Muslim di Mentawai, 60% nya adalah muallaf. Tapi karena jarangnya
pengajian dan dakwah kepada mereka, menyebabkan mereka belum bisa
menghilangkan budaya lamanya, yakni makan daging babi di setiap
acara-acara yang diadakan saat makan bersama, seperti: anak lahir dan
pernikahan. Ironisnya lagi, ada kepala desa yang muslim, tapi masih suka
makan daging babi di acara tersebut. Alasannya, hendak, menghormati
yang mengadakan acara.
Ketika bersilaturahim dengan Kepala Sekolah dan Guru SD di Dusun
Pei-pei, ada kisah menarik: seorang anak kelas 4 SD bernama Beni, sudah
masuk Islam. Sejak menjadi muslim, anak ini menunjukkan perubahan,
diantaranya: lebih senang ke masjid untuk shalat. Jika ada acara
keluarga, yang ada pesta makan babinya, Beni lebih senang menyendiri. Ia
tidak mau makan babi setelah ber-Islam.
Melihat perilaku anaknya yang demikian, orang tua Beni (yang juga
muallaf) ingin agar anaknya tidak tinggal di rumah, bahkan menghendaki
buah hatinya itu masuk pesantren di luar Mentawai. Kenapa demikian?
“Karena, kalau masih di Mentawai, khawatir bisa terpengaruh oleh
kebiasaan orang-orang Mentawai, seperti: makan babi, menenggak minuman
keras, perdukunan dan lain-lain.
Beberapa bulan lalu, Ibu Camat setempat sempat berjanji untuk
memasukkan Beni ke pesantren di luar Mentawai. Namun, karena pindah
tugas, Beni tidak jadi masuk pesantren seperti yang dijanjikan. Masih
ada waktu, hingga pertengahan Juli, saat memasuki tahun ajaran baru,
untuk membawa Beni ke luar Mentawai untuk belajar ilmu agama.
Menurut jamaah masjid di dusun itu, memang untuk merubah kebiasaan
atau perilaku orang-orang Mentawai itu sulit. Mengingat budaya itu sudah
mendarah daging, bertahun-tahun. Untuk itu perlu meng-hijrahkan orang
Mentawai selama 10-20 tahun keluar Mentawai, untuk diberi pendidikan dan
ilmu. Setelah itu baru dikembalikan ke kampung halamannya untuk
mengabdi.
Menuju Desa Taileleu
Perjalanan dakwah berlanjut menembus hutan belantara selama 1,5 jam,
menuju Desa Taileleu. Medan yang dilalui cukup berat, semak belukar di
sisi kanan dan kiri dengan jembatan yang berlubang serta licin, becek,
menyebabkan ban motor selip.
Untuk menuju Desa Taileleu, harus menyebrangi sungai dengan rakit.
Biaya menyeberang Rp. 10.000 per orang, sedangkan untuk motor dikenai
Rp. 15.000. Lama menyebrang hanya 10-15 menit. Rakit pun tidak selalu
tersedia. Jika sampai tidak ada rakit, maka kita harus berusaha meminta
pertolongan warga yang lewat menggunakan perahu untuk memanggilkan
rakit. Tapi kalai tidak ada warga yang lewat, maka terus berusaha dengan
memanggil-manggil atau bersuara keras sampai rakit datang. Diperlukan
waktu setangah jam untuk memanggil rakit.
Singkat cerita, tibalah di Desa Taileleu. Tak berbeda dengan Desa
Sarausau, di desa ini juga tidak ada signal. Desa ini terdiri dari 235
KK dengan 61 KK saja yang Muslim. Ada tiga gereja di desa ini, berikut
TK Kristen Terpadu “Filadelphia”. Di desa ini pula para misionaris
sering berkunjung, mulai dari mahasiswa sampai pastor atau pendeta.
Secara berbarengan, para misionaris itu kerap menggelar acara, ketika
umat Islam menggelar tabligh akbar atau pengajian.
Satu-satunya masjid yang ada di Desa Taileleu adalah Masjid “Maznah
Al-Muthoiri”, dibangun sejak 1992, dan sudah tiga kali renovasi akibat
gemba. Alhamdulillah, sudah ada TK Islam “Bakti 47” di bawah Yayasan
Pendidikan Bakti Wanita Islam Sumatra Barat.
Muslim yang Hampir Terusir
Ada satu peristiwa yang baru saja terjadi sekitar awal Mei 2012,
yaitu ada permintaan para pemuda desa Taileleu untuk mengusir bapak
Ujang dan keluarga, karena menolak memberi sumbangan untuk perayaan hari
Paskah.
Peristiwa ini bermula, ketika panitia paskah datang ke rumah Pak
Ujang, tapi keluarga itu menolak memberi sumbangan. Selang beberapa
hari, panitia Paskah itu datang lagi untuk hal yang sama.
Menurut Pak Ujang, kami Muslim tidak boleh memberikan sumbangan untuk
perayaan agama lain. Kecuali untuk acara warga lainnya, Pak Ujang siap
memberi sumbangan. Hal ini kemudian diadukan ke aparat desa setempat.
Warga menginginkan Pak Ujang dan keluarga diusir dari desa Taileleu.
Setelah musyawarah, akhirnya disetujui, bahwa iuran warga untuk acara
keagamaan hanya ditarik kepada warga yang agamanya yang sesuai dengan
perayaan acara tersebut. Sedangkan warga yang tidak memperingati
perayaan, tidak boleh atau tidak dikenai untuk memberi sumbangan.
Akhirnya, ini menjadi keputusan warga bersama. Tentu saja, ini sangat
menggembirakan umat Islam di sana, yang selama ini takut untuk
menyatakan keimanannya dalam bentuk sikap nyata. Terlebih umat Islam di
desa ini terbilang minoritas.
Perjalanan dakwah Ustadz Aldi ke Mentawai bukanlah yang terakhir.
Masih banyak segudang rencana, agenda dakwah dan cita-cita yang ingin
diwujudkan untuk memenuhi janji saudara-saudara muslim di sana. Ia
kembali teringat pesan warga muslim di sejumlah desa dan dusun di
Mentawai, yang mengantarnya pulang menuju Jakarta, mulai dari kaum
bapak, ibu-ibu, remaja, hingga anak-anak.
“Tolong kembali ke sini, ajari kami dengan ilmu agama. Satu bulan
atau bahkan satu tahun atau menetap sekalian, kami akan senang hati
menerimanya.
Masih segar dalam ingatan, ketika orang-orang Mentawai berharap sangat: “Tolong,
jangan berhenti datang ke sini, tolong ajak ustad-ustad yang lain,
jangan pernah kosong ustad di tempat kami. Jika yang satu pergi, tolong
ganti dengan ustad yang lain.”
Haru biru dan air mata pun menetes, saat saudara-saudara Muslim di Mentawai berkata, “Tolong
bawa ustad-ustad yang selama ini kami bisa lihat di media-media. Tapi,
maaf, kami tidak bisa memberi “sangu” jika ustad kembali. Tolong
rindukan kami di dalam agenda dakwah para ustad kalian. Para ustad di
Jawa itu sudah sangat banyak. Jangan lupakan dakwahi dan silaturahimi
kami di sini.”
Di hari terakhir, Ustad Aldi menyempatkan diri untuk berziarah ke
makam pelaku dakwah yang sudah merambah Mentawai sejak tahun 1980-an.
Beliau adalah Ustadz. H. Muhammad Sidik.
Di desa Matotonan, Aldi kembali terharu ketika ia berjumpa dengan
seorang aktivis dakwah yang berprofesi sebagai petani. Di desa itu, ada
seorang pendeta bersama keluarganya yang telah mengucapkan kalimah
syahadat (masuk Islam). Termasuk kepala suku asli Mentawai yang
berhasil di-Islamkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar