Halaman

Cahaya Pengetahuan Muslim

Selasa, 24 Juli 2012

Menjelang Olimpiade, Atlet Muslim Yang Berpuasa Mengalami Dilema


LONDON – Menjelang Olimpiade Inggris, sekitar 3.500 atlet menghadapi dilemma ketika menghadapi Olimpiade di bulan Ramadhan ini. Di satu sisi mereka harus tekun beribadah namun di sisi yang lain mereka pun harus berkompetensi dengan atlet lain, tentu hal tersebut harus diimbangi dengan asupan makanan berkarbohidrat.
Waktu siang di inggris sekitar 18 jam, sedangkan Olimpiade kebanyakan diadakan pada siang hari. Hal ini tentu memberatkan atlet muslim. Ada sebagian mereka yang tetap berpuasa, ada pula yang berencana mengganti puasanya di hari yang lain.
Salah satu atlet, Mustafa Mesir kayaker berkata,”olah raga yang saya tekuni mengharuskan saya bisa cepat, aku butuh semua asupan makanan, seperti protein, karbohidrat dan mineral. Namun saya akan menggantinya setelah Ramadhan. Semoga Allah mengampuni saya karena ada alasan penting.”
Dewan Islam Mesir memberikan atlet penangguhan hukuman dengan mengumumkan sebuah fatwa yang menyatakan bahwa atlet Olimpiade tidak diwajibkan untuk berpuasa selama pembinaan atau kompetisi.
Younis Dhudwala mengatakan,” Beberapa atlet memilih untuk tetap berpuasa, karena mereka percaya puasa dapat memberi mereka kekuatan dan keunggulan fisik untuk melakukan lebih baik dan berjalan lebih cepat.”

Lebih Penting Olimpiade Atau Puasa Ramadhan?
Terkadang umat Islam tertipu dengan kehidupan dunia, mereka menukar akhiratnya dengan kehidupan dunia. Para atlet tersebut seharusnya dapat mengambil sikap ketika Olimpiade diadakan di bulan Ramdhan. Seharusnya mereka lebih mementingkan Ramadhan ketimbang Olimpiade.
Puasa ramadhan itu hukumnya WAJIB bagi setiap muslim. Jika memang tidak bisa berpuasa pada saat Olimpiade, maka para atlet dapat mengundurkan diri dari persaingan tersebut. Memang berat ketika gaji yang ditawarkan lebih banyak, namun kita harus percaya bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti mengganti pengorbanan kita dengan sesuatu yang lebih baik.

Gelisah, Galau, Dan Merana (GEGANA), Kembalilah Ke Salafus Sholeh




Saat ini, banyak dari kalangan umat Islam yang merasa gelisah, galau, dan merana atau di singkat gegana, pemahaman Islam yang manakah yang bisa menyelamatkan mereka di dunia dan juga di akhirat. Begitu pula para aktivis dakwah dan harakah banyak yang “futur” setelah lelah ‘tour de jama’ah’ dan hingga kini belum juga menemukan ‘perahu’ atau ‘sekoci’ idaman yang shahih yang akan berlayar menuju pulau harapan dan cita-cita. Kalau umat dilanda galau seperti ini, apa yang harus dilakukan?

Awas Iftiraq, Kenali Gejalanya!

Di akhir zaman seperti ini, umat Islam wajib mewaspadai pemahaman serta ke-Islaman-nya, apakah sudah termasuk ke dalam Islam yang ‘selamat’ atau malah terjerumus ke firqah-firqah (sekte-sekte) sesat dalam Islam, khususnya dalam masalah aqidah atau tauhid. Rasulullah SAW., telah mewanti-wanti kita akan hal ini dalam haditsnya tentang Al-Iftiraaq (perpecahan) umat Islam di akhir zaman.

Dari Abu ‘Amir al-Hauzaniy ‘Abdillah bin Luhai, dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan, bahwasanya ia (Mu’awiyah) pernah berdiri di hadapan kami, lalu ia berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di hadapan kami, kemudian beliau bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan dan sesungguhnya ummat ini akan berpecah belah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, (adapun) yang tujuh puluh dua akan masuk Neraka dan yang satu golongan akan masuk Surga, yaitu “al-Jama’ah.” Dan juga hadits ini,

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sungguh akan terjadi pada ummatku, apa yang telah terjadi pada ummat bani Israil sedikit demi sedikit, sehingga jika ada di antara mereka (Bani Israil) yang menyetubuhi ibunya secara terang-terangan, maka niscaya akan ada pada ummatku yang mengerjakan itu. Dan sesungguhnya bani Israil berpecah menjadi tujuh puluh dua millah, semuanya di Neraka kecuali satu millah saja dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga millah, yang semuanya di Neraka kecuali satu millah.’ (para Shahabat) bertanya, ‘Siapa mereka wahai Rasulullah?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Apa yang aku dan para Shahabatku berada di atasnya.’” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 2641, dan ia berkata: “Ini merupakan hadits penjelas yang gharib, kami tidak mengetahuinya seperti ini, kecuali dari jalan ini.”)
Jelas, hadits ini mewanti-wanti kaum Muslimin agar menjauhi seluruh firqah (sekte) sesat dalam aqidah Islam, kecuali hanya memilih satu saja yang selamat, yakni yang mengikuti Rasulullah SAW., dan para sahabatnya.

Syekh Umar Bakri Muhammad dalam bukunya “The Islamic Standard, The Path of the Pios Predecessors” (Nahjus Salaf Saalih), menjelaskan bahwa Nahjus Salaf (Jalannya salafus shaleh) meliputi aqidah (kepercayaan), amal (perbuatan), dan manhaj (metode). Allah SWT., berfirman dalam Al-Qur’an bahwa kita harus mengikuti keimanan Rasulullah SAW dan para sahabatnya sebagai sebuah kewajiban.

“Jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman  kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk. Tetapi, jika mereka berpaling, mereka berada dalam permusuhan (denganmu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Baqarah (2) : 137)

Syekh Umar Bakri Muhammad melanjutkan penjelasannya, secara bahasa ayat di atas menggunakan bentuk plural (jamak) pada kata “amantum” yang menjelaskan bahwa penunjukkan kewajiban beriman bukan hanya kepada Nabi SAW., saja tapi juga yang percaya kepada kenabiannya, yakni sahabat. Penjelasan secara lebih lanjut disampaikan oleh Ibnu Katsir bahwa Qatadah, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa kalimat “Jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya..” mengandung pengertian, “Jika manusia beriman kepada apa yang diimani Rasulullah SAW., dan para sahabatnya...”

Dengan demikian, jika kaum Muslimin ingin terbebas dari galau, maka mereka harus kembali kepada Islam yang standar, yakni ber-Islam dengan menggunakan ukuran atau patokan yang telah ditunjukkan oleh Allah SWT., dari wahyuNya, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Salafus Sholeh, dimana orang-orang yang mengikuti (ittiba) jejak Salafus Sholeh kemudian dikenal dengan sebuat As Salafiyah.

Tegar Di Atas Manhaj!

Syekh Abu ‘Ai’shah dalam artikelnya yang berjudul “Salafiyyah is the Manhaj (Methodology) of the Jihaadee Groups”, yang kemudian dialih bahasakan oleh Al-Akh Abu Abdillah menjadi “Mengapa Harus Salafy Jihady?” dan kemudian disebarluaskan oleh Maktabah Jahizuna, menguti ayat yang sama, yakni QS Al Baqarah (2) ayat 137, untuk menjelaskan mengapa harus mengambil ideologi Salafy.

Dalam artikel sebanyak 9 halaman tersebut, Syekh Abu ‘Ai’shah mengatakan bahwa salafy dipilih sebagai aqidah (ideologi), Karena Allah memujinya dan menghargainya. Sebagaimana firmanNya, yang ditujukan untuk Rasul-Nya -shallallaahu ‘alaihi wassalam- dan shahabatnya ridhwanullahi ‘alaihim ?

“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka…” (Al Baqarah [2]: 137)
Beliau melanjutkan, maka telah jelas, bagi mereka yang memiliki pendengaran dan akal, bahwa aqidah Salaf adalah jalan yang menolong kita dari api neraka, membimbing menuju surga, tempat tinggal bagi orang-orang baik. Semua jalan selainnya –aqidah atau pemikiran- adalah jalan yang merusak yang menggiring kepada adzab Allah dan nerakaNya.

Adapun mengapa jihad dijadikan sebagai manhaj? Syekh Abu ‘Ai’shah mengatakan karena jalan Jihad adalah jalan yang diperintahkan Allah kepada NabiNya -shallallaahu ‘alaihi wassalam- dalam banyak firmanNya dan juga hadits dari Rasulullah SAW.

“Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang)…” (An Nisa [4]: 84)

Juga, karena Nabi -shallallaahu ‘alaihi wassalam- diutus untuk mengajak kepada Tauhidullah dengan pedang. Beliau -shallallaahu ‘alaihi wassalam- bersabda, “Aku telah diutus dengan pedang sebelum kiamat sehingga Allah saja yang disembah tanpa sekutu apapun” (Musnad Ahmad, dari Ibnu Umar, Shahih al-Jami’ No. 2831)

Maka setelah penjelasan ini, tidak ada lagi galau di kalangan umat, dan tidak ada lagi “futur” di kalangan aktivis dan para pengemban dakwah. Karena jalan (manhaj) keselamatan dunia akhirat dan jalan perjuangan untuk mencapai cita-cita nan mulia, tegaknya kalimat La ilaha illallah, sudah begitu jelas dan terang benderang. Carilah perahu atau sekoci yang bermanhaj Salafus Sholeh yang shahih, naik-lah, dan segeralah berlayar bersama para penumpang lainnya, bersinergilah dengan perahu yang semanhaj lainnya, bahu membahu dalam kebaikan dan taqwa untuk menuju pulau harapan kita semua, keridhoan Allah SWT.

Wallahu’alam bis showab!