Halaman

Cahaya Pengetahuan Muslim

Selasa, 28 Oktober 2014

Menjaga 'Iffah (Kesucian Diri) Di Zaman Penuh Fitnah


Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokatuh,

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صلى الله عليه وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين



'Innalhamdalillaah, nahmaduhu wanasta’inuhu, wanastaghfiruh. Wana’udzubillaahiminsyururi anfusina waminsyay yiati a’malina, may yahdihillahu fala mudzillalah, wamay yut’lil fala hadziyalah. Asyhadu alailahaillallahu wah dahula syarikalah wa assyhadu anna muhammadan ‘abduhu warosuluh.Salallahu'alaihi wa 'ala alihi wa sahbihi wa man tabi'ahum bi ihsanin illa yaumiddiin'.



Fainna ashdaqal hadits kitabaLLAH wa khairal hadyi hadyu Muhammad Salallahu'alaihiwassalam, wa syarral ‘umuri muhdatsatuha, Wa kullu muhdatsatin bid’ah wa kullu bid’atin dhalalah wa kullu dhalalatin fin nar… Ammaba’du
Menjaga 'Iffah (Kesucian Diri) Di Zaman Penuh Fitnah 




Bismillah
Di era globalisasi ini tantangan kaum muslimah terasa semakin berat. Berbagai gerakan dan arus pemikiran datang dari segala penjuru untuk melucuti jati diri kaum muslimah. Gagasan feminisme, emansipasi dan trans gender pun semakin marak diserukan kaum sekuler dan liberal untuk menyerang kaum muslimah. Pembiasan identitas bahkan pembunuhan karakter muslimah  juga terlihat santer di media masa yang beredar dan mendominasi masyarakat islam. Bahkan, arus budaya barat yang kian tak terbendung, menjadikan kaum muslimah banyak terseret ke dalam lembah keterpurukan.

Kaum Muslimah Dalam Kepungan Fitnah
Beragam fitnah tersebut mengepung kaum muslimah saat ini. Hampir setiap lini kita dapati para penyeru yang mengajak muslimah ke pintu-pintu Jahanam. Mereka membuat bermacam program untuk menggiring muslimah kepada tradisi jahiliah di zaman modern ini.

Cobalah amati program TV, radio dan mayoritas media masa di negeri ini. Apakah program-program tersebut membantu kaum muslimah dalam menjaga iffah atau justru membiaskan dan merusaknya? Rata-rata media masa tersebut merupakan corong untuk membunuh karakter muslimah.

Dampak nyata dari hal tersebut bisa kita saksikan saat ini. Betapa banyak wanita yang mengaku muslimah namun tidak mencerminkan kepribadiannya sebagai seorang muslimah. Seolah-olah kita tidak bisa membedakan antara wanita muslimah atau kafiroh (wanita kafir) lantaran jati diri mereka yang hilang atau telah mati.

Selain kepungan dari luar. Serangan dari dalampun gencar dilakukan. Berbagai kelompok seperti Syiah sangat mengancam muslimah dalam menjaga iffah-nya. Mereka mulai menggeliat di Indonesia beberapa tahun ini. Jika kaum muslimah tidak semakin waspada dan membentengi diri dengan aqidah yang benar, maka bisa jadi aqidah Syiah akan merusak keimanannya. Bukan sekedar itu, doktrin nikah mut’ah yang dianut kaum Syiah juga siap merobek dan menghancurkan harga diri muslimah negeri ini.

Tetap Istiqomah Dalam Menjaga ‘Iffah
Istiqomah dalam menjaga iffah adalah senantiasa menjaga dan menahan diri dari segala perkara yang dilarang Alloh subhanahu wa ta’ala dan rosul-Nya sholallohu alaihi wasallam. Meskipun jiwanya condong dan ingin berbuat maksiat, namun keimananannya mampu melawan dan membendung semua itu.

Seorang muslimah yang menjaga iffah-nya tidak akan tergiur dengan kemanisan dunia. Ia pun tidak akan pernah rela telanjang dada dan paha demi menuruti aturan kerja. Meskipun diiming-imingi gaji jutaan rupiah, sedikitpun tak tergiur mengambilnya jika berasal dari jalan yang tidak berkah. Dia juga tidak silap dengan kata-kata yang merayunya untuk berbuat nista. Meski manis dan menggoda, namun ia tolak dengan tegas karena tidak halal baginya.

Agar kaum muslimah tetap istiqomah menjaga ‘iffah, beberapa hal di bawah ini bisa membantu meraih hal tersebut.
  1. Teruslah meningkatkan ilmu, iman dan takwa kepada Alloh. Inilah sebenarnya perisai utama muslimah dalam menghadapi serangan musuh-musuh yang ingin menghancurkannya.
  2. Hati-hatilah dalam bergaul dan memilih teman. Usahakan teman pergaulan kita adalah teman yang sholih, cerdas dan bertakwa.
  3. Perkuatlah rasa malu kepada Alloh. Tidaklah rasa malu ini mekar dalam diri muslimah melainkan kebaikan yang akan ia raih.
  4. Selalu memperbanyak doa agar diteguhkan Alloh dalam menjaga kesucian diri.
  5. Senantiasalah meneladani perangai istri Nabi sholallohu alaihi wasallam dan shohabiah dalam menjaga ‘iffah. Merekal adalah para muslimah teladan yang Alloh pilih di dunia ini untuk kaum muslimah.
  6. Berusahalah untuk ikut andil dalam berdakwah dan memperbaiki kondisi kerusakan umat sesuai dengan kemampuan dan batasan syar’i yang dibolehkan.
Indah dengan Menjaga ‘Iffah
Betapa banyak wanita yang mengaku muslimah namun tidak menjaga kesucian dirinya. Ada diantara mereka yang terjaring dalam perilaku-perilaku asusila atau tindakan dosa. Setiap hari mereka bersolek dan berdandan demi ditonton jutaan orang dilayar kaca. Ada juga diantara mereka yang bangga bisa tampil telanjang di cover majalah atau surat kabar hanya dengan bayaran beberapa juta saja. Ia lupa bahwa ada harga yang lebih mahal yang harus ia bayar di akhirat kelak. Yaitu siksa Alloh yang tidak bisa ditebus dengan apa saja di dunia ini.

Saudariku kaum muslimah yang dirahmati Alloh subhanahu wa ta’ala…
Menjaga ‘iffah merupakan akhlak tinggi dan mulia. Oleh karena itu akhlak ini harus senantiasa dibina dan ditempa. Akhlak ini juga harus ditanamkan para mudarisah (guru), daiyah (juru dakwah), murobiyah (pendidik), mursyidah (pembimbing) dan siapa saja yang diamanahi Alloh ta’ala mendidik kaum muslimah di berbagai sekolah.

Dengan istiqomah menjaga ‘iffah insya Alloh kaum muslimah akan menjadi sosok mulia dan indah di sisi Alloh dan manusia. (Oleh: Hawari, M.E.I)

Wallahu a’lam

(artinya: “Dan Allah lebih tahu atau Yang Maha tahu atau Maha Mengetahui)


“Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla ilaha illa Anta astaghfiruka wa atubu ilaik (Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji untuk-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Engkau, saya meminta ampunan dan bertaubat kepada-Mu).”
"Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokatuh

Gantungkanlah Harapanmu Hanya Pada Allah

 
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokatuh,
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صلى الله عليه وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين

'Innalhamdalillaah, nahmaduhu wanasta’inuhu, wanastaghfiruh. Wana’udzubillaahiminsyururi anfusina waminsyay yiati a’malina, may yahdihillahu fala mudzillalah, wamay yut’lil fala hadziyalah. Asyhadu alailahaillallahu wah dahula syarikalah wa assyhadu anna muhammadan ‘abduhu warosuluh.Salallahu'alaihi wa 'ala alihi wa sahbihi wa man tabi'ahum bi ihsanin illa yaumiddiin'.

Fainna ashdaqal hadits kitabaLLAH wa khairal hadyi hadyu Muhammad Salallahu'alaihiwassalam, wa syarral ‘umuri muhdatsatuha, Wa kullu muhdatsatin bid’ah wa kullu bid’atin dhalalah wa kullu dhalalatin fin nar… Ammaba’du
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjf2dXO_tzjSrwu9hbafesdYFggBiS5gPA7II-QAXbOcUctS-r0JYViuGmU7k6gvMpf98EtMIaY11cRi-7HZde3OX796ch4HnbPffnVE99GoodoYiMZcR3te3lB94h_uhzA_04D6lldrfk/s1600-r/beritamuslimsahih-ahlussunnah-wa-al-jamaah.gif
    Gantungkanlah Harapanmu Hanya Pada Alloh

Bismillah

 وَلَا تَهِنُوا فِي ابْتِغَاءِ الْقَوْمِ ۖ إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ ۖ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا 

“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). jika kamu menderita kesakitan, Maka Sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari pada Alloh apa yang tidak mereka harapkan. dan adalah Alloh Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”  (QS. An-Nisa [4]: 104)

Saudaraku Fillah….
Secara tersurat, ayat ini berbicara tentang para singa-singa Alloh yang bertempur di jalan-Nya. Ayat ini secara tegas melarang para mujahidin untuk berperilaku merasa lemah, pesimis dan merasa tidak berdaya dalam mengahadapi musuh-musuh Alloh. Karena, sudah menjadi sunnatulloh (ketetapan Alloh) dalam peperangan yang terjadi antara dua kubu, akan ada di antara para mujahidin yang terluka bahkan ada yang gugur sebagai para syuhada. Maka, hendaknya kondisi ini, tidak lantas membuat mereka menjadi patah arang, lemah semangat apalagi sampai lari dari medan pertempuran. Karena pada saat yang sama, di kubu musuhpun megalami nasib yang sama, dan terkadang jauh lebih tragis.

Akan tetapi, ada satu perkara yang akan menjadi pembeda antara para mujahidin dan musuh-musuhnya. Yaitu rasa berharap yang digantungkan para mujahidin hanya kepada Alloh. Di mana, rasa berharap ini tidak dimiliki oleh musuh-musuh Alloh. Dan di antara harapannya yang niscaya terjadi selain pahala yang melimpah adalah mendapatkan kemenagan atau gugur sebagai syuhada. Inilah yang menjadi kata kunci bagi bangkitnya semangat para mujahidin untuk kembali ke jalur pertempuran dengan semngat juang yang tinggi dan lebih bergairah lagi.
Walaupun secara tersurat ayat di atas secara khusus berbicara tentang pelajaran bagi para mujahidin. Tetapi secara tersirat, ayat ini juga mengandung pelajaran bagi umat Islam pada umumnya. Terutama yang berkaitan dengan sikap berharap kepada Alloh. Ayat ini sangat cocok untuk menjadi motivator bagi kita semua. Baik pria maupun wanita. Baik anak muda maupun orang tua. Baik sebagai pedagang, tukang ojeg, guru, maupun profesi-profesi lainnya.
Dan tidak diragukan lagi, bahwa masing-masing kita pasti memiliki harapan atau cita -cita dalam kehidupan dunia ini. Mungkin ada di antara kita yang berharap untuk menjadi dokter. Ada yang ingin menjadi pedagang sukses. Ada yang ingin menjadi guru teladan dan lain sebagainya. Bahkan dalam pengertian yang luas, masing-masing kita memiliki harapan yang banyak dan beragam sekali dari mulai yang biasa sampai yang luar biasa.

Usaha Harus Selalu Mengiringi Harapan
Pada dasarnya, semua harapan yang kita cita-citakan baik yang biasa maupun yang luar biasa, ingin dapat dihadirkan ke alam realita.Dan untuk mewujudkannya perlu adanya usaha yang maksimal sesuai dengan sunnatulloh yang ada. Jika harapan kita adalah menjadi orang kaya, maka kita harus bekerja keras. Jika harapan kita adalah ingin menjadi orang pandai, maka kita harus rajin belajar dan seterusnya.

Akan tetapi, dalam pandangan Islam. seseorang dianggap tidak cukup hanya mengandalkan kerja kerasnya untuk menjadi orang kaya. Seseorang juga tidak cukup hanya mengandalkan rajin belajarnya untuk menjadi orang pandai. Karena kita semua menyadari tentang hakikat diri-diri kita, yaitu makhluk yang lemah. Sehebat apapun kerajinan dan kesungguhan seseorang dalam belajar. Dan sekuat apapun tenaga yang dikeluarkan untuk bekerja keras, namun tetap itu semua tidak mengubah status kita di mata Alloh sebagai makhluk yang diciptakan dalam kondisi lemah; simaklah baik-baik firman Alloh; Tuhan Pencipta kita semua:

 وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا

“…dan manusia dijadikan bersifat lemah.”  (QS. An-Nisa [4]: 28)

Dan faktanya, terkadang kita semua mengalami perkara-perkara yang jauh dari harapan yang sudah ditetapkan. Harapan yang secara matematis, akan begitu mudah untuk diwujudkan. Harapan yang secara logis-empiris, begitu gampang untuk direalisasikan. Tetapi kenyataan berbicara lain. Harapan tersebut terkadang 50% terwujud, bahkan pada tataran tertentu, harapan tersebut telah pupus untuk diwujudkan. Sehingga terkadang melahirkan kekecewaan dan kesedihan yang mendalam, yang pada gilirannya akan menimbulkan rasa putus asa.
Oleh karena itu, untuk menghindari hal ini, di samping terusmenerus berdoa, seorang muslim harus menggantungkan seluruh harapannya hanya kepada Alloh. Dan menggantungkan harapan kepada Alloh tidak hanya dilakukan pada saat-saat terjepit, genting atau menemui jalan buntu. Tetapi sejatinya, harapan tersebut dilakukan oleh kita semua dalam setiap kondisi. Baik sebelum berusaha untuk meraih harapan tersebut, di tengah-tengah perjalanan melakukannya dan setelah berusaha. Inilah potret muslim sejati yang mengiringi seluruh harapannya dengan ketergantungan kepada Alloh. Sehingga hal ini akan melahirkan ketenagan, kepuasan bahkan kebahagiaan dalam jiwanya, walaupun harapan tersebut pudar di tengah jalan atau gagal sama sekali.

Berharap kepada Alloh adalah Ibadah
Menggantungkan harapan kepada Alloh adalah sebuah sikap yang dibutuhkan oleh setiap kita, terutama di saat-saat genting. Jika kita seorang pedagang, maka untuk menghindari kekecewaan yang mendalam karena kerugian yang besar misalnya; kita butuh sikap berharap hanya kepada Alloh. Jika kita adalah seorang mahasiswa, ketika nilai ujian rendah misalnya; kita butuh rasa berharap hanya kepada Alloh. Bahkan jika kita seorang dai sekalipun, menggantungkan harapan hanya kepada Alloh adalah sebuah kebutuhan primer. Sehingga dapat mengobati kekecewaan kita, jika ada di antara objek dakwah kita yang jauh dari harapan yang kita inginkan.

Di samping mendatangkan ketenagan jiwa, berharap kepada Allohpada dasarnya adalah bagian dari peribadatan hati seorang hamba kepada Alloh. Di mana, dalam Istilah syar’i dikenal dengan kata al-rojâ’ (berharap). Kata ini, bersamaan dengan al-khouf (takut) dan al-mahabbah (cinta) memiliki posisi yang strategis dan fundamental dalam struktur bangunan Islam yang harus senantiasa mengiringi derap langkah seorang hamba dalam mengarungi samudra kehidupan yang begitu berliku-liku.

Jadi, gantugkanlah setinggi mungkin harapan kita hanya kepada Alloh. Karena Dia-lah satu-satunya Dzat yang pantas untuk kita arahkan seluruh harapan. Dan harapan yang paling utama adalah perjumpaan dengan Alloh. Inilah harapan yang paling tinggi yang harus menghujam di dalam dada-dada kita sehingga kebahagiaan tiada tara di surga-Nya adalah suatu hal yang mutlak untuk kita raih.  
(Oleh: Umar Muhsin, Lc)

  Wallahu a’lam
(artinya: “Dan Allah lebih tahu atau Yang Maha tahu atau Maha Mengetahui)
“Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla ilaha illa Anta astaghfiruka wa atubu ilaik (Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji untuk-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Engkau, saya meminta ampunan dan bertaubat kepada-Mu).”
"Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokatuh

Selasa, 21 Oktober 2014

Meluruskan Tentang Haji Akbar





Ada orang yang pulang dari ibadah haji berucap: "Alhamdulillah, saya dapat kesempatan haji pas haji akbar." Sementara sebagian orang yang menyambut tidak kalah ramahnya dalam bertutur : "Selamat datang, anda baru saja kembali dari haji akbar." Kedua kalimat pernyataan di atas menggambarkan anggapan / pengertian di tengah masyarakat pada umumnya, bahwa haji akbar adalah haji yang wukufnya jatuh pada hari Jum'at. Memang benar ada hadits yang meriwayatkan bahwa haji yang wukufnya jatuh pada hari Jum'at memiliki fadhilah pahala lebih utama dibanding yang wukufnya jatuh pada hari selain Jum'at. Tapi benarkah dinamakan  haji akbar itu karena wukufnya pas hari Jum'at ? Mari kita telusuri asal-usul istilahnya.
Awal Kisah
Berasal dari firman Allah dalam Surah At-Taubah : 3.

  وَأَذَٲنٌ۬ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۤ إِلَى ٱلنَّاسِ يَوۡمَ ٱلۡحَجِّ ٱلۡأَڪۡبَرِ أَنَّ ٱللَّهَ بَرِىٓءٌ۬ مِّنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ‌ۙ وَرَسُولُهُ ۥ‌ۚ فَإِن تُبۡتُمۡ فَهُوَ خَيۡرٌ۬ لَّڪُمۡ‌ۖ       
  وَإِن تَوَلَّيۡتُمۡ فَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّكُمۡ غَيۡرُ مُعۡجِزِى ٱللَّهِ‌ۗ وَبَشِّرِ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

