Halaman

Cahaya Pengetahuan Muslim

Senin, 10 Desember 2012

Doa Perlindungan dan Penyembuhan Dari Segala Macam Penyakit


Sakit dan penyakit adalah ujian yang tidak pernah lepas dari kehidupan seorang hamba. Selain berobat secara medis, Islam juga mengajarkan beberapa doa yang berguna bagi kesembuhan seorang hamba dari sebuah penyakit, sekaligus perlindungan dari kemungkinan terkena penyakit.
Ada banyak doa penyembuhan dari penyakit dan perlindungan dari penyakit dalam Al-Qur'an dan hadits. Berikut ini sebagian di antaranya yang bisa dibaca oleh pasien yang sakit, orang yang menjenguk pasien yang sakit dan dokter atau perawat yang menangani pasein yang sakit.

Doa pertama
Dari Aisyah Radhiyallahu 'Anha berkata: "Nabi shallallahu 'alaihi wa salam biasa membacakan doa pelindungan kepada sebagian mereka (sahabatnya), beliau mengusap orang tersebut dengan tangan kanan beliau lalu beliau membacakan doa:

«أَذْهِبِ البَاسَ رَبَّ النَّاسِ، وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي، لاَ شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا»

"Hilangkanlah penyakit wahai Rabb manusia dan berilah kesembuhan, sesungguhnya Engkau adalah Maha Menyembuhkan, tidak ada kesembuhan kecuali dengan kesembuhan dari-Mu, (berilah) kesembuhan total yang tidak menyisakan penyakit."
 (HR.Bukhari no. 5750 dan Muslim no. 2191, lafal ini adalah lafal Bukhari

Adapun lafal Muslim adalah dari Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: "Jika salah seorang di antara kami ada yang sakit, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam mengusapnya dengan tangan kanan beliau lalu beliau membacakan doa:"…" (seperti doa di atas)

Doa kedua
Dari Abdurrahman bin Saib keponakan Maimunah Al-Hilaliyah radhiyallahu 'anha bahwasanya Maimunah bertanya kepadanya, "Wahai anak saudaraku, maukah apabila aku bacakan kepadamu doa kesembuhan yang biasa dibaca oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam?" Abdurrahman menjawab, "Tentu." Maimunah berkata:

بِسْمِ اللهِ أَرْقِيكَ، وَاللهُ يَشْفِيكَ، مِنْ كُلِّ دَاءٍ فِيكَ، أَذْهِبِ الْبَاسَ رَبَّ النَّاسِ، وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي، لَا شَافِيَ إِلَّا أَنْتَ

"Dengan nama Allah aku membacakan doa kesembuhan untukmu, Allah-lah Yang menyembuhkanmu, dari segala penyakit yang ada padamu. Hilangkanlah penyakit wahai Rabb manusia dan berilah kesembuhan, sesungguhnya Engkau adalah Maha Menyembuhkan, tidak ada yang mampu memberi kesembuhan kecuali Engkau."
(HR. Ahmad no. 26281, An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 10860, Ibnu Hibban no. 6095, Ath-Thahawi dalam Syarh Ma'ani Al-Atsar, 4/329 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu'jam Al-Awsath no. 3318. Syaikh Syu'aib Al-Arnauth berkata: Hadits ini shahih li-ghairi)

Doa ketiga
Membacakan surat Al-Falaq, An-Nas, Al-Fatihah atau doa-doa perlindungan lainnya dan mengusapkannya ke anggota badan yang sakit

عَنْ عَائِشَةَ: «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا اشْتَكَى يَقْرَأُ عَلَى نَفْسِهِ بِالْمُعَوِّذَاتِ، وَيَنْفُثُ، فَلَمَّا اشْتَدَّ وَجَعُهُ كُنْتُ أَقْرَأُ عَلَيْهِ، وَأَمْسَحُ عَنْهُ بِيَدِهِ، رَجَاءَ بَرَكَتِهَا»

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: "Jika Nabi shallallahu 'alaihi wa salam sedang sakit, maka beliau membacakan untuk dirinya sendiri al-mu'awwidzat (surat-surat Al-Qur'an dan doa-doa perlindungan) lalu meniupkannya pada diri beliau sendiri. Namun ketika sakit beliau telah parah, sayalah yang membacakan al-mu'awwidzat untuk beliau, lalu saya (tiupkan bacaan tersebut ke tangan beliau dan) usapkan tangan beliau ke badan beliau, dengan mengharap keberkahan tangan beliau."(HR. Muslim no. 2192)

Catatan: Surat Al-Falaq dan surat An-Nas disebut al-mu'awwidzatain (dua surat yang member perlindungan). Seorang sahabat juga pernah menyembuhkan kepala suku yang terkena sengatan hewan berbisa dengan bacaan Al-Fatihah, seperti disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu. Dalam hadits shahih disebutkan:

عَنْ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ، نَفَثَ فِي كَفَّيْهِ بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَبِالْمُعَوِّذَتَيْنِ جَمِيعًا، ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَهُ، وَمَا بَلَغَتْ يَدَاهُ مِنْ جَسَدِهِ» قَالَتْ عَائِشَةُ: «فَلَمَّا اشْتَكَى كَانَ يَأْمُرُنِي أَنْ أَفْعَلَ ذَلِكَ بِهِ»

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: "Jika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam berbaring di tempat tidurnya untuk tidur, maka beliau membaca surat Al-Ikhlas dan dua surat Al-Mu'awidzatain (Al-Falaq dan An-Nas) lalu meniupkannya kepada kedua telapak tangan beliau, lalu beliu mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajahnya dan seluruh anggota badannya yang bisa dijangkau dengan kedua tangannya. Tatkala beliau sakit keras, maka beliau memerintahkan kepadaku untuk melakukan hal itu bagi beliau." 
(HR. Bukhari no. 5748)

Doa Keempat
Dari Utsman bin Abil Ash Ats-Tsaqafi radhiyallahu 'anhu bahwasanya ia mengadukan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam penyakit yang ia alami sejak ia masuk Islam. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam bersabda kepadanya:

«ضَعْ يَدَكَ عَلَى الَّذِي تَأَلَّمَ مِنْ جَسَدِكَ، وَقُلْ بِاسْمِ اللهِ ثَلَاثًا، وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ أَعُوذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ»

Letakkan tanganmu pada bagian tubuhmu yang sakit, kemudian bacalah bismillah (dengan nama Allah) sebanyak tiga kali, lalu bacalah doa berikut ini sebanyak tujuh kali:

أَعُوذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ

"Aku berlindung kepada Allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan (penyakit) yang aku dapatkan dan aku khawatirkan."

Utsman bin Abul Ash Ats-Tsaqafi berkata: "Aku pun mengerjakan pesan beliau tersebut sehingga Allah menghilangkan penyakitku. Maka aku senantiasa memerintahkan pesan tersebut kepada keluargaku dan orang-orang lain."
 (HR. Muslim no. 2202, Abu Daud no. 3891, Tirmidzi no. 2080, An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 7546, Ahmad no. 16268 dan Ibnu Hibban no. 2965)

Wallahu a'lam bish-shawab. Semoga bermanfaat.

Istiqomah Dengan Akhlak Yang Baik



Sebagaimana yang telah tercantum di dalam pendapat para ahli hadits, bahwa Akhlaq berasal dari bahasa arab, yang mengandung arti : Budi pekerti,tabiat,tingkah laku,perangai.

Dalam kitab suci AlQur’an kata Akhlaq terambil dari bentuk Khuluq (Akhlaq), sejalan dengan ini, Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al Qur’an menyebut kata Khuluq bentuk tunggal dari kata Akhlaq yaitu :

Allah Subhanahu wa Ta’ala Berfirman :

“ Wa Innaka La’ala Khulqin azhim” “Dan Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berada diatas (Akhlaq) Budi Pekerti yang Agung”.
 (QS. Al Qalam : 4 ).

Imam Abu Hamid Al Ghazali’Mendifinisikan Akhlaq adalah”Suatu sifat yang melekat dalam jiwa seseorang,yang menjadikan ia mudah bertindak,tanpa banyak pertimbangan lagi’atau dengan kata lain Akhlaq adalah, dorongan jiwa yang menyebabkan manusia untuk berbuat baik dan buruk.

Sementara menurut Abdul Karim Zaidan “Akhlaq adalah merupakan nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa,yang dengan sorotan dan timbangannya,seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau buruk,untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya.

Akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, akan muncul secara spontan ketika diperlukan,tanpa pemikiran atau pertimbangan dan tidak memerlukan dorongan dari luar.

