Halaman

Cahaya Pengetahuan Muslim

Rabu, 13 Juni 2012

Salah Satu Doa Yang Paling Mustajab Adalah Ketika Hari Jum'at



Allah SWT melebihkan hari Jum’at dari hari-hari lainnya dalam sepekan dengan banyak keutamaan. Di antaranya pada hari Jum’at terdapat suatu waktu yang doa seorang muslim pada waktu tersebut dikabulkan oleh Allah SWT, selama memenuhi syarat-syarat dan adab-adab berdoa.
 
Keutamaan terkabulnya doa pada waktu mustajab tersebut disebutkan dalam beberapa hadits. Di antaranya,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ لَسَاعَةً، لَا يُوَافِقُهَا مُسْلِمٌ، يَسْأَلُ اللهَ فِيهَا خَيْرًا، إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ»، قَالَ: وَهِيَ سَاعَةٌ خَفِيفَةٌ.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda, “Sesungguhnya pada hari Jum’at terdapat suatu jam (waktu) tertentu, tidaklah seorang muslim mendapati waktu tersebut dan berdoa kepada Allah memohon kebaikan, melainkan Allah akan memenuhi permohonannya.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lalu bersabda, “Waktu tersebut hanya sebentar.” (HR. Bukhari no. 6400 dan Muslim no. 852, dengan lafal Muslim) 

Di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai kapan waktu mustajab tersebut. Sebagian ulama menyatakan sejak bakda Shubuh. Sebagian lain menyatakan sejak khatib naik mimbar sampai waktu dilaksanakan shalat Jum’at. Sebagian lain menyatakan waktu khatib duduk sebentar di antara dua khutbah. Dan sejumlah pendapat lainnya.
Pendapat yang paling kuat menyatakan waktu tersebut adalah satu jam terakhir di sore hari, yaitu satu jam sebelum matahari terbenam pertanda waktu shalat maghrib telah masuk. Hal ini berdasarkan sejumlah hadits shahih berikut,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلَامٍ، قَالَ: قُلْتُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ: إِنَّا لَنَجِدُ فِي كِتَابِ اللَّهِ: «فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ سَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُؤْمِنٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللَّهَ فِيهَا شَيْئًا إِلَّا قَضَى لَهُ حَاجَتَهُ» . قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: فَأَشَارَ إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَوْ بَعْضُ سَاعَةٍ» ، فَقُلْتُ: صَدَقْتَ، أَوْ بَعْضُ سَاعَةٍ. قُلْتُ: أَيُّ سَاعَةٍ هِيَ؟ قَالَ: «هِيَ آخِرُ سَاعَاتِ النَّهَارِ» . قُلْتُ: إِنَّهَا لَيْسَتْ سَاعَةَ صَلَاةٍ، قَالَ: «بَلَى. إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا صَلَّى ثُمَّ جَلَسَ، لَا يَحْبِسُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ، فَهُوَ فِي الصَّلَاةِ»

Dari Abdullah bin Salam Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Saat itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sedang duduk, maka saya mengatakan, “Sesungguhnya kami (kaum Yahudi, sebelum ia masuk Islam, pent) mendapati dalam kitab Allah (Taurat, pent) bahwa pada hari Jum’at terdapat suatu jam (waktu) tertentu, tidaklah seorang mukmin mendapati waktu tersebut saat ia melaksanakan shalat dan berdoa kepada Allah memohon suatu keperluan, melainkan Allah akan memenuhi keperluannya.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memberi isyarat kepadaku (Abdullah bin Salam) lalu bersabda, “Atau sebagian waktu (tidak satu jam penuh, pent).” Aku (Abdullah bin Salam) berkata: “Anda benar, memang sebagian waktu saja.” Abdullah bin Sallam lalu bertanya, “Waktu apakah ia?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Waktu (satu jam) terakhir dari waktu siang hari.” Abdullah bin Sallam berkata: “Tetapi waktu tersebut bukan waktu untuk shalat.”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Ia adalah waktu shalat. Sebab, jika seorang mukmin menunaikan shalat (Ashar) kemudian duduk di tempatnya menunggu shalat berikutnya (Maghrib), maka sesungguhnya selama itu tengah mengerjakan shalat.” HR. Ibnu Majah no. 1139, Al-hafizh Al-Bushiri berkata: Sanadnya shahih dan para perawinya tsiqah)

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: «يَوْمُ الْجُمُعَةِ ثِنْتَا عَشْرَةَ - يُرِيدُ - سَاعَةً، لَا يُوجَدُ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا، إِلَّا أَتَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ»

Dari Jabir bin Abdullah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda, “Hari Jum’at terdiri dari dua belas jam. 
Tidak ada seorang muslim pun yang memohon sesuatu kepada Allah (pada suatu jam tertentu), melainkan Allah akan mengabulkannya. Maka carilah jam terkabulnya doa tersebut pada satu jam terakhir setelah shalat Ashar!” (HR. Abu Daud no. 1048 dan An-Nasai no. 1389, sanadnya baik, dinyatakan shahih oleh Al-Hakim, Adz-Dzahabi, An-Nawawi, dan Al-Albani, dan dinyatakan hasan oleh Ibnu Hajar al-Aasqalani)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: التَمِسُوا السَّاعَةَ الَّتِي تُرْجَى فِي يَوْمِ الجُمُعَةِ بَعْدَ العَصْرِ إِلَى غَيْبُوبَةِ الشَّمْسِ.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Carilah satu jam yang diharapkan pada hari Jum’at pada waktu setelah shalat Ashar sampai waktu terbenamnya matahari!” (HR. Tirmidzi no. 489, di dalamnya terdapat seorang perawi yang lemah bernama Muhammad bin Abi Humaid az-Zuraqi. Namun hadits ini diriwayatkan dari jalur lain oleh Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam al-Awsath dan dikuatkan oleh hadits Jabir bin Abdullah dan Abdullah bin Salam di atas)

Imam Sa’id bin Manshur meriwayatkan sebuah riwayat sampai kepada Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa sekelompok sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkumpul dan saling berdiskusi tentang satu jam terkabulnya doa pada hari Jum’at. Mereka kemudian bubar dan tiada seorang pun di antara mereka yang berbeda pendapat bahwa satu jam tersebut adalah satu jam terakhir pada hari Jum’at.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari menyatakan riwayat imam Sa’id bin Manshur ini shahih. Beliau lalu berkata, “Pendapat ini juga dianggap paling kuat oleh banyak ulama seperti imam Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Rahawaih, dan dari kalangan madzhab Maliki adalah imam ath-Tharthusyi. Imam Al-‘Allai menceritakan bahwa gurunya, imam Ibnu Zamlikani yang merupakan pemimpin ulama madzhab Syafi’i pada zamannya memilih pendapat ini dan menyatakannya sebagai pendapat tegas imam Syafi’i.”
Wallahu a’lam bish-shawab.

Sungguh Ironis, Muslim Mentawai Masih Mengkonsumsi babi (Mentawai Bag.4)



Muslim di Mentawai, 60% nya adalah muallaf. Tapi karena jarangnya pengajian dan dakwah kepada mereka, menyebabkan mereka belum bisa menghilangkan budaya lamanya, yakni makan daging babi di setiap acara-acara yang diadakan saat makan bersama, seperti: anak lahir dan pernikahan. Ironisnya lagi, ada kepala desa yang muslim, tapi masih suka makan daging babi di acara tersebut. Alasannya, hendak, menghormati yang mengadakan acara.
Ketika bersilaturahim dengan Kepala Sekolah dan Guru SD di Dusun Pei-pei, ada kisah menarik: seorang anak kelas 4 SD bernama Beni, sudah masuk Islam. Sejak menjadi muslim, anak ini menunjukkan perubahan, diantaranya: lebih senang ke masjid untuk shalat. Jika ada acara keluarga, yang ada pesta makan babinya, Beni lebih senang menyendiri. Ia tidak mau makan babi setelah ber-Islam.
Melihat perilaku anaknya yang demikian, orang tua Beni (yang juga muallaf) ingin agar anaknya tidak tinggal di rumah, bahkan menghendaki buah hatinya itu masuk pesantren di luar Mentawai. Kenapa demikian? “Karena, kalau masih di Mentawai, khawatir bisa terpengaruh oleh kebiasaan orang-orang Mentawai, seperti: makan babi, menenggak minuman keras, perdukunan dan lain-lain.
Beberapa bulan lalu, Ibu Camat setempat sempat berjanji untuk memasukkan Beni ke pesantren di luar Mentawai. Namun, karena pindah tugas, Beni tidak jadi masuk pesantren seperti yang dijanjikan. Masih ada waktu, hingga pertengahan Juli, saat memasuki tahun ajaran baru, untuk membawa Beni ke luar Mentawai untuk belajar ilmu agama.
Menurut jamaah masjid di dusun itu, memang untuk merubah kebiasaan atau perilaku orang-orang Mentawai itu sulit. Mengingat budaya itu sudah mendarah daging, bertahun-tahun. Untuk itu perlu meng-hijrahkan orang Mentawai selama 10-20 tahun keluar Mentawai, untuk diberi pendidikan dan ilmu. Setelah itu baru dikembalikan ke kampung halamannya untuk mengabdi.


Menuju Desa Taileleu
Perjalanan dakwah berlanjut menembus hutan belantara selama 1,5 jam, menuju Desa Taileleu. Medan yang dilalui cukup berat, semak belukar di sisi kanan dan kiri dengan jembatan yang berlubang serta licin, becek, menyebabkan ban motor selip.
Untuk menuju Desa Taileleu, harus menyebrangi sungai dengan rakit. Biaya menyeberang Rp. 10.000 per orang, sedangkan untuk motor dikenai Rp. 15.000. Lama menyebrang hanya 10-15 menit. Rakit pun tidak selalu tersedia. Jika sampai tidak ada rakit, maka kita harus berusaha meminta pertolongan warga yang lewat menggunakan perahu untuk memanggilkan rakit. Tapi kalai tidak ada warga yang lewat, maka terus berusaha dengan memanggil-manggil atau bersuara keras sampai rakit datang. Diperlukan waktu setangah jam untuk memanggil rakit.
Singkat cerita, tibalah di Desa Taileleu. Tak berbeda dengan Desa Sarausau, di desa ini juga tidak ada signal. Desa ini terdiri dari 235 KK dengan 61 KK saja yang Muslim. Ada tiga gereja di desa ini, berikut TK Kristen Terpadu “Filadelphia”. Di desa ini pula para misionaris sering berkunjung, mulai dari mahasiswa sampai pastor atau pendeta. Secara berbarengan, para misionaris itu kerap menggelar acara, ketika umat Islam menggelar tabligh akbar atau pengajian.
Satu-satunya masjid yang ada di Desa Taileleu adalah Masjid “Maznah Al-Muthoiri”, dibangun sejak 1992, dan sudah tiga kali renovasi akibat gemba. Alhamdulillah, sudah ada TK Islam “Bakti 47” di bawah Yayasan Pendidikan Bakti Wanita Islam Sumatra Barat.


Muslim yang Hampir Terusir
Ada satu peristiwa yang baru saja terjadi sekitar awal Mei 2012, yaitu ada permintaan para pemuda desa Taileleu untuk mengusir bapak Ujang dan keluarga, karena menolak memberi sumbangan untuk perayaan hari Paskah.
Peristiwa ini bermula, ketika panitia paskah datang ke rumah Pak Ujang, tapi keluarga itu menolak memberi sumbangan. Selang beberapa hari, panitia Paskah itu datang lagi untuk hal yang sama.
Menurut Pak Ujang, kami Muslim tidak boleh memberikan sumbangan untuk perayaan agama lain. Kecuali untuk acara warga lainnya, Pak Ujang siap memberi sumbangan. Hal ini kemudian diadukan ke aparat desa setempat. Warga menginginkan Pak Ujang dan keluarga diusir dari desa Taileleu.
Setelah musyawarah, akhirnya disetujui, bahwa iuran warga untuk acara keagamaan hanya ditarik kepada warga yang agamanya yang sesuai dengan perayaan acara tersebut. Sedangkan warga yang tidak memperingati perayaan, tidak boleh atau tidak dikenai untuk memberi sumbangan. Akhirnya, ini menjadi keputusan warga bersama. Tentu saja, ini sangat menggembirakan umat Islam di sana, yang selama ini takut untuk menyatakan keimanannya dalam bentuk sikap nyata. Terlebih umat Islam di desa ini terbilang minoritas.
Perjalanan dakwah Ustadz Aldi ke Mentawai bukanlah yang terakhir. Masih banyak segudang rencana, agenda dakwah dan cita-cita yang ingin diwujudkan untuk memenuhi janji saudara-saudara muslim di sana. Ia kembali teringat pesan warga muslim di sejumlah desa dan dusun di Mentawai, yang mengantarnya pulang menuju Jakarta, mulai dari kaum bapak, ibu-ibu, remaja, hingga anak-anak.
“Tolong kembali ke sini, ajari kami dengan ilmu agama. Satu bulan atau bahkan satu tahun atau menetap sekalian, kami akan senang hati menerimanya.
Masih segar dalam ingatan, ketika orang-orang Mentawai berharap sangat: “Tolong, jangan berhenti datang ke sini, tolong ajak ustad-ustad yang lain, jangan pernah kosong ustad di tempat kami. Jika yang satu pergi, tolong ganti dengan ustad yang lain.”
Haru biru dan air mata pun menetes, saat saudara-saudara Muslim di Mentawai berkata, “Tolong bawa ustad-ustad yang selama ini kami bisa lihat di media-media. Tapi, maaf, kami tidak bisa memberi “sangu” jika ustad kembali. Tolong rindukan kami di dalam agenda dakwah para ustad kalian. Para ustad di Jawa itu sudah sangat banyak. Jangan lupakan dakwahi dan silaturahimi kami di sini.”
Di hari terakhir, Ustad Aldi menyempatkan diri untuk berziarah ke makam pelaku dakwah yang sudah merambah Mentawai sejak tahun 1980-an. Beliau adalah Ustadz. H. Muhammad Sidik.
Di desa Matotonan, Aldi kembali terharu ketika ia berjumpa dengan seorang aktivis dakwah yang berprofesi sebagai petani. Di desa itu, ada seorang pendeta bersama keluarganya yang telah mengucapkan kalimah syahadat (masuk Islam).  Termasuk kepala suku asli Mentawai yang berhasil di-Islamkan.

Mari Kita Bantu Bangun Rumah Da'i di Mentawai (Mentawai Bag. 3)


Pada hari keempat, tanggal 21 Mei 2012, Ustadz Aldi ditemani salah seorang ustad dan kedua anaknya, menuju Desa Taileleu. Tepat pukul 15.00, ia berangkat menggunakan perahu kecil (lebar 90 cm dan panjang 5 m) yang disebut pompon. Segala perbekalan telah disiapkan seperti jas hujan, alas tidur, logistic secukupnya serta pakaian ganti.
Untuk menuju Desa Taileleu, menghabiskan biasa sebesar Rp. 300.000 hanya untuk BBM (saat harga BBM Rp. 8000), belum termasuk sewa perahu dan biaya “supir perahu”, serta peralatan penunjang. Total budjet yang dikeluarkan bisa mencapai Rp. 1 juta.
Diperlukan strategi yang matang, setidaknya harus memperkirakan air laut pasang, karena dalam perjalanan akan melewati sungai-sungai yang berbatasan langsung dengan laut. Jika air pasang, perahu bisa terbalik. Jika air tidak pasang, maka harus mendayung dan mendorong perahu.
Kanan-kiri terlihat hamparan hutan bakau. Sunyi sepi, jarang sekali orang yang melintas. Perlu keahlian mengemudi dan mengendalikan perahu untuk melalui sungai yang sempit.
“Begitu waktu Ashar tiba, kami mampir di dusun Sarausau, kecamatan Siberut Barat Daya, untuk melaksanakan shalat Ashar berjamaah. Hanya ada satu masjid di desa tersebut, yakni Masjid Al-Hidayah,” kata Aldi.
 Meski masjid ini kokoh berdiri, tapi masih sedikit orang yang mau ke masjid. Kebanyakan orang di desa-desa pelosok Mentawai, baru mau ke masjid jika ada ustad atau dai yang menetap agar bisa memberikan pelajaran agama Islam, terutama anak-anak mereka. Shalat Jum’at paling bayak 2 shaft, atau biasanya hanya 1 shaft.
Menjadi khatib di pedalaman Mentawai, jangan mengharapkan diberi “sangu”” atau transport untuk ongkos pulang Untuk menjadi khatib shalat Jum’at, seorang ustadz harus mengeluarkan kocek sendiri untuk menyewa perahu dengan medan yang berat. Tak jarang, khatib yang sudah dijadwalkan untuk khutbah, berhalangan datang. Terpaksa, shalat Jumat diganti menjadi shalat dzuhur.
Di Dusun Sarausau, umat Islam adalah minoritas, sehingga membutuhkan kehadiran da’i. Dengan adanya da’i, mereka bisa kembali ke masjid untuk shalat lima waktu secara berjamaah, dan mengikuti pengajian. Jika da'i nya tidak ada, bisa karena pindah tugas atau ada keperluan keluarga atau pulang ke Jawa, maka masyarakat di sini kembali menjauh dari masjid.
Dengan kondisi masyarakatnya yang jauh dari kata hidup layak, mereka terancam untuk didangkalkan akidahnya oleh misionaris. Bukan tidak mungkin, saudara-saudara muslim di sini akan dimurtadkan.  


Rumah Da'i dengan Dana Cekak
Setelah menyambangi Dusun Sarausau, perjalanan dakwah dilanjutkan menuju Dusun Pei-pei. Dusun ini sedikit lebih ramai ketimbang Dusun Sarausau. Di Dusun Pei-pei terdapat Masjid As-Sa’adah. Jika shalat Jum’at masjid ini senasib dengan masjid-masjid yang ada pedalaman Mentawai lainnya. Jamaahnya hanya terdiri dari 1 shaft yang tidak penuh.
Jumlah penduduk di dusun ini hanya 130 KK, dan 18 KK diantara yang muslim. Untuk desa sekecil ini juga terdapat 3 gereja. Pengajian di Dusun Pe-pei adalah hal yang dirindukan bagi masyarakat Pei-pei.
Tepat di depan masjid, terdapat bangunan rumah terbuat dari kayu, yang sepertinya belum selesai pembangunannya. Ketika ditanya, “Rumah siapakah ini? Mereka menjawab, “Ini rumah da’i yang kami persiapkan secara swadaya dari masyarakat untuk da’i yang mau menetap di sini. Tapi, mohon maaf, kami sekarang kehabisan dana untuk menyelesaikannya.”
Saat ditanya,”Memang perlu biaya berapa lagi untuk menyelesaikannya?” Mereka menjawab,”Ya, sekitar 10 juta.” Subhanallah, begitu cinta mereka kepada dainya, sampai-sampai dibuatkan rumah untuk dai yang mau menetap untuk memberikan ilmu dan nasihatnya bagi warga Pei-pei.
Siapa yang tergerak untuk membantu menyelesaikan rumah dai tersebut. Bisa menghubungi KONTAK: Telp: 021-2640.1004, sms: 08999.704050 - 0813.2058.2868 untuk diserahkan pada yang diberi amanah.

Ingin Melanjutkan Sekolah, Namun Berakhir Dengan Pemurtadan (Mentawai Bag. 2)



Berkenaan dengan adanya satu model pemurtadan yang terjadi di hampir seluruh daerah di Mentawai, yaitu bermotif pendidikan. Misalnya, sebut saja Desa A, hanya tersedia SD, ketika anak Desa A ini ingin melanjutkan pendidikan SMP, maka dia akan pindah desa. Saat pindah itulah, mereka akan menumpang di tempat saudaranya, yang banyak diantara mereka yang non-muslim.
Disinilah awal dari proses pemurtadan, karena bergaul dengan keluarga non muslim yang sehari-hari biasa makan daging babi dan menenggak minuman keras. Mau tidak mau, mulailah anak ini ikut-ikutan, lama-lama terbiasa. Ketika tidak ada orang yang mengajarkan, mengarahkan dan mengingatkan, maka habislah sudah Islam anak ini, akhirnya mereka murtad tanpa disadari. Hal ini terjadi pula untuk desa yang hanya tersedia SD dan SMP, ketika anak melanjutkan sekolah ke tingkat SMA, berulanglah kejadian serupa.
Sebetulnya, banyak desa di Mentawai, satu desa hanya tersedia SD dan SMP. Di Desa Muara, kini sudah ada SD, SMP, dan SMA serta Madrasah Ibtidaiyah Al-Washliyah.

Asrama Kristen
Melihat banyaknya anak-anak yang pindah desa jika ingin melanjutkan sekolah, pihak Kristiani membangun asrama-asrama yang diperuntukkan bagi anak-anak dari desa lain yang datang untuk menimba ilmu. Letak asrama pun berdekatan dengan gereja. Di Desa Muara, terdapat asrama milik Katolik.
Seluruh gereja, asrama, rumah pastor, sekolah dan bangunan pendukung lainnya, letaknya hanya sekitar 400 meter dari Masjid Al Wahidin. Satu-satunya sekolah Islam adalah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al Washliyah. Satu MI dihimpit oleh 3 gereja, 2 sekolah dan 3 asrama.
Asrama milik umat Islam ada 2 rumah, dengan kondisi bangunan yang memperihatinkan. Bangunannya sudah hampir tak layak huni, karena sudah berbilang tahun digunakan anak-anak dari desa lain secara gratis. Semua lekang dimakan waktu, karena tak ada dana operasional dan dana pemeliharaan rumah atau asrama tersebut.
Di Desa Muara Siberut, terdapat dua asrama, yakni asrama putra yang berasal dari salah seorang warga yang mewakafkan rumahnya, dan ada pula asrama putrid yang menggunakan mess da’i Dewan Dakwah Islamyiah Indonesia (DDII).
Setelah diasramakan, ternyata permasalah baru muncul, karena pergaulan. Mereka berpacaran dengan umat non-muslim. Ada satu budaya di sana (kebanyakan, mesti tidak semua orang), jika sudah dilamar, maka keluarga membiarkan seperti sudah pasangan suami-istri, tinggal serumah, walaupun nantinya, ada juga yang tidak jadi menikah. Melihat kondisi ini, diperlukan da’i yang bisa menjadi pendidik, teladan, dan pemberi nasihat bagi masyarakat.

Islamic Center Akan Dibangun
Kabar gembira pun datang, rencananya, di Kabupaten Mentawai akan segera dibangun Islamic Center, tepatnya di Desa Mailepet, Kecamatan Siberut Selatan. Islamic Center yang berdiri di tanah seluas 3 hektar ini, Insya Allah akan terdiri dari: masjid, sekolah (TK –SMA), asrama putra dan putri serta poliklinik. Sarana ini merupakan bantuan dari para donator di Indonesia.
Keberadaan Islamic Center ini memiliki posisi strategis, dipinggir jalan utama dan di pinggir pantai yang sangat memudahkan transportasi darat dan laut. Pembangunannya akan melibatkan seluruh potensi masyarakat di Mentawai, khususnya masyarakat Kecamatan Siberut Selatan, karena merekalah yang paling tahu, apa yang akan dibutuhkan untuk umat di Mentawai sampai 30 atau 50 tahun yang akan datang.
Alhamdulillah, seluruh masyarakat yang muslim dan para aparatur pemerintahan tingkat desa sampai kecamatan, sangat mendukung pembangunan Islamic Center ini, dan mereka siap membantu tenaga dan pemikirannya guna kemajuan Islam di daerah mereka. Hal ini terlihat dari dimudahkannya mengurus surat-surat sebagai kelengkapan administrasi untuk pembangunan Islamic Center Mentawai.
Terbetik kabar, rencana pembangunan Islamic Center ini mendapat tantangan tersendiri, karena dihadapkan oleh penolakan dari pihak non-muslim di sekitar Mentawai. Mengingat Muslim disana minoritas, maka mulai dari perencanaannya, membeli materialnya, kayu dan sebagainya, diperlukan kerja cerdas agar tidak melanggar norma aturan yang berlaku di sana.
Selain posisi yang strategis, Islamic Center ini berdekatan dengan LSM “Fajar Harapan” yang sering kali mengadakan kegiatan-kegiatan guna pendangkalan akidah, melalui: bantuan makanan, kegiatan sosial, dan sebagainya.
Ada banyak LSM-LSM serupa yang bertebaran di seluruh daerah di Mentawai. Dari mulai pastor dan pendeta yang berasal dari Eropa (Roma-Italia) dan negara-negara lain. Bahkan ada juga para mahasiswa dari Universitas Kristen, seperti: UKI Jakarta, yang secara rutin melakukan kegiatan-legiatan pendangkalan akidah, melalui ‘kedok’ bantuan bencana alam, sembako, pasar murah, pengobata massal secara gratis hingga  acara menghibur anak-anak dan lain-lain.
Seluruh kegiatan itu mereka laksanakan di gereja, bukan di tempat-tempat umum, seperti kelurahan atau puskesman setempat. Yang menarik lagi, seringkali kegiatan-kegiatan itu mereka laksanakan, waktunya bersamaan ketika umat Islam tengah menggelar pengajian atau tabligh akbar atau kegiatan dakwah lainnya. Mereka masuk sampai ke desa-desa yang tidak ada pasokan listrik, tidak ada signal HP operator apapun, membelah laut, menerjang ombak, menelusuri hutan untuk menjalankan misi Kristianinya.
“Masihkah kita berdiam diri? Tidak kah kita mau ambil bagian dalam dakwah? Menjaga akidah saudara-saudara Muslim kita agar terhindar dari pemurtadan,” tukas Ustadz Aldi AF Abdurrohim,  yang mengajak generasi muda Islam untuk berdakwah di daerah terpencil seperti ini.

Berdakwah Ke Daerah Mentawai (bag. 1)



Haru biru saat mendengar pesan dan permintaan dari orang-orang Mentawai dalam sebuah perpisahan di ujung dermaga: “Tolong, jangan berhenti datang ke sini, tolong ajak ustad-ustad yang lain, jangan pernah kosong ustad di tempat kami. Jika yang satu pergi, tolong ganti dengan ustad yang lain.”
Air mata pun menetes, saat saudara-saudara Muslim di Mentawai berkata, “Tolong bawa ustad-ustad yang selama ini kami bisa lihat di media-media. Tapi, maaf, kami tidak bisa memberi “sangu” jika ustad kembali. Tolong rindukan kami di dalam agenda dakwah para ustad kalian. Para ustad di Jawa itu sudah sangat banyak. Jangan lupakan dakwahi dan silaturahimi kami di sini.”
Seperti itulah yang membuat Ustadz Aldi AF Abdurrohim terharu, mendengar pesan saudara-saudara Muslimnya nun jauh di sana, di bumi Mentawai. Selama 8 hari (sejak 17-25 Mei 2012), Aldi yang datang seorang diri, dari Depok-Jawa Barat, meneguhkan tekadnya untuk berbagi tugas mendakwahi Islam hingga ke daerah Mentawai.
Mentawai adalah bagian dari Sumatera Barat yang terdiri dari 4 pulau besar, yaitu: Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan. Dalam perjalan dakwah ke Mentawai.

Medan yang Berat
Dari Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Banten, ustadz muda itu mendarat di Bandara Internasional Minangkabau. Perjalanan dilanjutkan dengan mobil atau motor, dengan waktu tempuh sekitar 1-2 jam menuju Dermaga Bungus, dekat Pelabuhan Teluk Bayur. Biayanya sekitar Rp. 200.000, dengan kendaraan sewaan atau taksi.
Sesampai di Dermaga Bungus, dilanjutkan dengan menaiki kapal Ferry ‘Ambu-ambu’, dengan harga tiket sesuai kocek kantong yang ada. Untuk kelas ekonomi (Rp. 75.000), kelas bisnis/ber-AC (Rp.105.000). Jika ingin menggunakan matras untuk tidur, ada biaya tambahan sebesar Rp. 30.000/matras.
Jadwal kapal ini hanya ada pada hari Kamis dari Pelabuhan Bungus/Padng ke Dermaga Siberut. Berangkat jam 20.00, sampai di Dermaga Siberut jam 07.00. Adapun jadwal pulang atau kembali ke Padang hari Jum’at jam 17.00, sampai di Dermaga Bungus jam 03.00.
Selain kapal Ferry, juga dapat menaiki kapal kayu, jadwalnya setiap hari Senin, kembali ke Padang hari Selasa, dengan waktu tempuh yang sama dengan kapal Ferry ‘Ambu-ambu’. Jika ombak laut dalam keadaan tenang, maka kapal kayu bisa berangkat. Tapi jika ombak laut dalam keadaan pasang (tinggi), maka kapal kayu menunggu sampai keadaan ombak mereda, baru bisa berangkat.
Untuk kapal Ferry ‘Ambu-ambu’, tentu lebih kuat menghadapi terjangan ombak. Jika badai tak terlalu besar atau ombak tinggi, kapal ini tetap berangkat, mengingat ukuran kapal ini tiga kali lebih besar dari kapal kayu. Yang pasti, perlu kondisi fisik yang prima dan ekstra, jika kondisi ombak laut terlihat pasang, terutama yang suka mabuk laut.
Perjalanan selama 10 jam dengan kapal ‘Ambu-ambu’ berakhir di Dermaga Siberut, dan dilanjutkan lewat jalan darat dengan menggunakan motor atau mobil. Untuk mobil, hanya bisa sampai sekitar kantor Kacamatan Siberut Selatan, sekitar 5 km dari dermaga.
Perlu keahlian mengemudi di atas rata-rata, mengingat medan jalan yang sempit dan licin jika hujan atau setelah hujan. Belum lagi jembatan kayu yang bolong-bolong di beberapa tempat dengan kondisi kayu yang tidak sama sekali dipaku. Sebagian kayu juga terlihat patah dan lapuk. Jika melintasi jembatan ini, ban mobil harus tepat di atas jakur kayu yang menumpuk.    
Tepat pukul 09.00 WIB, tanggal 18 Mei 2012, sampailah Ustadz Aldi di daerah kecamatan Siberut Selatan. Adapun Siberut terbagi menjadi 5 kecamatan. Seluruh camatnya beragama Kristen, hanya Siberut Selatan inilah yang Muslim. Dan, hampir seluruh pejabat pemerintahan di Kabupaten Mentawai ini sampai ke tingkat desa dan dusun, seluruhnya dipegang oleh umat Kristiani, sedangkan umat muslim minoritas.
“Beberapa desa yang saya kunjungi, prosentase umat Islam tak lebih hanya 10%. Sekedar perbandingan, untuk tiga desa saja, di sekitar saya tinggal, Desa Muara, Desa Muntai, dan Desa Mailepet, ada 10 gereja, masjid hanya 3 buah dan 1 musholla (masih dalam proses pembangunan),” kata Aldi.

Masjid sebagai Motor Penggerak
Alhamdulillah, di Desa Muara ada masjid besar bernama Masjid Al-Wahidin. Letaknya sangat strategis, persis di pasar, dan dekat dengan Pusat Pemerintahan Kecamatan Siberut Selatan. Di depan masjid, terdapat lapangan yang luas. Lapangan ini sering digunakan untuk acara-acara adat setempat, termasuk acara pemerintahan, dan acara besar lainnya.
Di daerah ini, pasokan listrik dipasok dari listrik desa, tapi mulai jam 13.000 – 17.00 listri padam. Uutuk shalat Jum’at dan shalat Asyar, masjid menggunakan diesel. Pamaakaian diesel dibuat sehemat mungkin, karena harga BBM di daerah ini, 1 liternya mencapai Rp. 8000. Jika pasukan BBM tersendat harganya mencapai Rp. 12.000, jika kondisi ketersediaan BBM sulit, harga dapat menembus Rp. 20.000, bahkan bisa lebih dari itu.
Saat mengisi khutbah Jum’ah di Masjid Al-Wahidin, Ustadz Aldi melihat neraca keuangan di papan informasi. Dilaporkan, kas minus, yang jumlahnya mencapai puluhan juta. Sungguh memperihatinkan.
Sebagai tempat ibadah, Masjid Al Wahidin Desa Muara menjadi motor penggerak dakwah dan pendidikan bagi anak-anak Mentawai dan warga pendatang. Walaupun masjid dalam proses renovasi, setiap ba’da zuhur dan asyar, masjid ini ramai oleh anak-anak yang belajar mengaji. Bagi para ibu, ada pengajian yang dilaksanakan satu kali dalam sepekan, yang tempatnya di rumah-rumah secara bergiliran.

Senin, 11 Juni 2012

Antara Wanita Muslimah Dan Wanita Barat



Islam memposisikan wanita dengan sangat begitu mulia, karena generasi gemilang akan lahir dari rahimnya. Dalam masa kebudayaan jahiliyah sebelum datangnya Islam, wanita dianggap sangat rendah dan hina bahkan tidak sedikit ketika lahir anak perempuan dikubur hidup-hidup. Mereka memandang wanita dengan sebelah mata, bahkan dianggap hina dan tidak berharga. Setelah datangnya Islam, terbukti wanita dapat menghirup udara bebas dan diberikan tugas kepadanya dalam membangun sebuah masyarakat yang berbudaya dan beradab.
Maka kita tidak heran bahwa dalam Islam tidak ada yang namanya diskriminasi terhadap wanita, tidak ada tuntutan emansipasi wanita dan feminisme. Karena sejak pertama kali di wahyukannya agama Islam kemuka bumi, Islam selalu menjunjung tinggi harkat dan martabat kaum wanita. Dan syariat Islam yang seperti ini tidak akan luntur di makan zaman, tak akan pernah berevolusi maupun revolusi.

Hal ini berbeda dengan budaya barat dewasa ini yang merupakan produk dari zaman yang akan selalu berubah dan bergeser karena kikisan sang waktu. Sedangkan Islam meletakkan antara pria dan wanita sesuai dengan kodrat masing-masing. Maka dari itu tidak ada alasan bagi kaum muslimin baik pria, wanita, tua, muda untuk menuntut lebih dari yang di gariskan oleh sang maha menetapkan, Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Allah-lah yang maha mengetahui rahasia-rahasia di balik penciptaan mahluknya.
Bangsa barat dalam reformasi dan modernisasi, menuntut persamaan hak (emansipasi). Namun, konsep emansipasi itu sendiri yang semakin lama semakin tidak jelas, yang seharusnya emansipasi membebaskan wanita dari belenggu perbudakan, tetapi malah menjerumuskan wanita ke jurang perbudakan yang baru. Pada masyarakat kapitalis, wanita dieksploitasi dan menjadi komoditas yang dapat di perjual belikan kepada umum,lihat saja tayangan iklan-iklan di media informasi di sekeliling kita. Di dalam masyarakat yang bebas, wanita di didik budaya permisif yang lepas dari nilai-nilai normatif hanya untuk kepentingan industri. Di luar konsep Islam mereka menuntut kesamaan, kebebasan dan hak asasi manusia, padahal mereka malah mengabaikkan kodrat dan martabat wanita yang seharusnya dijunjung tinggi. Secara tidak langsung mereka menganggap bahwa Islam bersikap diskriminasi terhadap wanita. Padahal Islam menempatkan wanita tidak melebihi atas apa yang telah di gariskan dan dikodratkan sebagai wanita.
Umar bin Khathab pernah berkata, “Pada masa jahiliyah, wanita itu tak ada harganya bagi kami. Sampai akhirnya Islam datang dan menyatakan bahwa wanita itu sederajat dengan laki-laki.” Persamaan yang dimaksudkan oleh Islam ini meliputi segala aspek, termasuk masalah hak dan kewajiban. Hal ini sangat dipahami oleh para wanita Islam dan oleh karenanya mereka pegang ajaran Islam dengan sangat kuat.
Tidak jarang ada pernyatraan dari ummat Islam berkata, “Jalan menuju kebangkitan sudah sangat jelas, yaitu dengan cara kita menempuh jalan yang telah ditempuh bangsa Eropa. Lalu, agar kita dapat berubah seperti mereka, maka segala apa yang ada pada mereka harus kita ambil. Pahit, manis, kebaikan, keburukan dan termasuk hal-hal yang disukai juga yang dibenci (Toha Husein, masa depan pengetahuan di Mesir).

Hancurnya Keluarga
Masalah selanjutnya bukan lagi hanya seputar masalah wanita dan hak-hak mereka saja. Akan tetapi, menjadi meluas dan melebar meliputi bagaimana membangun rumah tangga seperti cara dan gaya yang sesuai dengan peradaban Barat. Berkembanglah pemikiran bahwa membina rumah tangga tak perlu lagi memperhatikan aturan dan nilai-nilai. Peran “ibu” tak lagi menjadi tugas wanita saja. Peranan itu sebenarnya adalah tanggung jawab masyarakat. Bahkan, peran itu dapat dilakukan oleh wanita dan laki-laki.
Sebenarnya, di Eropa pemikiran dan ideologi ini melahirkan banyak permasalahan. Sebagai contoh di Perancis tercatat 53% anak-anak yang lahir tak memiliki bapak yang jelas. Di banyak negara Eropa semakin berkembang trend enggan mempunyai anak bahkan enggan untuk menikah. Hubungan laki-laki dan wanita sekadar hubungan seks bebas tanpa ada ikatan, tak ada aturan yang mengikat. Dan selanjutnya mereka menuntut agar dilegalkannya aborsi sebagai dampak langsung dari merebaknya budaya seks bebas.
Hal ini juga berdampak pada meningkatnya angka kriminalitas dengan sangat tajam. Pada tahun 1998 tingkat kriminalitas di Amerika mencapai angka yang sangat fantastis. Tindakan perkosaan terjadi setiap 6 menit, penembakan terjadi setiap 41 detik, pembunuhan setiap 31 menit. Dana yang dikeluarkan untuk menanggulangi tindakan kejahatan saat itu mencapai 700 juta dolar per tahun (angka ini belum termasuk kejahatan Narkoba). Angka ini sama dengan pemasukan tahunan (income) 120 negara dunia ketiga.

Kejahatan atas wanita
Merebaknya kejahatan memberikan bahaya tersendiri buat para wanita di Eropa. Hingga PBB pada 17 Desember 1999 mengeluarkan keputusan bahwa tanggal 25 November merupakan hari anti kekerasan pada wanita. Ada banyak fakta dan data yang seharusnya diperhatikan oleh mereka yang terbuai dengan Barat. Di Eropa dan Amerika pada setiap 15 detik terjadi kekerasan atas wanita. Belum lagi jika ditambah dengan aksi pemerkosaan setiap harinya. Sehingga Amerika tercatat sebagai negara tertinggi dalam hal kekerasan terhadap wanita. Menurut catatan UNICEF, 30% kekerasan pada wanita terjadi di Amerika dan 20% di Inggris.
Belum lagi kejahatan perbudakan yang terjadi di Amerika, CNN pernah menyiarkan laporan bahwa pada tahun 2002 jutaan anak-anak dan wanita dijual belikan di Amerika setiap tahunnya. Lebih dari 120 ribu wanita berasal dari Eropa Timur dan beberapa negara miskin lainnya dikirim ke Eropa untuk dipekerjakan sebagai budak seks. Lalu lebih dari 15 ribu wanita yang mayoritas berasal dari Meksiko dijual ke Amerika untuk dipekerjakan di komplek-komplek pelacuran.
Bisnis haram ini bahkan merenggut kemerdekaan anak-anak di dunia, hingga Sidang Umum PBB pada pertemuan yang ke 54 mengeluarkan keputusan pada 25 Mei 2000 tentang hak anak. Sebuah keputusan yang mendesak agar dilakukan pencegahan agar tak lagi terjadi jual beli anak apalagi kemudian dipekerjakan sebagai budak seks seperti yang terdapat pada jaringan internet.
Memperhatikan apa yang terjadi di Barat, seharusnya membuat kita berfikir panjang jika ingin menempuh jalan yang telah ditempuh oleh Barat. Dalam penjara Israel terdapat sekitar 100 tawanan wanita. Mengapa Barat diam saja atas semua ini. Di Palestina terdapat lebih dari 250 wanita yang telah menemui syahidnya, belum lagi para wanita yang menderita luka-luka pasca intifadhah. Adapun tentang wanita di Irak, cukuplah bagi kita apa yang disampaikan oleh organisasi dunia pada 22 Februari 2005 yang mengatakan bahwa kondisi wanita Irak tak jauh berbeda dengan kondisi manakala mereka berada di bawah pemerintahan Sadam Husein.
Hal ini menjelaskan bahwa kemerdekaan dan kebebasan wanita seperti yang digemborkan Amerika sama sekali tak menyentuh mereka. Bahkan kondisi mereka di bawah penjajahan Amerika jauh lebih buruk lagi. Mereka menerima perlakuan kasar, dianiaya, dilecehkan bahkan diperkosa.

Penutup
Maka, sebagai umat Islam marilah kita lebih jernih berpikir, dan tidak terpengaruh argumentasi bahwa feminisme dan kesetaraan gender dapat menjadi solusi dari permasalahan kaum perempuan di dunia Islam, semisal kekerasan rumah tangga (domestic violence) , women trafficking, dan permasalahan sosial lainnya. Sampai saat ini, negara-negara Barat tidak pernah bisa membuktikan bahwa mereka berhasil mengatasi problematika sosial tersebut. Justru sebaliknya, kehancuran moral telah merusak tatanan sosial masyarakat Barat, gerakan feminis kemudian disalahkan karena dianggap telah mengubah perempuan menjadi makhluk-makhluk gila karir dan menjauhkan mereka dari kehangatan keluarga. Wallahu a’lam bishshawab.