Saat ini, banyak dari kalangan umat Islam yang merasa gelisah, galau, dan merana atau di singkat gegana, pemahaman Islam
yang manakah yang bisa menyelamatkan mereka di dunia dan juga di
akhirat. Begitu pula para aktivis dakwah dan harakah banyak yang “futur”
setelah lelah ‘tour de jama’ah’ dan hingga kini belum juga menemukan
‘perahu’ atau ‘sekoci’ idaman yang shahih yang akan berlayar menuju
pulau harapan dan cita-cita. Kalau umat dilanda galau seperti ini, apa
yang harus dilakukan?
Awas Iftiraq, Kenali Gejalanya!
Di
akhir zaman seperti ini, umat Islam wajib mewaspadai pemahaman serta
ke-Islaman-nya, apakah sudah termasuk ke dalam Islam yang ‘selamat’ atau
malah terjerumus ke firqah-firqah (sekte-sekte) sesat dalam Islam,
khususnya dalam masalah aqidah atau tauhid. Rasulullah SAW., telah
mewanti-wanti kita akan hal ini dalam haditsnya tentang Al-Iftiraaq
(perpecahan) umat Islam di akhir zaman.
Dari Abu ‘Amir
al-Hauzaniy ‘Abdillah bin Luhai, dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan,
bahwasanya ia (Mu’awiyah) pernah berdiri di hadapan kami, lalu ia
berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah berdiri di hadapan kami, kemudian beliau bersabda,
“Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahli Kitab
(Yahudi dan Nasrani) terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan dan
sesungguhnya ummat ini akan berpecah belah menjadi 73 (tujuh puluh tiga)
golongan, (adapun) yang tujuh puluh dua akan masuk Neraka dan yang satu
golongan akan masuk Surga, yaitu “al-Jama’ah.” Dan juga hadits ini,
Dari
‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, ‘Sungguh akan terjadi pada ummatku, apa yang telah
terjadi pada ummat bani Israil sedikit demi sedikit, sehingga jika ada
di antara mereka (Bani Israil) yang menyetubuhi ibunya secara
terang-terangan, maka niscaya akan ada pada ummatku yang mengerjakan
itu. Dan sesungguhnya bani Israil berpecah menjadi tujuh puluh dua
millah, semuanya di Neraka kecuali satu millah saja dan ummatku akan
terpecah menjadi tujuh puluh tiga millah, yang semuanya di Neraka
kecuali satu millah.’ (para Shahabat) bertanya, ‘Siapa mereka wahai
Rasulullah?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Apa yang
aku dan para Shahabatku berada di atasnya.’” (Diriwayatkan oleh
at-Tirmidzi no. 2641, dan ia berkata: “Ini merupakan hadits penjelas
yang gharib, kami tidak mengetahuinya seperti ini, kecuali dari jalan
ini.”)
Jelas, hadits ini mewanti-wanti kaum Muslimin agar menjauhi
seluruh firqah (sekte) sesat dalam aqidah Islam, kecuali hanya memilih
satu saja yang selamat, yakni yang mengikuti Rasulullah SAW., dan para
sahabatnya.
Syekh Umar Bakri Muhammad dalam bukunya “The Islamic
Standard, The Path of the Pios Predecessors” (Nahjus Salaf Saalih),
menjelaskan bahwa Nahjus Salaf (Jalannya salafus shaleh) meliputi aqidah
(kepercayaan), amal (perbuatan), dan manhaj (metode). Allah SWT.,
berfirman dalam Al-Qur’an bahwa kita harus mengikuti keimanan Rasulullah
SAW dan para sahabatnya sebagai sebuah kewajiban.
“Jika mereka
beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka
telah mendapat petunjuk. Tetapi, jika mereka berpaling, mereka berada
dalam permusuhan (denganmu). Maka Allah akan memelihara kamu dari
mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al
Baqarah (2) : 137)
Syekh Umar Bakri Muhammad melanjutkan
penjelasannya, secara bahasa ayat di atas menggunakan bentuk plural
(jamak) pada kata “amantum” yang menjelaskan bahwa penunjukkan kewajiban
beriman bukan hanya kepada Nabi SAW., saja tapi juga yang percaya
kepada kenabiannya, yakni sahabat. Penjelasan secara lebih lanjut
disampaikan oleh Ibnu Katsir bahwa Qatadah, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas’ud
mengatakan bahwa kalimat “Jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah
beriman kepadanya..” mengandung pengertian, “Jika manusia beriman
kepada apa yang diimani Rasulullah SAW., dan para sahabatnya...”
Dengan
demikian, jika kaum Muslimin ingin terbebas dari galau, maka mereka
harus kembali kepada Islam yang standar, yakni ber-Islam dengan
menggunakan ukuran atau patokan yang telah ditunjukkan oleh Allah SWT.,
dari wahyuNya, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman para
sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, yang kemudian lebih dikenal
dengan nama Salafus Sholeh, dimana orang-orang yang mengikuti (ittiba)
jejak Salafus Sholeh kemudian dikenal dengan sebuat As Salafiyah.
Tegar Di Atas Manhaj!
Syekh
Abu ‘Ai’shah dalam artikelnya yang berjudul “Salafiyyah is the Manhaj
(Methodology) of the Jihaadee Groups”, yang kemudian dialih bahasakan
oleh Al-Akh Abu Abdillah menjadi “Mengapa Harus Salafy Jihady?” dan
kemudian disebarluaskan oleh Maktabah Jahizuna, menguti ayat yang sama,
yakni QS Al Baqarah (2) ayat 137, untuk menjelaskan mengapa harus
mengambil ideologi Salafy.
Dalam artikel sebanyak 9 halaman
tersebut, Syekh Abu ‘Ai’shah mengatakan bahwa salafy dipilih sebagai
aqidah (ideologi), Karena Allah memujinya dan menghargainya. Sebagaimana
firmanNya, yang ditujukan untuk Rasul-Nya -shallallaahu ‘alaihi
wassalam- dan shahabatnya ridhwanullahi ‘alaihim ?
“Maka jika
mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh
mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya
mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara
kamu dari mereka…” (Al Baqarah [2]: 137)
Beliau melanjutkan, maka
telah jelas, bagi mereka yang memiliki pendengaran dan akal, bahwa
aqidah Salaf adalah jalan yang menolong kita dari api neraka, membimbing
menuju surga, tempat tinggal bagi orang-orang baik. Semua jalan
selainnya –aqidah atau pemikiran- adalah jalan yang merusak yang
menggiring kepada adzab Allah dan nerakaNya.
Adapun mengapa jihad
dijadikan sebagai manhaj? Syekh Abu ‘Ai’shah mengatakan karena jalan
Jihad adalah jalan yang diperintahkan Allah kepada NabiNya -shallallaahu
‘alaihi wassalam- dalam banyak firmanNya dan juga hadits dari
Rasulullah SAW.
“Maka berperanglah kamu pada jalan Allah,
tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri.
Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang)…” (An Nisa [4]: 84)
Juga,
karena Nabi -shallallaahu ‘alaihi wassalam- diutus untuk mengajak
kepada Tauhidullah dengan pedang. Beliau -shallallaahu ‘alaihi wassalam-
bersabda, “Aku telah diutus dengan pedang sebelum kiamat sehingga Allah
saja yang disembah tanpa sekutu apapun” (Musnad Ahmad, dari Ibnu Umar,
Shahih al-Jami’ No. 2831)
Maka setelah penjelasan ini, tidak ada
lagi galau di kalangan umat, dan tidak ada lagi “futur” di kalangan
aktivis dan para pengemban dakwah. Karena jalan (manhaj) keselamatan
dunia akhirat dan jalan perjuangan untuk mencapai cita-cita nan mulia,
tegaknya kalimat La ilaha illallah, sudah begitu jelas dan terang
benderang. Carilah perahu atau sekoci yang bermanhaj Salafus Sholeh yang
shahih, naik-lah, dan segeralah berlayar bersama para penumpang
lainnya, bersinergilah dengan perahu yang semanhaj lainnya, bahu membahu
dalam kebaikan dan taqwa untuk menuju pulau harapan kita semua,
keridhoan Allah SWT.
Wallahu’alam bis showab!