Dengan demikian akhlaq terbagi menjadi dua bagian yakni : dorongan yang baik disebut Akhlaq yang baik (Akhlaqul Mahmudah), dan dorongan jiwa yang yang buruk disebut Akhlaq buruk ‘(Akhlaqul Madzmumah). Sering kita mendengar kata akhlaq beriringan dengan kata Karimah’akhlaqul karimah’.Karimah bermakna : mulia, baik.

Dalam hadits kata Akhlaq juga selalu hadir bersamaan dengan kata-kata : Khayr, hasan,ahsan,mahasin, dan makarim, tidak lain mengandung arti “Baik’terpuji,luhur dan Agung.

Sehingga dapat dikatakan, apabila perbuatan atau pola tingkah laku perbuatan yang dilakukan itu dengan baik,mulia,terpuji menurut syariat dan akal, maka perbuatan itu dinamakan akhlaq mulia atau Akhlaqul Karimah.Pada dasarnya akhlaq yang mulia, tidak hanya diperuntukkan bagi umat Islam,namun demikian juga untuk seluruh umat manusia.

Allah Subhanahu wa Ta’ala Berfirman :

“ Dan KAMI tidak Mengutus Engkau (Muhammad) Melainkan untuk Menjadi Rahmat bagi seluruh Alam”. 
(QS. Al Anbiya’ : 107).

Ayat yang terkandung dalam kitab suci Al Qur’an diatas, menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam’ sebagai Rahmatan lil alamin,diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, menyelamatkan manusia dari kesesatan.

Dan menuntun mereka dengan akhlaq mulia, menuju kejalan Hidayah,agar mendapatkan Rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga selamat menempuh perjalanan hidupnya, di dunia ini terlebih di akhirat kelak.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, adalah sosok sempurna,berakhlaq mulia, terpercaya dalam segala-galanya,tutur kata yang santun, lemah lembut,jujur terpercaya sepanjang hidupnya,adil bijaksana,sabar, penyayang,hidup sederhana,sehingga kehadiran Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, sebagai penyempurna akhlaq manusia.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam Bersabda:

"Sesungguhnya Aku (Rasulullah) diutus untuk menyempurnakan Akhlaq yang Mulia”.
(HR. Bukhari, Baihaqi dan Hakim).

Akhlaqul karimah sangatlah tinggi kedudukannya dalam islam,karena akhlaq islami bersumber dari Al Quran dan Al Hadits, dan sifatnya tetap tidak berubah-ubah, berlaku sepanjang masa dan selama-lamanya.

Akhlaq Islam itu sendiri berisikan petunjuk, pedoman dan tuntunan atas dasar akhlaq mulia, sehingga mampu mengatasi, segala persoalan hidup di dunia maupun kehidupan kekal abadi di akhirat,dan akhlaq sendiri merupakan penentu kualiatas kesempurnaan Iman bagi hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala,dan di hari kiamat kelak, akhlaq yang baik,merupakan timbangan amal yang lebih berat.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam Bersabda:

"Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu’Bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam Bersabda “Orang mukmin yang paling sempurna Imannya, ialah siapa diantara mereka yang paling baik Akhlaqnya (budi pekerti)”.
(HR. Abu Dawud dan At Tirmidzi)

"Dari Abu Al Darda Radhiyallahu Anhu’Bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam Bersabda “Tiada sesuatu pun yang lebih berat pada Timbangan seseorang hamba di hari kiamat, selain Akhlaq yang baik” 
(HR. Abu Dawud dan At Tirmidzi)

Sejatinya setiap muslim adalah selalu berakhlaq baik,sehingga ia memperoleh kebaikan,hatinya akan tenang tentram,dan selalu berlapang dada, demikian juga dengan lingkungan sekitarnya, dengan berakhlaq baik akan menghadirkan suasana hidup tentram bermasyarat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala, memberikan ganjaran kepada orang yang senantiasa berakhlaq baik,yakni meraih kebahagiaan dan kenikmatan-kenikmatan surga yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala, janjikan kepada hamba-hamba-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala Berfirman :

“ Wahai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Rabb-Mu dengan hati yang yang ridha dan diridhai-Nya.Masuklah kedalam hamba-hamba-KU,Dan masuklah ke dalam Surga-KU”.
(QS. Al Fajr 27-30).

※Sahabat saudaraku fillah yang di Rahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, . Mudah-mudahan untaian sederhana diatas manfaat buat kita semua,yang benar haq semua datang-Nya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala,Yang kurang dan khilaf mohon sangat dimaafkan ’’Akhirul qalam “Wa tawasau bi al-haq Watawa saubil shabr “.

※Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala . Senantiasa Menunjukkan kita pada sesuatu yang di Ridhai dan di Cintai-Nya..Aamiin Allahuma AAmiin.

※Sahabat saudaraku fillah..Silakan di Tag/Share….Semua untuk Umat dan Syiar Islam, Silakan saling bantu Tag sahabat-sahabat yang lain, Jazzakumullahu khayran wa Barakallahu fiikum.

Rabu, 05 Desember 2012

Hidup Akan Bahagia Jika Mengenal Allah Lebih Dekat




Kalau mengenal Allah sebatas di masjid, di majelis dzikir, atau di majelis ilmu atau mengenal-Nya ketika tersandung batu, ketika mendengar kematian, atau ketika mendapatkan musibah dan mendapatkan kesenangan, barangkali akan terlontar pertanyaan demikian.

Yang dimaksud dalam pembahasan ini yaitu mengenal Allah yang akan membuahkan rasa takut kepada-Nya, tawakal, berharap, menggantungkan diri, dan ketundukan hanya kepada-Nya. Sehingga kita bisa mewujudkan segala bentuk ketaatan dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya. Yang akan menenteramkan hati ketika orang-orang mengalami gundah-gulana dalam hidup, mendapatkan rasa aman ketika orang-orang dirundung rasa takut dan akan berani menghadapi segala macam problema hidup.


Faktanya, banyak yang mengaku mengenal Allah tetapi mereka selalu bermaksiat kepada-Nya siang dan malam. Lalu apa manfaat kita mengenal Allah kalau keadaannya demikian? Dan apa artinya kita mengenal Allah sementara kita melanggar perintah dan larangan-Nya?


Maka dari itu mari kita menyimak pembahasan tentang masalah ini, agar kita mengerti hakikat mengenal Allah dan bisa memetik buahnya dalam wujud amal.


Mengenal Allah ada empat cara yaitu mengenal wujud Allah, mengenal Rububiyah Allah, mengenal Uluhiyah Allah, dan mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah.


Keempat cara ini telah disebutkan Allah di dalam Al Qur’an dan di dalam As Sunnah baik global maupun terperinci.


Ibnul Qoyyim dalam kitab Al Fawaid hal 29, mengatakan: “Allah mengajak hamba-Nya untuk mengenal diri-Nya di dalam Al Qur’an dengan dua cara yaitu pertama, melihat segala perbuatan Allah dan yang kedua, melihat dan merenungi serta menggali tanda-tanda kebesaran Allah seperti dalam firman-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam terdapat (tanda-tanda kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memiliki akal.” (QS. Ali Imran: 190)


Juga dalam firman-Nya yang lain: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang, serta bahtera yang berjalan di lautan yang bermanfaat bagi manusia.” (QS. Al Baqarah: 164)


Mengenal Wujud Allah.


Yaitu beriman bahwa Allah itu ada. Dan adanya Allah telah diakui oleh fitrah, akal, panca indera manusia, dan ditetapkan pula oleh syari’at.


Ketika seseorang melihat makhluk ciptaan Allah yang berbeda-beda bentuk, warna, jenis dan sebagainya, akal akan menyimpulkan adanya semuanya itu tentu ada yang mengadakannya dan tidak mungkin ada dengan sendirinya. Dan panca indera kita mengakui adanya Allah di mana kita melihat ada orang yang berdoa, menyeru Allah dan meminta sesuatu, lalu Allah mengabulkannya. Adapun tentang pengakuan fitrah telah disebutkan oleh Allah di dalam Al Qur’an: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu menurunkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman ): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu’ Mereka menjawab: ‘(Betul Engkau Tuhan kami) kami mempersaksikannya (Kami lakukan yang demikian itu) agar kalian pada hari kiamat tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami bani Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan-Mu) atau agar kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang setelah mereka.’.” (QS. Al A’raf: 172-173)


Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa fitrah seseorang mengakui adanya Allah dan juga menunjukkan, bahwa manusia dengan fitrahnya mengenal Rabbnya. Adapun bukti syari’at, kita menyakini bahwa syari’at Allah yang dibawa para Rasul yang mengandung maslahat bagi seluruh makhluk, menunjukkan bahwa syari’at itu datang dari sisi Dzat yang Maha Bijaksana. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin hal 41-45)


Mengenal Rububiyah Allah


Rububiyah Allah adalah mengesakan Allah dalam tiga perkara yaitu penciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan pengaturan-Nya. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin hal 14)


Maknanya, menyakini bahwa Allah adalah Dzat yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki, mendatangkan segala mamfaat dan menolak segala mudharat. Dzat yang mengawasi, mengatur, penguasa, pemilik hukum dan selainnya dari segala sesuatu yang menunjukkan kekuasaan tunggal bagi Allah.


Dari sini, seorang mukmin harus meyakini bahwa tidak ada seorangpun yang menandingi Allah dalam hal ini. Allah mengatakan: “’Katakanlah!’ Dialah Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya sgala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al Ikhlash: 1-4)


Maka ketika seseorang meyakini bahwa selain Allah ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan seperti di atas, berarti orang tersebut telah mendzalimi Allah dan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya.


Dalam masalah rububiyah Allah sebagian orang kafir jahiliyah tidak mengingkarinya sedikitpun dan mereka meyakini bahwa yang mampu melakukan demikian hanyalah Allah semata. Mereka tidak menyakini bahwa apa yang selama ini mereka sembah dan agungkan mampu melakukan hal yang demikian itu. Lalu apa tujuan mereka menyembah Tuhan yang banyak itu? Apakah mereka tidak mengetahui jikalau ‘tuhan-tuhan’ mereka itu tidak bisa berbuat apa-apa? Dan apa yang mereka inginkan dari sesembahan itu?


Allah telah menceritakan di dalam Al Qur’an bahwa mereka memiliki dua tujuan. Pertama, mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya sebagaimana firman Allah:


“Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai penolong (mereka mengatakan): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami di sisi Allah dengan sedekat-dekatnya’.” (Az Zumar: 3 )


Kedua, agar mereka memberikan syafa’at (pembelaan ) di sisi Allah. Allah berfirman:


“Dan mereka menyembah selain Allah dari apa-apa yang tidak bisa memberikan mudharat dan manfaat bagi mereka dan mereka berkata: ‘Mereka (sesembahan itu) adalah yang memberi syafa’at kami di sisi Allah’.” (QS. Yunus: 18, Lihat kitab Kasyfusy Syubuhat karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab)


Keyakinan sebagian orang kafir terhadap tauhid rububiyah Allah telah dijelaskan Allah dalam beberapa firman-Nya:


“Kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan mereka? Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Az Zukhruf: 87)


“Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan yang menundukkan matahari dan bulan? Mereka akan mengatakan Allah.” (QS. Al Ankabut: 61)


“Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi setelah matinya? Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Al Ankabut: 63)


Demikianlah Allah menjelaskan tentang keyakinan mereka terhadap tauhid Rububiyah Allah. Keyakinan mereka yang demikian itu tidak menyebabkan mereka masuk ke dalam Islam dan menyebabkan halalnya darah dan harta mereka sehingga Rasulullah mengumumkan peperangan melawan mereka.


Makanya, jika kita melihat kenyataan yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin, kita sadari betapa besar kerusakan akidah yang melanda saudara-saudara kita. Banyak yang masih menyakini bahwa selain Allah, ada yang mampu menolak mudharat dan mendatangkan mamfa’at, meluluskan dalam ujian, memberikan keberhasilan dalam usaha, dan menyembuhkan penyakit. Sehingga, mereka harus berbondong-bondong meminta-minta di kuburan orang-orang shalih, atau kuburan para wali, atau di tempat-tempat keramat.


Mereka harus pula mendatangi para dukun, tukang ramal, dan tukang tenung atau dengan istilah sekarang paranormal. Semua perbuatan dan keyakinan ini, merupakan keyakinan yang rusak dan bentuk kesyirikan kepada Allah.


Ringkasnya, tidak ada yang bisa memberi rizki, menyembuhkan segala macam penyakit, menolak segala macam marabahaya, memberikan segala macam manfaat, membahagiakan, menyengsarakan, menjadikan seseorang miskin dan kaya, yang menghidupkan, yang mematikan, yang meluluskan seseorang dari segala macam ujian, yang menaikkan dan menurunkan pangkat dan jabatan seseorang, kecuali Allah. Semuanya ini menuntut kita agar hanya meminta kepada Allah semata dan tidak kepada selain-Nya.


Mengenal Uluhiyah Allah


Uluhiyah Allah adalah mengesakan segala bentuk peribadatan bagi Allah, seperti berdo’a, meminta, tawakal, takut, berharap, menyembelih, bernadzar, cinta, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diajarkan Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.


Memperuntukkan satu jenis ibadah kepada selain Allah termasuk perbuatan dzalim yang besar di sisi-Nya yang sering diistilahkan dengan syirik kepada Allah.


Allah berfirman di dalam Al Qur’an:


“Hanya kepada-Mu ya Allah kami menyembah dan hanya kepada-Mu ya Allah kami meminta.” (QS. Al Fatihah: 5)


Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah membimbing Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu dengan sabda beliau:


“Dan apabila kamu minta maka mintalah kepada Allah dan apabila kamu minta tolong maka minta tolonglah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)


Allah berfirman:


“Dan sembahlah Allah dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (QS. An Nisa: 36)


Allah berfirman:


“Hai sekalian manusia sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Baqarah: 21)


Dengan ayat-ayat dan hadits di atas, Allah dan Rasul-Nya telah jelas mengingatkan tentang tidak bolehnya seseorang untuk memberikan peribadatan sedikitpun kepada selain Allah karena semuanya itu hanyalah milik Allah semata.


Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman kepada ahli neraka yang paling ringan adzabnya. ‘Kalau seandainya kamu memiliki dunia dan apa yang ada di dalamnya dan sepertinya lagi, apakah kamu akan menebus dirimu? Dia menjawab ya. Allah berfirman: ‘Sungguh Aku telah menginginkan darimu lebih rendah dari ini dan ketika kamu berada di tulang rusuknya Adam tetapi kamu enggan kecuali terus menyekutukan-Ku.” ( HR. Muslim dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu )


Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman dalam hadits qudsi: “Saya tidak butuh kepada sekutu-sekutu, maka barang siapa yang melakukan satu amalan dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku maka Aku akan membiarkannya dan sekutunya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu )


Contoh konkrit penyimpangan uluhiyah Allah di antaranya ketika seseorang mengalami musibah di mana ia berharap bisa terlepas dari musibah tersebut. Lalu orang tersebut datang ke makam seorang wali, atau kepada seorang dukun, atau ke tempat keramat atau ke tempat lainnya. Ia meminta di tempat itu agar penghuni tempat tersebut atau sang dukun, bisa melepaskannya dari musibah yang menimpanya. Ia begitu berharap dan takut jika tidak terpenuhi keinginannya. Ia pun mempersembahkan sesembelihan bahkan bernadzar, berjanji akan beri’tikaf di tempat tersebut jika terlepas dari musibah seperti keluar dari lilitan hutang.


Ibnul Qoyyim mengatakan: “Kesyirikan adalah penghancur tauhid rububiyah dan pelecehan terhadap tauhid uluhiyyah, dan berburuk sangka terhadap Allah.”


Mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah


Maksudnya, kita beriman bahwa Allah memiliki nama-nama yang Dia telah menamakan diri-Nya dan yang telah dinamakan oleh Rasul-Nya. Dan beriman bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang tinggi yang telah Dia sifati diri-Nya dan yang telah disifati oleh Rasul-Nya. Allah memiliki nama-nama yang mulia dan sifat yang tinggi berdasarkan firman Allah:


“Dan Allah memiliki nama-nama yang baik.” (Qs. Al A’raf: 186)


“Dan Allah memiliki permisalan yang tinggi.” (QS. An Nahl: 60)


Dalam hal ini, kita harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai dengan apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya dan tidak menyelewengkannya sedikitpun. Imam Syafi’i meletakkan kaidah dasar ketika berbicara tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagai berikut: “Aku beriman kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah dan sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah. Aku beriman kepada Rasulullah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Rasulullah” (Lihat Kitab Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin hal 36)


Ketika berbicara tentang sifat-sifat dan nama-nama Allah yang menyimpang dari yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka kita telah berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu. Tentu yang demikian itu diharamkan dan dibenci dalam agama. Allah berfirman:


“Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tampa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah (keterangan) untuk itu dan (mengharamkan) kalian berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu.” (QS. Al A’raf: 33)


“Dan janganlah kamu mengatakan apa yang kamu tidak memiliki ilmu padanya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan diminta pertanggungan jawaban.” (QS. Al Isra: 36)


Wallahu ‘alam