Dan [inilah] suatu permakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu [kaum musyrikin] bertaubat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu; dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir [bahwa mereka akan mendapat] siksa yang pedih.
Untuk dapat mengurai makna dari haji akbar, saya akan mencoba menggunakan jalur tafsir, yakni dua kitab tafsir yang membahas khusus masalah ini.
Tafsir Ibnu Katsir
  •  يَوۡمَ ٱلۡحَجِّ ٱلۡأَڪۡبَرِ ("pada hari haji akbar"), yakni hari penyembelihan hewan kurban (tanggal 10 Dzulhijjah), hari yang paling mulia, paling menonjol, dan yang paling banyak manusia berkumpul padanya diantara hari-hari pelaksanaan haji.
  • Imam Bukhari juga meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya ia berkata: "Abu Bakar r.a. telah mengutusku bersama dengan mereka yang ditugaskan untuk menyampaikan kabar pemutusan hubungan pada hari Nahr di Mina, yang isi pernyataannya adalah bahwa setelah tahun ini orang-orang musyrik  tidak boleh berhaji dan berthawaf di Ka'bah dengan telanjang. Yang dimaksud dengan haji akbar adalah hari Nahr. Dinamakan "akbar" adalah untuk menyanggah sebutan manusia saat itu dengan "haji asghar" (haji kecil, yakni umrah) Maka Abu Bakar menyampaikan apa yang Rasulullah saw. perintahkan padanya pada tahun itu. Sehingga di tahun berikutnya yakni saat hajjatul wada' (haji perpisahan), dimana Rasulullah saw berhaji padanya, tidak ada satu orang musyrikpun yang ikut melaksanakannya, " Riwayat di atas adalah redaksi periwayatan al-Bukhari dalam kitaabul jihaad.
Tafsir Al-Misbah
  • Firman-Nya  يَوۡمَ ٱلۡحَجِّ ٱلۡأَڪۡبَرِ diperselisihkan maknanya oleh ulama setelah sebelumnya sepakat bahwa itu terjadi pada tahu ke-9 Hijriyah pada hari pelaksanaan ibadah haji. 
  • badah haji yang terlaksana pada bulan Dzulhijjah dinamai Haji Akbar, sedang umrah yang dapat dilaksanakan sepanjang tahun dinamai Haji Asghar (Haji Kecil). Ada yang memahami pengumuman itu dilaksanakan sepanjang hari -hari ibadah haji - katakanlah mulai tanggal 8 Dzulhijjah sampai tanggal 13 Dzulhijjah. Ini pendapat Sufyan ats-Tsauri. Ada lagi yang berpendapat  bahwa pengumuman itu hanya sehari, yakni pada hari wukuf di Arafah tanggal 9 Dzulhjjah, ini adalah pendapat Abu hanifah dan Syafi'i, sedang Malik, Thabari dan Bukhari berpendapat bahwa pengumuman tersebut terlaksana pada hari Nahar. yakni hari pertama penyembelihan kurban, yakni tanggal 10 Dzulhijjah.
  • Seperti terbaca di atas, semua pendapat mengaitkan Haji Akbar dengan pelaksanaan ibadah haji, baik itu diartikan hari wukuf, atau lebaran/pemyembelihan kurban maupun hari-hari pelaksanaan ibadah haji. Ini berarti bahwa Haji Akbar terjadi setiap tahun, bukan seperti pendapat populer dalam masyarakat yang memahami Haji Akbar hanya bila wukur di Arafah terjadi pada hari Jum'at saja. Tidak ditemukan pendapat seorang ulama pun yang memahami makna Haji Akbar seperti pemahaman masyarakat umum itu.
  • Memang jatuhnya wukuf pada hari Jum'at merpakan satu keistimewaan, karena ketika itu berkumpul dua hari raya, yakni hari wukuf dan hari Jum'at apalagi - Haji Wada' yang dilaksanakan oleh Nabi saw. pun bertepatan wukufnya dengan hari Jum'at. Dan memang ditemukan juga riwayat yang menyatakan bahwa: "Seutama-utama haji adalah hari Arafah dan apabila ia bertempatan dengan hari Jum'at, maka (haji ketika itu) lebih utama daripada 70 haji yang wukufnya selain hari Jum'at." Namun riwayat hadits ini lemah - karena dalam rangkaian periwayatannya terdapat nama Thalhah Ibnu 'Ubaidillah, seorang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi Muhammad saw. Kalaupun haditsnya dapat diterima namun sekali lagi itu semua, tidak menjadikan apa yang dinamai Haji Akbar hanya yang wukufnya bertepatan dengan hari Jum'at.
Kesimpulan
  1. Istilah haji akbar adalah kata lain dari hari nahr/hari penyembelihan hewan kurban/ tanggal 10 Dzulhijjah. Hal ini diperkuat dengan beberapa hadits, diantaranya: Ali bin Abi Thalib pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang hari Haji Akbar. Rasulullah saw. menjawab   فَقَالَ: يَوْمَ النَّحْرِ ,(Haji Akbar) itu adalah hari Nahr.” (HR. Tirmidzi). Abu Daud meriwayatkan dengan sanad yang shahih, bahwa Rasulullah saw. ketika melaksanakan haji, beliau berhenti di antara tempat melempar jumrah pada hari Nahr, lalu beliau bertanya, “Hari apa ini?” Mereka menjawab, “Hari Nahr.” Maka Rasulullah berkata, “Ini adalah Haji Akbar. Pada riwayat lain disebutkan dari jalan Abu Hurairah bahwasanya ia berkata, “Haji Akbar adalah pada hari Nahr.”
  2. Setiap ibadah haji di musim haji pada bulan Dzulhijjah adalah haji akbar, penyebutan akbar adalah untuk membedakan dengan umrah (haji asghar) yang bisa dilaksanakan sepanjang tahun.
  3. Fakta Sejarah: Turunnya ayat tentang haji akbar (Surah At-Taubah: 3) terjadi pada tahun ke-9 Hijriyah yang wukuf musim hajinya jatuh bukan  pada hari Jum'at. Setahun berikutnya, yakni pada tahun ke-10 Hijriyah, saat Rasulullah saw. melaksanakan haji wada' barulah bertepatan wukuf jatuhnya pada hari Jum'at.
Wallahu a'lam. 




                      ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ                        

  “Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”