Halaman

Cahaya Pengetahuan Muslim

Jumat, 15 Februari 2013

Memahami Tentang Istilah "Islam Moderat"



Beberapa tahun belakangan ini telah muncul berbagai istilah-itilah serapan dari barat yang kemudian di sandingan dengan kata Islam. Tentu perkawinan kata tersebut sudah pasti  mempunyai misi dan visi yang terselubung dimana jika tidak dilihat dan diteliti secara cermat akan menimbulkan berbagai problem yang mendera kaum muslimin.
 
Salah satu contoh kongkrit dalam masalah ini adalah, munculnya golongan yang menamakan diri mereka sebagai “Jaringan Islam Liberal”. Di tinjau dari segi terminologi, maka perkawinan kata yang menjadikan satu istilah khusus seperti Islam Liberal ini nampak sekali terlihat konsep dari masing-masing kata yang saling membentur sehingga menghasilkan sesuatu yang confuse (membingungkan). Bagaimana mungkin Islam sebagai agama yang sudah mempunyai aturan yang terikat dan jelas harus diliberalkan atau di buat sedemikian bebas sehingga Islam tidak lagi bersifat sebagai agama yang mengikat namun agama yang bebas yang sesuai dengan kondisi zaman.

Begitu juga dengan istilah yang tak kalah marak dikalangan cendekiawan muslim, yaitu “Islam Moderat”. Sebuah istilah yang sering disematkan kepada orang-orang yang tidak kaku dalam memahami Islam, mau menghadiri perayaan hari raya agama lain, memimpin do’a lintas agama, modern dan yang lain sebagainya. Maka dalam kesempatan ini artikel ini bertujuan untuk menaggapi artikel berjudul  Islam “Moderat”  ditulis oleh aktivis liberal Ulil Abshar Abdalla yang di muat dalam situs www.islamlib.com.

Surat Al-Baqarah ayat 143, menjadi sebuah ayat yang favorit bagi kalangan liberalis tentang legitimasi terhadap istilah “Islam Moderat”, dan istilah ini di pertentangkan juga dengan istilah lain yaitu “Islam Radikal”. Sehingga pada saat ini, Islam seakan-akan terbagi menjadi dua, antara yang moderat dengan yang radikal.

Ulil Abshar Abdalla, salah seorang aktivis liberal, memberikan pengertian Islam Moderat dengan menukil ucapan dari Tawfik Hamid, “Islam yang menolak secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi. (Baca artikelnya yang berjudul “Don’t Gloss Over The Violent Texts” di Wall Street Journal, 1/9/2010).” Dalam pandangan ulil pun, Islam Moderat dalam bahasa arab di istilahkan dengan “Al-Islam Al-Wasat.” Atau moderasi Islam yang kemudian ia ungkapkan dengan frasa “Wasatiyyat Al-Islam.

Sehingga, secara eksplisit bisa disimpulkan juga, bahwa pengertian dari “Islam Radikal” yang menjadi lawan dari Islam Moderat adalah “Islam yang mendukung secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi.“Istilah ini, sebenarnya secara tidak langsung telah mendiskreditkan kaum muslimin yang memperjuangkan hukum-hukum syari’at agar bisa di tegakkan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi maupun secara umum dalam bingkai yang lebih luas.

Tentu hukum-hukum Islam yang menjadi sorotan kaum Liberal dimana mereka anggap keras dan sarat dengan diskriminasidapat di lihat dari sisi yang pertama, yaitu dari aspekpidana islam. Seperti hukum potong tangan bagi pencuri yang sudah mencapai nishab, hukum qishash bagi pembunuh, hukum mati terhadap orang Islam yang murtad dan lain sebagainya.

Adapun sisi yang kedua, yaitu dalam aspek hukum perdata Islam. Seperti wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir, dalam pembagian harta waris wanita hanya mendapatkan setengah dari laki-laki, wajibnya berjilbab bagi wanita yang sudah baligh, atau bolehnya poligami bagi laki-laki dan yang lainnya. Dan yang terakhir, dari sisi yang ketiga adalah masalah hukum jihad fi sabilillah dan hal-hal yang berkaitan dengannya yang sering mereka sebut dengan istilah “perang suci”.

Jika memang yang di maksud dengan hukum yang keras dan diskriminatif adalah seperti yang dicontohkan di atas. Secara tidak langsung, tentu hal tersebut sudah masuk kepada ranah oto-kritik terhadap syari’at Islam. Sehingga banyak syari’at yang harus di moderatkan, di rubah secara totalitas karena sudah tidak relevan lagi pada zaman modern.

Lalu ujung-ujungnya, maka yang disuarakan kembali adalah meninjau ulang hukum-hukum qath’iy, baik yang terdapat di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits, maka semua itu harus di deskonstruksi, dan disesuaikan lagi dengan hukum tersebut bersifat dinamis.

Sebenarnya, kalau memang ingin merujuk secara jujur kepada definisi seperti yang telah diungkapkan oleh Tawfik Hamid di atas, tentu Rasulullah saw pun menjadi sorotan utama sebagi seorang Nabi yang telah mengajarkan kekerasan dan tindak diskriminasi kepada umat Islam. Karena beliau juga telah menerapkan syari’at Islam secara sempurna baik pidana, perdata, jihad atau yang lainnya. Lalu, apakah masuk kepada logika juga, bahwa Tawfiq atau Ulil itu Islam yang moderat, sedangkan Rasulullah dan orang yang mengikutinya adalah Islam yang radikal.

Ataupun, jika mereka mempunyai pendapat bahwa syari’at-syari’at di atas hanya cocok pada zaman Rasulullah saja, bahwa hukum-hukum Islam yang bersifat keras tersebut relevan untuk zaman dahulu dan tidak relevan untuk zaman sekarang, maka akan juga timbul pertanyaan kalau hukum-hukum yang di anggap keras tersebut hanya cocok untuk zaman dahulu saja, mengapa Rasulullah saw menolak untuk membunuh orang-orang munafik yang terlalu sering memfitnah beliau? Bukankah pertimbangan beliau adalah, tidak menginginkan orang-orang kafir mempunyai keyakinan bahwa Muhammad telah membunuh sahabatnya sendiri? Tentu keras atau tidaknya syari’at Islam itu tidak bisa di nilai dari perasaan satu atau sekelompok manusia saja, tetapi lebih kepada efektifitas serta maslahat yang terdapat dalam syari’at Islam yang di pandang keras tersebut.

Kembali kepada pengistilahan “Al-Islam Al-Wasath” (Islam Moderat) yang telah di ungkapkan oleh Ulil Abshar, bahwasanya konsep tersebut dia kaitkan dengan ayat 143 dari surat Al-Baqarah. Yang dia terjemahkan secara lengkap “Dan demikianlah Aku (Tuhan) jadikan kalian umat yang “wasat” (adil, tengah-tengah, terbaik) agar kalian menjadi saksi (syuhada’) bagi semua manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi (syahid) juga atas kalian.” (QS. Al-Baqarah: 143)

Sebenarnya, Ulil pun sudah mengakui bahwasanya yang di maksud dengan moderat dalam Islam adalah seperti yang dia nukilkan dari syaikh Muhammad Abduh, yaitu sikap tengah-tengah antara dua titik ekstrim. Tentu sikap dari pertengahan tersebut masuk juga kepada rasa adil dalam menyingkapi perbedaan yang ada.

Tetapi ketika kita mencermati lagi pernyataan tentang definisi dari moderat yaitu sebagai Islam yang menolak secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi.Tentu pengertian tersebut sudah mendorong setiap pembacanya untuk diajak berkeyakinan ekstrem dalam menolak syari’at Islam yang sudah baku.

Karena sikap menolak adalah bukan lagi sifat yang menengahi dua kutub berbeda, akan tetapi sudah masuk kepada salah satu kutub yang malah harus di pertengahi lagi. Maka dari itu, hal ini sangat bertentangan dengan konsep ‘adil dalam Islam, karena para ulama’ sudah memahami tentang sikap ‘adil sebagai sebuah sikap yang menempatkan sesuatu sesuai kepada tempatnya. Sehingga bisa juga difahami bahwa Islam Moderat adalah Islam yang tidak bersifat ekstrem baik itu dalam hal rasional ataupun tekstual.

Kemudian akan terjadi juga pertanyaan, sekarang kelompok manakah yang paling moderat? Bukankah setiap orang Islam bahkan yang menyimpang itu pun mengaku sebagai penganut Islam yang moderat?.

Menurut penulis sendiri, jawaban yang sangat pas untuk menjawab pertanyaan diatas adalah bahwa tentu memahami Islam yang adil sesuai dengan surat Al-Baqarah di atas adalah bukan tentang pengakuan atau klaim bahwa saya lah Islamnya yang paling moderat, tetapi lebih kepada isi dari ajaran Islam yang adil di antara ajaran yang terdapat dalam agama lain.
Oleh karenanya syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy (W. 1955 M), menjelaskan tentang ummatan wasathan adalah sebagai umat yang adil dan terpilih. Allah Ta’ala menjadikan umat ini pertengahan (wasath) di dalam setiap perkara agama, seperti dalam masalah kenabian, antara sifat berlebih-lebihan dalam mengagungkan mereka seperti kaum Nashrani, dengan sikap pembangkangan seperti yang dilakukan oleh kaum Yahudi. Ataupun seperti masalah aqidah, ibadah, muamalah ataupun yang lainnya. (Taysir Karimir Rahmaan Fie Tafsiiri Kalaamil Mannaan)

Hal itu pun jika memang kata-kata “Wasath” di anggap mewakili penerjemahan kata “Moderat” ke dalam bahasa arab. Padahal, jika di teliti secara mendalam sebagaimana yang telah di jelaskan tentang makna dari wasath yang berarti adil dan terbaik, maka makna terebut tidaklah dijumpai dalam pengertian moderat yang mempunyai pengertian yang hanya sebatas berada dalam posisi pertengahan saja. Karena sama sekali tidak mencakup pengertian dari makna adil yang terkandung dalam kata wasath, maka penerjemahan bahasa arab kata moderat kepada kata wasath jelas tidak cocok, seperti arabisasi kata sekuler menjadi ‘ilmaniyah.

Maka, sikap ‘adil dan wasath dalam Islam pun tidak perlu di gandeng-gandengkan lagi dalam sebuah istilah, apalagi berupaya untuk melakukan pendikotomian umat Islam, karena secara substansi kedua sifat tersebut sudah ada dalam diri ajaran Islam sehingga tak perlu lagi Allah Ta’ala atau Rasul-Nya menerangkan dan menyebutkan bahwa Islam itu ada yang moderat (wasath) atau ada yang keras (radikal).

Jikalau disebutkan bahwa karakter ekstrimitas yang semula melekat pada golongan luar Islam sebagaimana yang telah di ungkapkan oleh para mufassir klasik itu ternyata dijumpai dalam umat islam sendiri, maka pasti yang harus diluruskan kembali adalah umat yang terjerembab kepada sikap ekstrem tersebut, bukan kepada ajaran-ajaran yang ada dalam Islam.

Sebagaimana juga jika didapati sekelompok orang yang bersikap ekstrem dalam memahami surat Al-Baqarah ayat 62 kemudian menyimpulkan bahwa Islam telah mengajarkan faham Pluralisme agama, tentu ini adalah tafsir liberal yang sangat ekstrem yang mengajak manusia untuk mempunyai pemahaman bahwa semua agama adalah benar, maka yang diluruskan bukanlah kepada ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil tersebut, akan tetapi harus kepada orang yang telah menafsirkan ayat itu secara menyimpang. Karena yang salah bukanlah ayatnya, tetapi orang yang menafsirkannya. Allahu a’alamu bish shawab

Oleh: Zakariya Hidayatullah