Oleh: Umar Mukhsin, Lc.
Dalam realita kehidupan bermasyarakat, kita tidak
pernah lepas dari pergaulan dengan orang lain, dan tentu menghadirkan fenomena
ataupun kejadian yang berbeda-beda, yang terkadang masih terus direkam oleh
memori kita. Ada fenomena kebahagiaan yang kita raih ataupun fenomena kesedihan
yang tak dapat kita sisih. Ada fenomena canda tawa yang tersaji ataupun duka
lara yang tak terpungkiri. Itulah dinamika kehidupan yang bervariasi dan selalu
menghiasi perjalanan hidup seseorang di dunia ini.
Dalam sudut pandang Islam, yang bersandar pada
nilai-nilai dua sumbernya yang otoritatif (terpercaya) yaitu al-Qur’an dan
Hadits. Seorang manusia akan memiliki harga diri yang tinggi di mata Alloh subhanahu
wa ta’ala dan di mata para hamba-Nya, bilamana ia meraih
sekurang-kurangnya dua hal, yaitu keimanan dan amal sholeh. Ketika seorang
manusia mengikrarkan bahwa tiada Tuhan yang berhak diibadahi secara benar
melainkan Alloh dan Nabi Muhammad sholallohu alaihi wasallam adalah
utusan-Nya, atau ia lahir dan baligh dari keluarga muslim maka semenjak itulah
seorang hamba telah meraih harga dirinya. Bahkan dapat dikatakan keimanannya
tersebut tidak sebanding dengan emas atau intan berlian sepenuh bumi. Harga
dirinya tak ternilai dengan materi dan harta benda, bahkan harga dirinya
diingini dan diangankan oleh orang-orang kafir, ketika mereka telah
menginjakkan kakinya di neraka. Simaklah firman Alloh subhanahu wa ta’ala yang
artinya sebagai berikut:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ
كُفَّارٌ فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْ أَحَدِهِمْ مِلْءُ الْأَرْضِ ذَهَبًا وَلَوِ
افْتَدَىٰ بِهِ ۗ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ وَمَا لَهُمْ مِنْ
نَاصِرِينَ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati
sedang mereka tetap dalam kekafirannya, maka tidaklah akan diterima dari
seseorang diantara mereka emas sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri dengan
emas (yang sebanyak) itu. Bagi mereka itulah siksa yang pedih dan sekali-kali
mereka tidak memperoleh penolong.” (QS. Ali Imron [3]: 91)
Dalam ayat ini, Alloh azza wa jalla secara
tegas tidak akan menerima tebusan orang-orang kafir terhadap siksa yang
diderita oleh mereka akibat dari kekufurannya, walaupun tebusan tersebut berupa
emas sepenuh bumi. Hal ini menunjukkan betapa kekufuran orang-orang kafir telah
menjadikan diri-diri mereka tidak bernilai dan tidak berharga di mata Alloh.
Pada saat yang sama, keimanan begitu tak terhingga nilainya, sehingga emas
sepenuh bumi sekalipun tidaklah setara dengan keimanan yang menghujam di hati
seorang mukmin.
Saudaraku yang dirahmati Alloh ta’ala,
Perkara yang kedua adalah amal sholeh baik yang nampak maupun yang tidak
nampak, dimana dalam perspektif Islam itu adalah kebaikan yang memiliki
landasan contohnya dari Rasululloh sholallohu alaihi wasallam. Amal
sholeh diyakini sebagai sarana mendasar dan penting bersama dengan keimanan
untuk meraih harga diri. Jika dengan keimanan, secara tersurat seorang manusia
akan meraih harga dirinya di mata Alloh. Maka amal sholeh tidaklah demikian,
karena cakupannya yang luas maka amal sholeh ini dapat mengantarkan seseorang
pada raihan harga diri di mata Alloh ta’ala dan di mata manusia.
Bahkan pada tataran tertentu makhluk-makhluk selain manusia ikut berkontribusi
melakukan perbuatan-perbuatan yang secara logika sehat itu tidak bisa diterima,
sebagai bentuk penghargaan terhadap pengamal-pengamal sholeh. Hadits Nabi sholallohu
alaihi wasallam berikut ini yang artinya:
“Barangsiapa yang menempuh jalan menuntut
ilmu, maka Alloh akan buka jalan baginya menuju surga. Dan sesungguhnya para
malaikat meletakkan sayapnya karena ridho dengan penuntut ilmu. Dan
sesungguhnya orang yang berilmu akan dimohonkan ampun oleh siapa saja yang ada
di langit dan di bumi, sampai ikan-ikan yang berada di air.” (HR.
Tirmidzi No. 2682)
Hal yang menakjubkan kita semua dalam hadits
tersebut adalah malaikat yang meletakkan sayapnya dan seluruh penduduk langit
dan bumi beristighfar untuk orang ‘alim yang merupakan bentuk apresiasi
terhadap dirinya. Diraihnya harga diri tersebut tidak lepas dari amal sholeh
yang dilakukan oleh penuntut ilmu dan orang ‘alim.
Inilah makna harga diri yang sesungguhnya. Iman
yang kuat dan amal sholeh yang tepat akan mengantarkan seseorang meraih harga
diri yang setingi-tingginya. Makna ini tentu tidak meniadakan keberadaan makna
lainnya yang memang ketika tema harga diri ini diangkat, maka yang terlintas
dalam alam fikiran kita secara otomatis adalah seputar bagaimana seseorang
memiliki jiwa-jiwa kesatriaan ketika yang berkaitan dengan martabat dirinya
dilecehkan, dirampas bahkan diinjak-injak. Hal ini tentu sangat dijunjung
tinggi dalam agama Islam, simaklah Hadits berikut:
“Barangsiapa mati terbunuh karena
mempertahankan hartanya maka ia adalah syahid, dan barangsiapa mati terbunuh
karena mempertahankan keluarganya atau darahnya atau agamanya maka ia adalah
syahid.” (HR. Abu Dawud No. 4774)
Oleh karena itu, bersyukurlah anda wahai
saudaraku muslim dan muslimah yang telah diberikan oleh Alloh subhanahu wa
ta’ala berupa nikmat keimanan dan amal sholeh. Karena dengan iman dan amal
sholeh kita telah meraih harga diri kita yang setinggi-tingginya di mata Alloh
dan para hamba-Nya. Untuk selanjutnya, masing-masing kita terus berupaya
meningkatkan iman dan amal sholeh kita, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Sehingga harga diri kita pun semakin melejit, yang pada gilirannya akan sangat
menentukan di tingkatan mana posisi kita berada dalam surga. Renungkanlah hal
ini wahai saudaraku yang dirahmati Alloh ta’ala, semoga kita semua
beruntung. Wallohu a’lam bishowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar