Halaman

Cahaya Pengetahuan Muslim

Kamis, 15 Januari 2015

Mengenalkan Anak Pada Adab Islami



Anak merupakan karunia dan anugerah terindah yang didamba-dambakan oleh setiap pasutri, bahkan eksistensi kebahagiaan sebuah bahtera rumah tangga akan terasa kurang sempurna tanpa kehadiran sang buah hati tersebut. Anugerah mulia ini akan melengkapi keharmonisan hidup berumah tangga serta menjadi qurrotu a’yun (penyejuk hati) bagi orang tuanya. Apabila sang anak dibesarkan di bawah naungan cahaya al-Quran, tumbuh di taman-taman as-Sunnah yang disirami dengan mata air para salafus sholih. Akan tetapi anugerah tersebut akan membawa petaka atau bencana bagi kedua orang tuanya, jika mereka tidak mendidiknya dengan norma-norma keislaman atau bahkan membiarkan anaknya tumbuh berkembang di lingkungan jahiliyyah (non islami) yang berpotensi merusak akhlak dan meracuni kefitrohan jiwanya.

Urgensi mengenalkan adab islami pada anak
Oleh karena itu, pendidik dan orang tua pada khususnya memiliki peran penting dalam mencetak pribadi-pribadi anak yang mengerti dan perhatian terhadap adab-adab Islami, sang anak merasa bangga dan mulia dengan nilai-nilai keislaman yang dimilikinya. Sehingga pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh lingkungan atau media yang tidak mendidik bisa terbendung dan terminimalisir.

Di dalam al-Quran al-karim, tepatnya di surat Luqman mulai dari ayat ke 13-19, Alloh subhanahu wa ta’ala mengisahkan tentang bagaimana pendidikan dan pengajaran yang diberikan oleh Luqman al Hakim (seorang yang sholih) kepada anaknya yang menunjukkan betapa pentingnya pengajaran sang anak tentang adab islami.
Rosululloh sholallohu alaihi wasallam sejak dini telah memberikan tuntunan kepada umatnya agar mengajarkan anak-anak mereka dengan adab-adab islam ini, seperti sabda beliau sholallohu alaihi wasallam berikut;
“Ajarilah anak-anak kalian sholat apabila usia mereka sudah mencapai tujuh tahun dan pakullah (pukulan mendidik)mereka (jika enggan) apabila usianya sepuluh tahun.” (HR. al-Bazzar dan dishohihkan oleh syaikh al-Albani)

Jadi, sejak belasan abad yang lalu, Islam telah memberikan perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan secara umum dan pendidikan anak secara khusus sebagaimana yang disinyalir dalam ayat dan hadits di atas.

Mungkin para orang tua bertanya-tanya tentang apa sebenarnya adab-adab islami tersebut yang harus dikenalkan pada sang anak serta bagaimana cara atau metode mendidik atau mengenalkan anak pada adab-adab tersebut? Sebagaimana yang telah dimaklumi bahwa adab dalam Islam memiliki banyak macamnya, di antaranya insya Alloh akan dipaparkan di poin berikut ini;
  1. Adab dengan Alloh
Adab dengan Alloh merupakan adab tertinggi yang harus mendapat perhatian paling pertama, oleh karena itu si anak harus terlebih dahulu dikenalkan pada adab tersebut, karena  Dia-lah yang  telah menciptakan si anak serta memberikan karunia dan anugerah yang berlimpah kepadanya sehingga dia patut diberitahukan adab dengan sang Penciptanya seperti;

Mengetahui agungnya ciptaan Alloh.
Alam semesta ini merupakan bukti nyata atas kekuasaan Alloh ta’ala serta menunjukkan luasnya rahmat Alloh l terhadap makhluk-Nya. Maka seorang pendidik hendaknya menjelaskan hal ini dengan mengajak si anak untuk melihat dan merenungi ciptaan Alloh yang ada di sekitarnya seperti langit yang ditinggikan tanpa tiang, bumi yang dihamparkan, pohon-pohon yang rindang menjulang dan buah-buahan yang segar dan lain-lain, semua itu merupakan di antara ciptaan Alloh. Sehingga sang anak tahu bahwa Alloh subhanahu wa ta’ala adalah Dzat yang Maha Agung.

Menjaga hak-hak Alloh.
Ketika anak telah mengerti tentang karunia yang diberikan kepadanya dan menghayati ciptaan-ciptaan Alloh yang begitu menakjubkan, maka seorang pendidik harus menanamkan pada diri anak bahwa kita harus bersyukur atau berterima kasih kepada Alloh atas limpahan nikmat tersebut tentunya dengan menjaga hak-hak Alloh seperti beribadah kepada-Nya semata dan tidak berbuat syirik kepada-Nya seperti yang digambarkan dalam kisah Luqman al Hakim bahwa ia berkata kepada anaknya “Wahai anakku, janganlah engkau berbuat syirik kepada Alloh karena syirik itu adalah kezholiman yang besar.”(QS. Luqman: 13)

Mengenalkan anak pada nama-nama dan sifat Alloh.
Di antara adab dengan Alloh adalah mengenalkan pada si anak sebagian nama atau sifat Alloh yang Maha Indah lagi Mulia dengan menjelaskan kandungannya secara singkat, misalnya kita katakan ‘Nak, Alloh itu Maha Mendengar dan Maha Mengetahui segala sesuatu, tidak ada sesuatupun yang tersembunyi atau terluput dari pendengan dan pengetahuan-Nya sampai yang terbetik dalam pikiran kita pun,  Alloh mengetahuinya,’ atau ‘Alloh itu Maha Melihat segala sesuatu tak ada satupun yang terluput dari penglihatan-Nya sampai semut hitam di atas batu hitam di malam yang gelap gulita, Alloh melihatnya.’ Subhanalloh !
  1. Adab dengan orang tua
Orang tua adalah manusia yang amat berjasa bagi si anak. Terutama sang ibu yang dengan susah payah mengandungnya hingga ia dilahirkan ke dunia sampai-sampai nyawa menjadi taruhan demi kelahiran sang anak. Begitu pula perjuangan  seorang bapak yang mengerahkan jerih payahnya untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Maka sudah sepatutnya anak diajarkan tentang adab-adab yang berkaitan dengan kedua orang tuanya seperti;

Berbuat baik kepada keduanya serta tidak meninggikan suara dihadapannya
Orang tua adalah manusia yang paling berhak kita berbuat baik kepadanya. Disamping besarnya pengorbanan keduanya, Alloh pun telah menggandengkan perintah berbuat baik kepada orang tua dengan perintah beribadah kepada-Nya yang menunjukkan besarnya perkara ini.

Alloh berfirman:

 وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا 

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kalian jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia”. (QS. al-Isro’: 23)

Mendo’akan keduanya
Do’a yang dipanjatkan oleh anak untuk kedua orang tua merupakan bukti keluhuran adab dan akhlak yang dimilikinya. Alloh ta’ala dalam al-Quran telah mengajarkan bentuk do’a kepada kita untuk orang tua.

 وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا 

“Dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (QS. al-Isro’: 24)
  1. Adab dalam bertetangga
Tetangga dalam Islam memiliki hak yang agung sehingga Rosululloh pernah bersabda “Senantiasa Jibril alaihissalam mewasiatkan kepadaku agar berbuat baik kepada tetangga sampai aku mengira dia akan mendapat warisan”. Seorang anak dalam kehidupan sehari-harinya tidak terlepas dari bermain atau bergaul dengan tetangganya sehingga perlu dikenalkan pada adab-adab bertetangga agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Di antara terhadap tetangga adalah:

Memerintahkan anak untuk berbuat baik kepada tetangga dan tidak menyakitinya
Sikap ini merupakan akhlak mulia yang harus ditanamkan pada diri anak, sehingga ia tidak berlaku buruk terhadap tetangganya. Saking besarnya hak tetangga tersebut sampai-sampai Rosululloh sholallohu alaihi wasallam mengatakan bahwa orang yang menyakiti mereka salah satu indikasi kurangnya iman. Rosululloh sholallohu alaihi wasallam bersabda “Tidaklah sempurna iman sesorang di antara kalian dimana tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. Muslim)

Menyuruh anak untuk memberikan sedikit kuah atau yang semisalnya
Rosululloh sholallohu alaihi wasallam telah mengajarkan kepada kita bagaimana seorang Muslim memuliakan tetangganya, di antaranya dengan memberikan sedikit kuah kepada mereka dan hal ini menunjukkan perhatian Islam terhadap tetangga. Rosululloh sholallohu alaihi wasallam bersabda “Jika kamu memasak maka Perbanyaklah kuahnya dan berikan kepada tetanggamu.” (HR. Muslim)

Inilah di antara adab-adab yang perlu dikenalkan pada anak sehingga pertumbuhannya selalu dihiasi oleh adab-adab Islami yang akan menjadi penyejuk hati bagi kedua orang tuanya di dunia maupun di akhirat. Wallohu A’lam.

Fiqih Pengobatan Secara Islami

Oleh: Abu Mujahidah al-Ghifari, Lc, M.E.I.
Rasa sakit adalah salah satu bentuk ujian dari Alloh ta’ala. Sabar menyikapi segala macam penyakit yang menimpa dengan tetap berprasangka baik kepada Alloh akan mengangkat derajat dan menghapus dosa seorang hamba. Akan tetapi, kesalahan dalam menyikapi ujian berupa penyakit dapat merusak keagamaan seseorang.




Sakit yang menimpa manusia membuktikan bahwa manusia butuh kepada Alloh subhanahu wa ta’ala yang berkuasa atas hamba-hamba-Nya. Dialah Alloh yang berhak memberi manfaat dan mudharat kepada makhluk-Nya. Manusia yang membutuhkan manfaat dan perlindungan dari mudharat harus meminta kepada-Nya. Di antara rahmat Alloh atas hamba-hamba-Nya, Dia tidaklah menurunkan penyakit di muka bumi ini melainkan Dia turunkan pula obat penawarnya.

Al-Bukhori meriwayatkan dari Abu Huroiroh rodhiallohu anhu, dari Nabi sholallohu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda, “Tidaklah Alloh turunkan penyakit melainkan Alloh turunkan pula obat penawarnya.” (HR. Bukhori No. 5678)

Jumhur ulama dari kalangan mazhab Hanafi dan mazhab Maliki berpendapat bahwa berobat hukumnya mubah yaitu dibolehkan. Sementara ulama mazhab Syafi’i, Al-Qadhi rohimahulloh, Ibn Aqil rohimahulloh dan Ibn al-Jauzi rohimahulloh dari kalangan ulama Hambali rohimahulloh berpendapat bahwa berobat hukumnya mustahab yaitu dianjurkan.

Sebenarnya berobat merupakan sebab menyembuhkan penyakit yang dibolehkan oleh Alloh dan Rosul-nya. Sebab tersebut merupakan ikhtiar seseorang dari takdir menuju takdir. Akan tetapi, hak kesembuhan tetap milik Alloh subhanahu wa ta’ala semata.
Muslim meriwayatkan dari Jabir rodhiallohu anhu, dari Rasululloh sholallohu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda, “Setiap penyakit terdapat obat penawarnya, maka apabila obat penyakit tersebut tepat maka atas izin Alloh akan terbebas.” (HR. Muslim No. 5741)

Dalam hadits-hadits shohih telah disebutkan perintah berobat, dan berobat tidaklah menafikan tawakal. Sebagaimana makan karena lapar, minum karena dahaga, berteduh karena panas dan menghangatkan diri karena dingin tidak menafikan tawakal. Tidak akan sempurna hakikat tauhid kecuali dengan menjalani ikhtiar (usaha) yang telah dijadikan Alloh ta’ala sebagai sebab musabab terjadi suatu takdir. Bahkan meninggalkan ikhtiar dapat merusak hakikat tawakal, sebagaimana juga dapat mengacaukan urusan dan melemahkannya. Karena orang yang meninggalkan ikhtiar mengira bahwa tindakannya itu menambah kuat tawakalnya. Padahal justru sebaliknya, meninggalkan ikhtiar merupakan kelemahan yang menafikan tawakal. Sebab hakikat tawakal adalah mengaitkan hati kepada Alloh subhanahu wa ta’ala dalam meraih apa yang bermanfaat bagi hamba untuk dunia dan agamanya serta menolak mudharat terhadap dunia dan agamanya. Tawakal ini harus disertai dengan ikhtiar, jikalau tidak berarti ia telah menafikan hikmah dan perintah Alloh. Janganlah seorang hamba itu menjadikan kelemahannya sebagai tawakal dan jangan pula menjadikan tawakal sebagai kelemahannya. (Ibn al-Qayyim, Zaad al-Ma’ad IV/15)
Pada kondisi-kondisi tertentu berobat diwajibkan kepada orang tertentu dalam kondisi tertentu yaitu bagi seorang yang jika meninggalkan berobat bisa jadi membinasakan diri, anggota badan atau dirinya jadi lemah, juga bagi orang yang penyakitnya bisa berpindah bahayanya kepada orang lain.

Syaikh Shalih al-Munajjid hafidzahullah dalam fatwanya No. 2148 yang dimuat dalam situs islamqa.info menjelaskan rincian hukum berobat sebagai berikut:
  1. Berobat jadi wajib jika tidak berobat dapat membinasakan diri orang yang sakit.
  2. Berobat disunnahkan jika tidak berobat dapat melemahkan badan, namun keadaannya tidak seperti yang pertama.
  3. Berobat dihukumi mubah (boleh) jika tidak menimpa pada dirinya dua keadaan pertama.
  4. Berobat dihukumi makruh jika malah dengan berobat mendapatkan penyakit yang lebih parah.
Dalam Islam, ada beberapa obat yang sangat dianjurkan untuk dikonsumi, baik untuk pencegahan maupun untuk pengobatan. Di antara yang disebutkan dalam nash sebagai obat adalah madu, habbahtussauda, minyak zaitun, bekam, ruqyah, kurma ajwa dan lain-lain. Tentu, keyakinan terhadap apa-apa yang disebut sebagai obat oleh Alloh dan Rosul-Nya harus diyakini dengan sepenuhnya, karena itu adalah wahyu Alloh dan Dia Maha Mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk bagi hamba-Nya.
Dalam kitab hadits shohih al-Bukhori terdapat bab khusus tentang pengobatan yaitu kitab al-Thibb yang berarti: Kitab Pengobatan. Demikian pula Imam Muslim banyak meriwayatkan hadits-hadits tentang pengobatan dalam kitab shohihnya. Berikut contoh ayat dan hadits-hadits yang menjelaskan tentang obat yang dianjurkan untuk dikonsumsi.

Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman tentang lebah dalam al-Qur’an:

 يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ 

“Dari perut lebah itu keluar cairan dengan berbagai warna, di dalamnya terdapat kesembuhan bagi manusia.” (QS. Al-Nahl [16]: 69)

Al-Bukhori meriwayatkan dari Ibn Abbas rodhiallohu anhu, dari Nabi sholallohu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda, “Kesembuhan terdapat dalam tiga hal, yakni sayatan alat bekam, minuman madu, dan sundutan api. Aku melarang ummatku dari sundutan api.” (HR. Bukhori)

Riwayat Al-Bukhori lainnya, dari Abu Huroiroh rodhiallohu anhu bahwa beliau mendengar Rasululloh sholallohu alaihi wasallam  bersabda, “Habbah Sauda adalah obat dari segala macam penyakit kecuali kematian.”  (HR. Bukhori No. 5688 dan Muslim No. 5761)

Ibnu Majah meriwayatkan dalam kitab sunannya dari Abdulloh ibn Umar, dari bapaknya rodhiallohu anhu, beliau berkata bahwa Rosululloh sholallohu alaihi wasallam bersabda, “Gunakan zaitun sebagai lauk dan minyak, karena ia merupakan pohon yang diberkahi.” (HR. Ibnu Majah)

Adapun obat-obatan yang sudah diuji secara ilmiah ilmu kedokteran maka tidak mengapa bagi seorang muslim mengkonsumsinya selama kandungan obatnya halal, dan juga dibolehkan berobat kepada dokter. Dibolehkan pula obat-obatan tradisional yang sudah teruji berdasarkan eksperimen dari para ahlinya yang mengetahui formula obat-obatan, karakteristik dan cara penggunaannya.Tapi peru diingat, bahwa hak kesembuhan hanyalah milik Alloh sehingga selain menjalani ikhtiar dengan berobat juga harus diiringi dengan berdoa kepada Alloh. Sedangkan berobat kepada dukun, orang pintar, lewat bantuan jin, menggunakan benda-benda keramat, sihir, ataupun yang tidak lazim serta tidak masuk akal seperti Batu Ponari, maka jelas diharamkan yang bisa mengarahkan pada kesyirikan. Wallohu ta’ala a’lam…

Berusaha Selalu Zuhud





“Zuhudlah terhadap dunia, niscaya kamu dicintai Allah. Zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya kamu akan dicintai oleh mereka.” (HR. Ibnu Majah. Ibnu Hajar berkata dalam Bulughul Maram, isnadnya hasan).

Pengertian zuhud adalah berpalingnya keinginan terhadap sesuatu kepada sesuatu yang lebih baik darinya.

Zuhud terhadap dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan bukan pula dengan membuang harta. Tetapi zuhud terdahap dunia adalah engkau lebih yakin dan percaya kepada apa yang di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Juga engkau bersikap sama, baik ketika ditimpa musibah maupun tidak, serta dalam pandanganmu, orang lain adalah sama, baik yang memujimu atau yang mencelamu karena kebenaran.

Tingkatan Zuhud

Pertama,
Seseorang yang zuhud terdahap dunia, tetapi ia sebenarnya menginginkannya. Hatinya condong kepadanya, jiwanya berpaling kepadanya, namun ia berusaha untuk mencegahnya. Ini adalah mutazahhid (orang yang berusaha zuhud).

Kedua,
Seseorang meninggalkan dunia – dalam rangka taat kepada Allah Ta’ala – karena ia melihatnya sebagai sesuatu yang hina dina, jika dibandingkan dengan apa yang hendak digapainya. Orang ini sadar betul bahwa ia berzuhud, walaupun ia juga memperhitungkannya. Keadaan pada tingkatan ini seperti meninggalkan sekeping dirham untuk mendapatkan dua keping dirham.

Ketiga,
Seseorang yang zuhud terhadap dunia dalam rangka taat kepada Allah dan dia berzuhud dalam kezuhudannya. Artinya ia melihat dirinya tidak meninggalkan sesuatupun. Keadaannya seperti orang yang membuang sampah, lalu mengambil mutiara. Perumpamaan lain adalah seperti seseorang yang ingin memasuki istana raja, tetapi dihadang oleh seekor anjing di depan pintu gerbang. Lalu ia melemparkan sepotong roti untuk mengelabui anjing tadi. Dan ia pun masuk menemui sang raja.
Begitulah, setan adalah anjing yang menggonggong di depan pintu gerbang menuju Allah Ta’ala, menghalangi manusia untuk memasukinya. Padahal pintu itu terbuka, hijabpnya pun tersingkap. Dunia ini ibarat sepotong roti. Siapa yang melemparkannya agar berhasil menggapai kemuliaan Sang Raja, bagaimana mungkin masih memperhitungkannya?

Wallahu Ta’ala ‘Alam
Diringkas dari buku Tazkiyatun Nafs, Ibnu Rajab Al-Hambali, Ibnu Qayyim Al-Jauiyyah, Imam al-Ghazali, Putaka Arafah dengan sedeikit perubahah.