tetapi sanad hadits ini pun dha’ifun jiddan (sangat lemah), karena di dalam sanadnya ada dua orang perawi di atas.
(Taqribut Tahdzib II/39 no. 5643, Mizaanul I’tidal IV/347-348 dan Taqribut Tahdzib II/289 no. 7483.)

Keempat, dalam hadits Abu Hurairah, Mu’awiyah, ’Auf bin Malik, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, Ali bin Abi Thalib dan sebagian dari jalan Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh para imam Ahli Hadits disebut sebanyak tujuh puluh tiga (73) firqah, yaitu yang tujuh puluh dua (72) firqah masuk Neraka dan satu (1) firqah masuk Surga.

Dan derajat hadits-hadits ini adalah shahih, sebagaimana telah dijelaskan di atas.

TARJIH

Setelah kita melewati pembahasan di atas, maka dapatlah kita simpulkan bahwa yang lebih kuat adalah yang menyebutkan dengan 73 (tujuh puluh tiga) golongan.

Kesimpulan tersebut disebabkan karena hadits-hadits yang menerangkan tentang terpecahnya ummat menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan adalah lebih banyak sanadnya dan lebih kuat dibanding hadits-hadits yang menyebut 70 (tujuh puluh), 71 (tujuh puluh satu), atau 72 (tujuh puluh dua).

MAKNA HADITS

Sebagian orang menolak hadits-hadits yang shahih karena mereka lebih mendahulukan akal daripada wahyu, padahal yang benar adalah wahyu yang berupa nash al-Qur’an dan Sunnah yang sah lebih tinggi dan jauh lebih utama dibanding dengan akal manusia. Wahyu adalah ma’shum sedangkan akal manusia tidak ma’shum. Wahyu bersifat tetap dan terpelihara sedangkan akal manusia berubah-ubah. Dan manusia mempunyai sifat-sifat kekurangan, di antaranya:

Manusia ini adalah lemah, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

“Artinya : Dan diciptakan dalam keadaan lemah.” [An-Nisaa’: 28]

Dan manusia itu juga jahil (bodoh), zhalim dan sedikit ilmunya, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

“Artinya : Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesung-guhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.” [Al-Ahzaab: 72]

Serta seringkali berkeluh kesah, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

“Artinya ; Sesungguhnya manusia itu diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.” [Al-Ma’aarij : 19]

Sedangkan wahyu tidak ada kebathilan di dalamnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

“Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebathilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Mahabijaksana lagi Mahaterpuji.” [Al-Fushshilat : 42]

Adapun masalah makna hadits yang masih musykil (sulit difahami), maka janganlah dengan alasan tersebut kita terburu-buru untuk menolak hadits-hadits yang sahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena betapa banyaknya hadits-hadits sah yang belum dapat kita fahami makna dan maksudnya.

Permasalahan yang harus diperhatikan adalah bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui daripada kita. Al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih tidak akan mungkin bertentangan dengan akal manusia selama-lamanya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan bahwa ummatnya akan mengalami perpecahan dan perselisihan dan akan menjadi 73 (tujuh puluh tiga) firqah, semuanya ini telah terbukti.

Dan yang terpenting bagi kita sekarang ini ialah berusaha mengetahui tentang kelompok-kelompok yang binasa dan golongan yang selamat serta ciri-ciri mereka berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang sah dan penjelasan para Shahabat dan para ulama Salaf, agar kita termasuk ke dalam “Golongan yang selamat” dan menjauhkan diri dari kelompok-kelompok sesat yang kian hari kian berkembang.

Golongan yang selamat hanya satu, dan jalan selamat menuju kepada Allah hanya satu, Allah Subahanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada-mu agar kamu bertaqwa.” [Al-An’am: 153]

Jalan yang selamat adalah jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sha-habatnya.

Bila ummat Islam ingin selamat dunia dan akhirat, maka mereka wajib mengikuti jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya.

Mudah-mudahan Allah membimbing kita ke jalan selamat dan memberikan hidayah taufiq untuk mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya.

Wallahu a’lam bish shawab.

MARAJI’

1. Al-Qur-anul karim serta terjemahannya, DEPAG.
2. Shahih al-Bukhari dan Syarah-nya cet. Daarul Fikr.
3. Shahih Muslim cet. Darul Fikr (tanpa nomor) dan tarqim: Muhammad Fuad Abdul Baqi dan Syarah-nya (Syarah Imam an-Nawawy).
4. Sunan Abi Dawud.
5. Jaami’ at-Tirmidzi.
6. Sunan Ibni Majah.
7. Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, cet. Daarul Fikr, th. 1398 H.
8. Sunan ad-Darimi, cet. Daarul Fikr, th. 1389 H.
9. Al-Mustadrak, oleh Imam al-Hakim, cet. Daarul Fikr, th. 1398 H.
10. Mawaariduzh Zham-aan fii Zawaa-id Ibni Hibban, oleh al-Hafizh al-Haitsamy, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah.
11. Musnad Abu Ya’la al-Maushiliy, oleh Abu Ya’la al-Maushiliy, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah, th. 1418 H.
12. Kitaabus Sunnah libni Abi ‘Ashim, oleh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Al-Maktab al-Islamy, th. 1413 H.
13. Al-Ibanah ‘an Syari’atil Firqatin Najiyah (Ibaanatul Kubra), oleh Ibnu Baththah al-Ukbary, tahqiq: Ridha bin Nas’an Mu’thi, cet. Daarur Raayah, th. 1415 H.
14. As-Sunnah, oleh Imam Ibnu Abi ‘Ashim.
15. Kitaabusy Syari’ah, oleh Imam al-Ajurry, tahqiq: Dr. ‘Ab-dullah bin ‘Umar bin Sulaiman ad-Damiji, th. 1418 H.
16. Al-Jarhu wat-Ta’dil, oleh Ibnu Abi Hatim ar-Raazy, cet. Daarul Fikr.
17. Tahdziibut Tahdziib, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqa-lani, cet. Daarul Fikr.
18. Taqriibut Tahdziib, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqa-lani, cet. Daarul Fikr.
19. Mizaanul I’tidaal, oleh Imam adz-Dzahabi.
20. Shahiih at-Tirmidzi bi Ikhtishaaris Sanad, oleh Imam al-Albani, cet. Maktabah at-Tarbiyah al-‘Arabi lid-Duwal al-Khalij, th. 1408 H.
21. Silsilatul Ahaadits ash-Shahiihah, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Makatabah al-Ma’arif.
22. Al-I’tisham, oleh Imam asy-Syathibi, tahqiq: Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly, cet. II-Daar Ibni ‘Affan, th. 1414 H.
23. Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunah wal Jama’ah, oleh Imam al-Lalikaa-iy, tahqiq: Dr. Ahmad bin Sa’id bin Hamdan al-Ghamidi, cet. Daar Thayyibah, th. 1418 H.
24. Al-Hujjah fii Bayaanil Mahajjah, oleh al-Ashbahani, tah-qiq: Syaikh Muhammad bin Rabi’ bin Hadi ‘Amir al-Madkhali, cet. Daarur Raayah, th. 1411 H.
25. Ats-Tsiqaat, oleh Imam al-’Ijly.
26. Ats-Tsiqat, oleh Imam Ibnu Hibban.
27. Al-Kasyif, oleh Imam adz-Dzahaby.
28. Silsilatul Ahaadits adh-Dhai’fah wal Maudhuu’ah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany.
29. Shahih Ibnu Majah, oleh Syaikh Muhammad Nashirud-din al-Albany, cetakan Maktabut Tarbiyatul ‘Arabiy lid-Duwalil Khalij, cet. III, thn. 1408 H.
30. Mishbahuz Zujajah, oleh al-Hafizh al-Busairy.
31. Kasyful Atsaar ‘an Zawaa-idil Bazzar, oleh al-Hafizh al-Haitsami.

[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
_______
Footnote
1] Lihat kitab Mishbahuz Zujajah (IV/180). Secara lengkap perkataannya adalah sebagai berikut: Ini merupakan sanad (hadits) yang shahih, para perawinya tsiqah, dan telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad juga dalam Musnad-nya dari hadits Anas pula, begitu juga diriwayatkan oleh Abu Ya'la al-Maushiliy.

Sumber:http://www.almanhaj.or.id/content/453/slash/0


Wallahu a’lam
(artinya: “Dan Allah lebih tahu atau Yang Maha tahu atau Maha Mengetahui)
“Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla ilaha illa Anta astaghfiruka wa atubu ilaik (Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji untuk-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Engkau, saya meminta ampunan dan bertaubat kepada-Mu).”
"Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokatuh,