Halaman

Cahaya Pengetahuan Muslim

Senin, 12 September 2016

Hukum dan Keutamaan Kurban Bagi Orang Yang Akan Berkurban




Hukum Qurban adalah “ Sunnah Mu’akkadah (ditekankan). ” Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari rodhiallohu anha. Beliau mengatakan,“Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” 
(HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih).

Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.” 
(HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih)
Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.” 
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul Ahkaam, IV/454)
Sedangkan untuk keutamaan Qurban :
Menyembelih qurban termasuk amal salih yang paling utama. Ibunda ‘Aisyah rodhiallohu anha menceritakan bahwa Nabi sholallohu alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” 
(HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih, lihat Taudhihul Ahkam, IV/450)
Hadis di atas didhaifkan oleh Syaikh Al Albani (dhaif Ibn Majah, 671). Namun kegoncangan hadis di atas tidaklah menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban. Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adha lebih utama dari pada sedekah yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Disamping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah 
(lihat Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthi’ 7/521).
Hewan yang boleh di Qurbankan
Hewan qurban hanya boleh dari kalangan Bahiimatul Al An’aam (hewan ternak tertentu) yaitu onta, sapi atau kambing dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah kecuali dengan hewan-hewan tersebut
 (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan Al Wajiz 406)
Dalilnya adalah firman Allah yang artinya, “Dan bagi setiap umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas rezki yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak (bahiimatul an’aam).” (QS. Al Hajj: 34)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan, “Bahkan jika seandainya ada orang yang berqurban dengan jenis hewan lain yang lebih mahal dari pada jenis ternak tersebut maka qurbannya tidak sah. Andaikan dia lebih memilih untuk berqurban seekor kuda seharga 10.000 real sedangkan seekor kambing harganya hanya 300 real maka qurbannya (dengan kuda) itu tidak sah…”(Syarhul Mumti’, III/409)
Sedangkan untuk rincian Umur, sebagai berikut :
Untuk onta dan sapi: Jabir meriwayatkan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,“Janganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan bagi kalian maka kalian boleh menyembelih domba jadza’ah.” (Muttafaq ‘alaih)
Wallahu A’lam

Kapan Seseorang Dikatakan Safar



Seseorang disebut melakukan perjalanan jauh atau safar, yang membolehkannya untuk mengqashar sholat adalah ditetapkan oleh salah satu diantara dua hal.
1.    kebiasaan masyarakat yang menyebutnya sebagai safar, misalnya dari Bogor ke Serang Banten.
2.    karena telah menempuh jarak minimal safar, yaitu antara 80-90 kilo meter.

Salah satu dari dua alasan inilah yang menjadikan seseorang telah melakukan safar. Walaupun para ulama berselisih pendapat, manakah diantara dua alasan ini yang menjadikan seseorang telah melakukan safar.
Ada yang menyatakan Qashar hanya boleh dilakukan oleh musafir “baik safar dekat atau safar jauh”, karena tidak ada dalil yang membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi seseorang yang bepergian boleh melakukan qashar apabila bepergiannya bisa di sebut safar menurut pengertian umumnya. Ada juga sebagian ulama memberikan batasan dengan safar yang lebih dari delapan puluh kilo meter agar tidak terjadi kebingunan dan tidak rancu, namun pendapat ini tidak berdasarkan dalil shahih yang jelas. Hal ini sebagaimana dikutip oleh Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma’ad dan Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah.

Namun sebenarnya, apabila terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menetukan jarak atau batasan diperbolehkannya mengqashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat yang menentukan jarak dan batasan tersebut yaitu sekitar 80 atau 90 kilo meter, karena pendapat ini juga merupakan pendapat para imam dan ulama yang layak berijtihad.
Dengan demikian, seseorang disebut melakukan safar itu bukan karena statusnya atau profesinya sebagai supir. Akan tetapi disebabkan seseorang itu telah menempuh perjalanan yang pada umumnya disebut safar, atau karena telah menempuh jarak minimalis safar, yaitu 80-90 kilo meter.

Wallohu a’lam…