Pada hari keempat, tanggal 21 Mei 2012, Ustadz Aldi
ditemani salah seorang ustad dan kedua anaknya, menuju Desa Taileleu.
Tepat pukul 15.00, ia berangkat menggunakan perahu kecil (lebar 90 cm
dan panjang 5 m) yang disebut pompon. Segala perbekalan telah disiapkan
seperti jas hujan, alas tidur, logistic secukupnya serta pakaian ganti.
Untuk menuju Desa Taileleu, menghabiskan biasa sebesar Rp. 300.000
hanya untuk BBM (saat harga BBM Rp. 8000), belum termasuk sewa perahu
dan biaya “supir perahu”, serta peralatan penunjang. Total budjet yang
dikeluarkan bisa mencapai Rp. 1 juta.
Diperlukan strategi yang matang, setidaknya harus memperkirakan
air laut pasang, karena dalam perjalanan akan melewati sungai-sungai
yang berbatasan langsung dengan laut. Jika air pasang, perahu bisa terbalik. Jika air tidak pasang, maka harus mendayung dan mendorong perahu.
Kanan-kiri terlihat hamparan hutan bakau. Sunyi sepi, jarang sekali
orang yang melintas. Perlu keahlian mengemudi dan mengendalikan perahu
untuk melalui sungai yang sempit.
“Begitu waktu Ashar tiba, kami mampir di dusun Sarausau,
kecamatan Siberut Barat Daya, untuk melaksanakan shalat Ashar berjamaah.
Hanya ada satu masjid di desa tersebut, yakni Masjid Al-Hidayah,” kata Aldi.
Meski masjid ini kokoh berdiri, tapi masih sedikit orang yang mau ke
masjid. Kebanyakan orang di desa-desa pelosok Mentawai, baru mau ke
masjid jika ada ustad atau dai yang menetap agar bisa memberikan
pelajaran agama Islam, terutama anak-anak mereka. Shalat Jum’at paling
bayak 2 shaft, atau biasanya hanya 1 shaft.
Menjadi khatib di pedalaman Mentawai, jangan mengharapkan
diberi “sangu”” atau transport untuk ongkos pulang Untuk menjadi khatib
shalat Jum’at, seorang ustadz harus mengeluarkan kocek sendiri untuk
menyewa perahu dengan medan yang berat. Tak jarang, khatib yang sudah
dijadwalkan untuk khutbah, berhalangan datang. Terpaksa, shalat Jumat
diganti menjadi shalat dzuhur.
Di Dusun Sarausau, umat Islam adalah minoritas, sehingga membutuhkan kehadiran da’i. Dengan adanya
da’i, mereka bisa kembali ke masjid untuk shalat lima waktu secara
berjamaah, dan mengikuti pengajian. Jika da'i nya tidak ada, bisa karena
pindah tugas atau ada keperluan keluarga atau pulang ke Jawa, maka
masyarakat di sini kembali menjauh dari masjid.
Dengan kondisi masyarakatnya yang jauh dari kata hidup layak,
mereka terancam untuk didangkalkan akidahnya oleh misionaris. Bukan
tidak mungkin, saudara-saudara muslim di sini akan dimurtadkan.
Rumah Da'i dengan Dana Cekak
Setelah menyambangi Dusun Sarausau, perjalanan dakwah
dilanjutkan menuju Dusun Pei-pei. Dusun ini sedikit lebih ramai
ketimbang Dusun Sarausau. Di Dusun Pei-pei terdapat Masjid As-Sa’adah.
Jika shalat Jum’at masjid ini senasib dengan masjid-masjid yang ada pedalaman Mentawai lainnya. Jamaahnya hanya terdiri dari 1 shaft yang tidak penuh.
Jumlah penduduk di dusun ini hanya 130 KK, dan 18 KK diantara yang
muslim. Untuk desa sekecil ini juga terdapat 3 gereja. Pengajian di
Dusun Pe-pei adalah hal yang dirindukan bagi masyarakat Pei-pei.
Tepat di depan masjid, terdapat bangunan rumah terbuat dari kayu,
yang sepertinya belum selesai pembangunannya. Ketika ditanya, “Rumah
siapakah ini? Mereka menjawab, “Ini rumah da’i yang kami persiapkan
secara swadaya dari masyarakat untuk da’i yang mau menetap di sini.
Tapi, mohon maaf, kami sekarang kehabisan dana untuk menyelesaikannya.”
Saat ditanya,”Memang perlu biaya berapa lagi untuk menyelesaikannya?”
Mereka menjawab,”Ya, sekitar 10 juta.” Subhanallah, begitu cinta mereka
kepada dainya, sampai-sampai dibuatkan rumah untuk dai yang mau menetap
untuk memberikan ilmu dan nasihatnya bagi warga Pei-pei.
Siapa yang tergerak untuk membantu menyelesaikan rumah dai tersebut. Bisa menghubungi KONTAK: Telp: 021-2640.1004, sms: 08999.704050 - 0813.2058.2868 untuk diserahkan pada yang diberi amanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar