Assalaamu’alaikum
warahmatullaahi wabarokatuh,
إِنَّ
الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ
بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ
اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صلى الله عليه وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم
الدين
'Innalhamdalillaah,
nahmaduhu wanasta’inuhu, wanastaghfiruh. Wana’udzubillaahiminsyururi anfusina
waminsyay yiati a’malina, may yahdihillahu fala mudzillalah, wamay yut’lil fala
hadziyalah. Asyhadu alailahaillallahu wah dahula syarikalah wa assyhadu anna
muhammadan ‘abduhu warosuluh.Salallahu'alaihi wa 'ala alihi wa sahbihi wa man
tabi'ahum bi ihsanin illa yaumiddiin'.
Fainna ashdaqal
hadits kitabaLLAH wa khairal hadyi hadyu Muhammad Salallahu'alaihiwassalam, wa
syarral ‘umuri muhdatsatuha, Wa kullu muhdatsatin bid’ah wa kullu bid’atin
dhalalah wa kullu dhalalatin fin nar… Ammaba’du
|
Gantungkanlah
Harapanmu Hanya Pada Alloh
|
Bismillah
وَلَا
تَهِنُوا فِي ابْتِغَاءِ الْقَوْمِ ۖ إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ
يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ ۖ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لَا يَرْجُونَ ۗ
وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar
mereka (musuhmu). jika kamu menderita kesakitan, Maka Sesungguhnya merekapun
menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu
mengharap dari pada Alloh apa yang tidak mereka harapkan. dan adalah Alloh Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa [4]: 104)
Saudaraku Fillah….
Secara tersurat, ayat ini berbicara tentang para
singa-singa Alloh yang bertempur di jalan-Nya. Ayat ini secara tegas melarang
para mujahidin untuk berperilaku merasa lemah, pesimis dan merasa tidak berdaya
dalam mengahadapi musuh-musuh Alloh. Karena, sudah menjadi sunnatulloh
(ketetapan Alloh) dalam peperangan yang terjadi antara dua kubu, akan ada di
antara para mujahidin yang terluka bahkan ada yang gugur sebagai para syuhada.
Maka, hendaknya kondisi ini, tidak lantas membuat mereka menjadi patah arang,
lemah semangat apalagi sampai lari dari medan pertempuran. Karena pada saat
yang sama, di kubu musuhpun megalami nasib yang sama, dan terkadang jauh lebih
tragis.
Akan tetapi, ada satu perkara yang akan menjadi
pembeda antara para mujahidin dan musuh-musuhnya. Yaitu rasa berharap yang
digantungkan para mujahidin hanya kepada Alloh. Di mana, rasa berharap ini
tidak dimiliki oleh musuh-musuh Alloh. Dan di antara harapannya yang niscaya
terjadi selain pahala yang melimpah adalah mendapatkan kemenagan atau gugur
sebagai syuhada. Inilah yang menjadi kata kunci bagi bangkitnya semangat para
mujahidin untuk kembali ke jalur pertempuran dengan semngat juang yang tinggi
dan lebih bergairah lagi.
Walaupun secara tersurat ayat di atas secara
khusus berbicara tentang pelajaran bagi para mujahidin. Tetapi secara tersirat,
ayat ini juga mengandung pelajaran bagi umat Islam pada umumnya. Terutama yang
berkaitan dengan sikap berharap kepada Alloh. Ayat ini sangat cocok untuk
menjadi motivator bagi kita semua. Baik pria maupun wanita. Baik anak muda
maupun orang tua. Baik sebagai pedagang, tukang ojeg, guru, maupun
profesi-profesi lainnya.
Dan tidak diragukan lagi, bahwa masing-masing
kita pasti memiliki harapan atau cita -cita dalam kehidupan dunia ini. Mungkin
ada di antara kita yang berharap untuk menjadi dokter. Ada yang ingin menjadi
pedagang sukses. Ada yang ingin menjadi guru teladan dan lain sebagainya.
Bahkan dalam pengertian yang luas, masing-masing kita memiliki harapan yang
banyak dan beragam sekali dari mulai yang biasa sampai yang luar biasa.
Usaha Harus Selalu Mengiringi Harapan
Pada dasarnya, semua harapan yang kita
cita-citakan baik yang biasa maupun yang luar biasa, ingin dapat dihadirkan ke
alam realita.Dan untuk mewujudkannya perlu adanya usaha yang maksimal sesuai
dengan sunnatulloh yang ada. Jika harapan kita adalah menjadi orang
kaya, maka kita harus bekerja keras. Jika harapan kita adalah ingin menjadi
orang pandai, maka kita harus rajin belajar dan seterusnya.
Akan tetapi, dalam pandangan Islam. seseorang
dianggap tidak cukup hanya mengandalkan kerja kerasnya untuk menjadi orang
kaya. Seseorang juga tidak cukup hanya mengandalkan rajin belajarnya untuk
menjadi orang pandai. Karena kita semua menyadari tentang hakikat diri-diri
kita, yaitu makhluk yang lemah. Sehebat apapun kerajinan dan kesungguhan
seseorang dalam belajar. Dan sekuat apapun tenaga yang dikeluarkan untuk
bekerja keras, namun tetap itu semua tidak mengubah status kita di mata Alloh
sebagai makhluk yang diciptakan dalam kondisi lemah; simaklah baik-baik firman
Alloh; Tuhan Pencipta kita semua:
وَخُلِقَ
الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا
“…dan manusia dijadikan bersifat lemah.”
(QS. An-Nisa [4]: 28)
Dan faktanya, terkadang kita semua mengalami
perkara-perkara yang jauh dari harapan yang sudah ditetapkan. Harapan yang
secara matematis, akan begitu mudah untuk diwujudkan. Harapan yang secara
logis-empiris, begitu gampang untuk direalisasikan. Tetapi kenyataan berbicara
lain. Harapan tersebut terkadang 50% terwujud, bahkan pada tataran tertentu,
harapan tersebut telah pupus untuk diwujudkan. Sehingga terkadang melahirkan
kekecewaan dan kesedihan yang mendalam, yang pada gilirannya akan menimbulkan
rasa putus asa.
Oleh karena itu, untuk menghindari hal ini, di
samping terusmenerus berdoa, seorang muslim harus menggantungkan seluruh
harapannya hanya kepada Alloh. Dan menggantungkan harapan kepada Alloh tidak
hanya dilakukan pada saat-saat terjepit, genting atau menemui jalan buntu.
Tetapi sejatinya, harapan tersebut dilakukan oleh kita semua dalam setiap
kondisi. Baik sebelum berusaha untuk meraih harapan tersebut, di tengah-tengah
perjalanan melakukannya dan setelah berusaha. Inilah potret muslim sejati yang
mengiringi seluruh harapannya dengan ketergantungan kepada Alloh. Sehingga hal
ini akan melahirkan ketenagan, kepuasan bahkan kebahagiaan dalam jiwanya,
walaupun harapan tersebut pudar di tengah jalan atau gagal sama sekali.
Berharap kepada Alloh adalah Ibadah
Menggantungkan harapan kepada Alloh adalah sebuah
sikap yang dibutuhkan oleh setiap kita, terutama di saat-saat genting. Jika
kita seorang pedagang, maka untuk menghindari kekecewaan yang mendalam karena
kerugian yang besar misalnya; kita butuh sikap berharap hanya kepada Alloh.
Jika kita adalah seorang mahasiswa, ketika nilai ujian rendah misalnya; kita
butuh rasa berharap hanya kepada Alloh. Bahkan jika kita seorang dai sekalipun,
menggantungkan harapan hanya kepada Alloh adalah sebuah kebutuhan primer.
Sehingga dapat mengobati kekecewaan kita, jika ada di antara objek dakwah kita
yang jauh dari harapan yang kita inginkan.
Di samping mendatangkan ketenagan jiwa, berharap
kepada Allohpada dasarnya adalah bagian dari peribadatan hati seorang hamba
kepada Alloh. Di mana, dalam Istilah syar’i dikenal dengan kata al-rojâ’
(berharap). Kata ini, bersamaan dengan al-khouf (takut) dan al-mahabbah
(cinta) memiliki posisi yang strategis dan fundamental dalam struktur bangunan
Islam yang harus senantiasa mengiringi derap langkah seorang hamba dalam
mengarungi samudra kehidupan yang begitu berliku-liku.
Jadi, gantugkanlah setinggi mungkin harapan kita
hanya kepada Alloh. Karena Dia-lah satu-satunya Dzat yang pantas untuk kita
arahkan seluruh harapan. Dan harapan yang paling utama adalah perjumpaan dengan
Alloh. Inilah harapan yang paling tinggi yang harus menghujam di dalam
dada-dada kita sehingga kebahagiaan tiada tara di surga-Nya adalah suatu hal
yang mutlak untuk kita raih.
(Oleh: Umar Muhsin, Lc)
Wallahu a’lam
(artinya: “Dan Allah lebih tahu atau Yang Maha tahu atau Maha Mengetahui)
“Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla ilaha illa Anta astaghfiruka
wa atubu ilaik (Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji untuk-Mu.
Saya bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Engkau, saya
meminta ampunan dan bertaubat kepada-Mu).”
"Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokatuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar