Beberapa tahun belakangan ini telah muncul berbagai istilah-itilah
serapan dari barat yang kemudian di sandingan dengan kata Islam. Tentu
perkawinan kata tersebut sudah pasti mempunyai misi dan visi yang
terselubung dimana jika tidak dilihat dan diteliti secara cermat akan
menimbulkan berbagai problem yang mendera kaum muslimin.
Salah satu contoh kongkrit dalam masalah ini adalah, munculnya
golongan yang menamakan diri mereka sebagai “Jaringan Islam Liberal”. Di
tinjau dari segi terminologi, maka perkawinan kata yang menjadikan satu
istilah khusus seperti Islam Liberal ini nampak sekali terlihat konsep
dari masing-masing kata yang saling membentur sehingga menghasilkan
sesuatu yang confuse (membingungkan). Bagaimana mungkin Islam
sebagai agama yang sudah mempunyai aturan yang terikat dan jelas harus
diliberalkan atau di buat sedemikian bebas sehingga Islam tidak lagi
bersifat sebagai agama yang mengikat namun agama yang bebas yang sesuai
dengan kondisi zaman.
Begitu juga dengan istilah yang tak kalah marak dikalangan
cendekiawan muslim, yaitu “Islam Moderat”. Sebuah istilah yang sering
disematkan kepada orang-orang yang tidak kaku dalam memahami Islam, mau
menghadiri perayaan hari raya agama lain, memimpin do’a lintas agama,
modern dan yang lain sebagainya. Maka dalam kesempatan ini artikel ini
bertujuan untuk menaggapi artikel berjudul Islam “Moderat” ditulis
oleh aktivis liberal Ulil Abshar Abdalla yang di muat dalam situs
www.islamlib.com.
Surat Al-Baqarah ayat 143, menjadi sebuah ayat yang favorit bagi
kalangan liberalis tentang legitimasi terhadap istilah “Islam Moderat”,
dan istilah ini di pertentangkan juga dengan istilah lain yaitu “Islam
Radikal”. Sehingga pada saat ini, Islam seakan-akan terbagi menjadi dua,
antara yang moderat dengan yang radikal.
Ulil Abshar Abdalla, salah seorang aktivis liberal, memberikan
pengertian Islam Moderat dengan menukil ucapan dari Tawfik Hamid, “Islam
yang menolak secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan
dan diskriminasi. (Baca artikelnya yang berjudul “Don’t Gloss Over The
Violent Texts” di Wall Street Journal, 1/9/2010).” Dalam pandangan ulil pun, Islam Moderat dalam bahasa arab di istilahkan dengan “Al-Islam Al-Wasat.” Atau moderasi Islam yang kemudian ia ungkapkan dengan frasa “Wasatiyyat Al-Islam.“
Sehingga, secara eksplisit bisa disimpulkan juga, bahwa pengertian
dari “Islam Radikal” yang menjadi lawan dari Islam Moderat adalah “Islam yang mendukung secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi.“Istilah
ini, sebenarnya secara tidak langsung telah mendiskreditkan kaum
muslimin yang memperjuangkan hukum-hukum syari’at agar bisa di tegakkan
dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi maupun secara umum
dalam bingkai yang lebih luas.
Tentu hukum-hukum Islam yang menjadi sorotan kaum Liberal dimana
mereka anggap keras dan sarat dengan diskriminasidapat di lihat dari
sisi yang pertama, yaitu dari aspekpidana islam. Seperti hukum potong
tangan bagi pencuri yang sudah mencapai nishab, hukum qishash bagi
pembunuh, hukum mati terhadap orang Islam yang murtad dan lain
sebagainya.
Adapun sisi yang kedua, yaitu dalam aspek hukum perdata Islam.
Seperti wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir,
dalam pembagian harta waris wanita hanya mendapatkan setengah dari
laki-laki, wajibnya berjilbab bagi wanita yang sudah baligh, atau
bolehnya poligami bagi laki-laki dan yang lainnya. Dan yang terakhir,
dari sisi yang ketiga adalah masalah hukum jihad fi sabilillah dan hal-hal yang berkaitan dengannya yang sering mereka sebut dengan istilah “perang suci”.
Jika memang yang di maksud dengan hukum yang keras dan diskriminatif
adalah seperti yang dicontohkan di atas. Secara tidak langsung, tentu
hal tersebut sudah masuk kepada ranah oto-kritik terhadap syari’at
Islam. Sehingga banyak syari’at yang harus di moderatkan, di rubah
secara totalitas karena sudah tidak relevan lagi pada zaman modern.
Lalu ujung-ujungnya, maka yang disuarakan kembali adalah meninjau ulang hukum-hukum qath’iy,
baik yang terdapat di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits, maka semua itu
harus di deskonstruksi, dan disesuaikan lagi dengan hukum tersebut
bersifat dinamis.
Sebenarnya, kalau memang ingin merujuk secara jujur kepada definisi
seperti yang telah diungkapkan oleh Tawfik Hamid di atas, tentu
Rasulullah saw pun menjadi sorotan utama sebagi seorang Nabi yang telah
mengajarkan kekerasan dan tindak diskriminasi kepada umat Islam. Karena
beliau juga telah menerapkan syari’at Islam secara sempurna baik pidana,
perdata, jihad atau yang lainnya. Lalu, apakah masuk kepada logika
juga, bahwa Tawfiq atau Ulil itu Islam yang moderat, sedangkan
Rasulullah dan orang yang mengikutinya adalah Islam yang radikal.
Ataupun, jika mereka mempunyai pendapat bahwa syari’at-syari’at di
atas hanya cocok pada zaman Rasulullah saja, bahwa hukum-hukum Islam
yang bersifat keras tersebut relevan untuk zaman dahulu dan tidak
relevan untuk zaman sekarang, maka akan juga timbul pertanyaan kalau
hukum-hukum yang di anggap keras tersebut hanya cocok untuk zaman dahulu
saja, mengapa Rasulullah saw menolak untuk membunuh orang-orang munafik
yang terlalu sering memfitnah beliau? Bukankah pertimbangan beliau
adalah, tidak menginginkan orang-orang kafir mempunyai keyakinan bahwa
Muhammad telah membunuh sahabatnya sendiri? Tentu keras atau tidaknya
syari’at Islam itu tidak bisa di nilai dari perasaan satu atau
sekelompok manusia saja, tetapi lebih kepada efektifitas serta maslahat
yang terdapat dalam syari’at Islam yang di pandang keras tersebut.
Kembali kepada pengistilahan “Al-Islam Al-Wasath” (Islam
Moderat) yang telah di ungkapkan oleh Ulil Abshar, bahwasanya konsep
tersebut dia kaitkan dengan ayat 143 dari surat Al-Baqarah. Yang dia
terjemahkan secara lengkap “Dan demikianlah Aku (Tuhan) jadikan
kalian umat yang “wasat” (adil, tengah-tengah, terbaik) agar kalian
menjadi saksi (syuhada’) bagi semua manusia, dan agar Rasul (Muhammad)
menjadi saksi (syahid) juga atas kalian.” (QS. Al-Baqarah: 143)
Sebenarnya, Ulil pun sudah mengakui bahwasanya yang di maksud dengan
moderat dalam Islam adalah seperti yang dia nukilkan dari syaikh
Muhammad Abduh, yaitu sikap tengah-tengah antara dua titik ekstrim.
Tentu sikap dari pertengahan tersebut masuk juga kepada rasa adil dalam
menyingkapi perbedaan yang ada.
Tetapi ketika kita mencermati lagi pernyataan tentang definisi dari moderat yaitu sebagai Islam yang menolak secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi.Tentu
pengertian tersebut sudah mendorong setiap pembacanya untuk diajak
berkeyakinan ekstrem dalam menolak syari’at Islam yang sudah baku.
Karena sikap menolak adalah bukan lagi sifat yang menengahi dua kutub
berbeda, akan tetapi sudah masuk kepada salah satu kutub yang malah
harus di pertengahi lagi. Maka dari itu, hal ini sangat bertentangan
dengan konsep ‘adil dalam Islam, karena para ulama’ sudah memahami tentang sikap ‘adil sebagai
sebuah sikap yang menempatkan sesuatu sesuai kepada tempatnya. Sehingga
bisa juga difahami bahwa Islam Moderat adalah Islam yang tidak bersifat
ekstrem baik itu dalam hal rasional ataupun tekstual.
Kemudian akan terjadi juga pertanyaan, sekarang kelompok manakah yang
paling moderat? Bukankah setiap orang Islam bahkan yang menyimpang itu
pun mengaku sebagai penganut Islam yang moderat?.
Menurut penulis sendiri, jawaban yang sangat pas untuk menjawab
pertanyaan diatas adalah bahwa tentu memahami Islam yang adil sesuai
dengan surat Al-Baqarah di atas adalah bukan tentang pengakuan atau
klaim bahwa saya lah Islamnya yang paling moderat, tetapi lebih kepada
isi dari ajaran Islam yang adil di antara ajaran yang terdapat dalam
agama lain.
Oleh karenanya syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy (W. 1955 M), menjelaskan tentang ummatan wasathan adalah sebagai umat yang adil dan terpilih. Allah Ta’ala menjadikan umat ini pertengahan (wasath)
di dalam setiap perkara agama, seperti dalam masalah kenabian, antara
sifat berlebih-lebihan dalam mengagungkan mereka seperti kaum Nashrani,
dengan sikap pembangkangan seperti yang dilakukan oleh kaum Yahudi.
Ataupun seperti masalah aqidah, ibadah, muamalah ataupun yang lainnya. (Taysir Karimir Rahmaan Fie Tafsiiri Kalaamil Mannaan)
Hal itu pun jika memang kata-kata “Wasath” di anggap
mewakili penerjemahan kata “Moderat” ke dalam bahasa arab. Padahal, jika
di teliti secara mendalam sebagaimana yang telah di jelaskan tentang
makna dari wasath yang berarti adil dan terbaik, maka makna
terebut tidaklah dijumpai dalam pengertian moderat yang mempunyai
pengertian yang hanya sebatas berada dalam posisi pertengahan saja.
Karena sama sekali tidak mencakup pengertian dari makna adil yang
terkandung dalam kata wasath, maka penerjemahan bahasa arab kata moderat kepada kata wasath jelas tidak cocok, seperti arabisasi kata sekuler menjadi ‘ilmaniyah.
Maka, sikap ‘adil dan wasath dalam Islam pun tidak
perlu di gandeng-gandengkan lagi dalam sebuah istilah, apalagi berupaya
untuk melakukan pendikotomian umat Islam, karena secara substansi kedua
sifat tersebut sudah ada dalam diri ajaran Islam sehingga tak perlu lagi
Allah Ta’ala atau Rasul-Nya menerangkan dan menyebutkan bahwa Islam itu
ada yang moderat (wasath) atau ada yang keras (radikal).
Jikalau disebutkan bahwa karakter ekstrimitas yang semula melekat
pada golongan luar Islam sebagaimana yang telah di ungkapkan oleh para
mufassir klasik itu ternyata dijumpai dalam umat islam sendiri, maka
pasti yang harus diluruskan kembali adalah umat yang terjerembab kepada
sikap ekstrem tersebut, bukan kepada ajaran-ajaran yang ada dalam Islam.
Sebagaimana juga jika didapati sekelompok orang yang bersikap ekstrem
dalam memahami surat Al-Baqarah ayat 62 kemudian menyimpulkan bahwa
Islam telah mengajarkan faham Pluralisme agama, tentu ini adalah tafsir
liberal yang sangat ekstrem yang mengajak manusia untuk mempunyai
pemahaman bahwa semua agama adalah benar, maka yang diluruskan bukanlah
kepada ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil tersebut, akan tetapi harus
kepada orang yang telah menafsirkan ayat itu secara menyimpang. Karena
yang salah bukanlah ayatnya, tetapi orang yang menafsirkannya. Allahu a’alamu bish shawab
Oleh: Zakariya Hidayatullah